Bab 5 : Satu Langkah Lebih Dekat

Začít od začátku
                                    

"Enggak kok. Aku juga penasaran mau coba." jawabku dengan setengah tulus. Sebenarnya aku memang penasaran, tapi enggak begitu penasaran sampai ingin coba juga.

"Kamu pernah coba panjat tebing sebelumnya?" tanya Nico. Aku menggelengkan kepala.

"Apa kamu pernah mendaki gunung atau puncak sebelumnya?" tanya Nico lagi. Aku menggeleng lagi.

"Apa kamu punya phobia ketinggian?" untuk pertanyaan Nico ini juga aku menggelengkan kepala.

"Oke, kalau gitu. Enggak masalah kalau kamu belum pernah panjat tebing atau mendaki sebelumnya. Setiap orang juga mulai belajar sesuatu tanpa pernah melakukan sebelumnya kan."

Apa seharusnya aku bilang kalau aku takut ketinggian aja ya?

Leo mengambilkan alat pengaman yang harus digunakan. Nico membantu memasangkannya ke aku. Karena ini pertama kalinya jadinya aku merasa sangat kikuk dan hanya bisa diam berdiri dengan tegang. Dan ditambah, ini pertama kalinya aku berada sangat dekat dengan Nico. Aku bahkan bisa mencium wangi parfumnya. Kok bisa ya dia masih wangi, padahal dia sudah di bawah terik matahari sejak tadi. Ya ampun... Kenapa aku jadi malah kepikiran wangi parfumnya sih?

"Untungnya hari ini kamu pakai sepatu kets. Kalau kamu pakai high heels mungkin kamu ada alasan untuk enggak coba panjat tebing." ucap Nico.

Iya ya, mungkin seharusnya aku pakai high heels aja. Kalau tahu begini lebih baik kaki jadi lecet daripada harus panjat tebing. Huhu... nasib, nasib.

Setelah pengaman selesai dipasang dan Nico memastikan alatnya sudah terpasang dengan baik, Nico menjelaskan cara panjat tebing yang baik dan benar sambil melakukan gerakan pemanasan denganku.

Jujur, apa yang dijelaskan Nico enggak semuanya masuk ke dalam otak aku, karena saat ini aku masih dalam keadaan panik dan bingung. Tapi aku lumayan mengerti sedikit, yang penting genggaman tanganku harus kuat dan enggak perlu takut jatuh, karena ada orang yang memegang tali yang terikat dengan kita, jadi katanya kalau pun jatuh enggak akan langsung jatuh dengan cepat tapi akan tertahan sebentar lalu diturunkan pelan-pelan. Meski begitu tetap saja aku merasa gugup.

"Gugup?" tanya Nico.

"Sedikit." aku berusaha tersenyum, tapi pastinya senyumku ini terlihat sangat dipaksakan.

"Enggak usah gugup. Karena ini bukan pertandingan jadi kamu naiknya pelan-pelan aja. Kamu pakai tebing yang sebelah kiri itu ya, soalnya tebing itu lebih mudah daripada tebing yang kanan."

Mau semudah apa pun pasti masih sulit untuk aku yang pertama kalinya mencoba.

Nico lalu memasangkan helm ke kepala aku.

"Perlu pakai helm juga?" tanyaku.

"Keamanan dan keselamatan perlu diutamakan. Kalau kepala kamu sampai terbentur kan lebih baik pakai helmnya, untuk memperkecil kemungkinan gegar otak." aku langsung kaget mendengar ucapan Nico itu.

"Aku bilang kan 'kalau' sampai terjadi. Lebih baik mencegah kan?" sepertinya Nico berusaha menenangkanku setelah melihat reaksiku.

Nico lalu menyodorkan sebuah kantong yang aku sama sekali enggak tahu apa isinya itu dan untuk apa.

"Apa ini?"

"Ini namanya chock bag, isinya magnesium karbonat. Ambil secukupnya. Ini supaya tangan kamu enggak licin karena keringat." jelas Nico.

Aku pun mengambil secukupnya, teksturnya seperti tepung. Aku meratakannya di seluruh telapak tanganku.

"Aku taruh ini di belakang kamu ya." Nico pun mengaitkan kantong yang namanya... apa itu tadi... Cok, chock bag, di celanaku di bagian belakang pinggangku.

SEMPURNA [END]Kde žijí příběhy. Začni objevovat