Chapter 4

3.5K 509 23
                                    

Tooru berjalan menaiki tangga sambil bersenandung kecil. Di tangannya ada dua kotak bento besar buatan ibunya untuk dimakan dengan Iwaizumi, Matsukawa dan Hanamaki. Sebelumnya Tooru sudah mengirim pesan pada mereka untuk menunggunya di atap saat jam istirahat.

"Katakan saja?"

Suara Makki! fikir Tooru. Ia mempercepat langkahnya. Senyum manis tersungging di bibirnya.

"Terlalu beresiko, kurasa"

Iwa-chan! Sepertinya kelasku keluar paling lama. Tapi Iwa-chan terdengar muram, kenapa?

"Tapi kau menyukainya!"

Tooru berhenti menaiki anak tangga. Matanya terbelalak. Iwa-chan...menyukai seseorang!?

"Aku tidak tahu apa dia gay sepertiku atau tidak..."

Eh?

"Kau tahu, reaksinya saat mengetahui--"

Tooru masih terpaku di tempatnya saat tiba-tiba sepasang telapak tangan besar menutup telinga hingga matanya. Terkejut, ia berteriak. Hanya berteriak tanpa melakukan apapun.

Tooru terlalu sayang kepada masakan ibunya yang ia bawa di kedua tangannya jika ia secara refleks menjatuhkannya atau bahkan menghantamkannya ke kepala si pelaku.

"Berisik, ini aku" ucap si pelaku sambil melepaskan kedua tangannya.

Tooru berhenti berteriak lalu berbalik bersamaan dengan pintu atap yang terbuka menampilkan Iwaizumi dan Hanamaki.

"Mattsun kau menakutiku!" seru Tooru pada Matsukawa yang sedang mencorek telinganya.

"Dan kau berteriak seperti wanita" ucap Matsukawa keki. Demi tuhan, wilayah tangga menuju atap merupakan tempat yang bergema dan Tooru malah berteriak seperti itu sekuat tenaga. Matsukawa merasa tuli seketika.

Semburat pink muncul di wajahnya. "Itu karena kau mengejutkanku!"

"Ada apa?" Hanamaki menjulurkan kepalanya dari belakang Iwaizumi. Tooru menoleh lalu cemberut.

"Mattsun mengejutkanku dengan menutup telingaku dari belakang"

"Itu karena kau menguping pembicaraan orang lain" ucap Matsukawa dengan tenang.

Wajah Tooru memerah seketika. Pegangan tangga di sebelahnya mendadak terlihat lebih menarik. "A-aku kan tidak sengaja!"

Matsukawa, Hanamaki dan Iwaizumi saling pandang. Hening sejenak sebelum Iwaizumi menghela nafas. Ia menatap Tooru yang telinganya bahkan ikut memerah lalu kepada bungkusan bekal di kedua tangannya.

"Itu buatan Ibumu?"

Tooru menoleh dengan cepat dan menyodorkan kedua bungkusan di tangannya pada Iwaizumi dan Hanamaki. Wajahnya seketika cerah. "Ayo makan!"

Kalau boleh jujur, Iwaizumi dapat membayangkan telinga Oikawa langsung berdiri tegak dengan ekor yang bergoyang-goyang layaknya anjing saat ia menyodorkan bungkusan bekal pada Iwaizumi.

Manis, fikir Iwaizumi sambil mengambil bungkusan bekal lalu berbalik. Wajahnya tiba-tiba terasa panas.

Sore harinya dalam latihan tanding melawan SMA lain, Tooru seakan sedang dalam mode Autopilot.

Set up nya tetap seperti biasa, kekuatan servis nya tetap mengerikan seperti biasa, Tooru tetap dapat membaca gerak-gerik teman dan lawannya seperti biasa. Tapi tidak seperti biasanya, fikiran Tooru tidak sepenuhnya berada pada lapangan.

Awalnya hanya Iwaizumi dan Hanamaki yang menyadari ketidakfokusan Tooru dalam permainan. Tapi disaat set terakhir, setelah satu kali gagal servis dan nyaris gagal set up, Tooru dicadangkan--dia sendiri yang meminta sebenarnya, dengan alasan lututnya terasa sakit. Dan sisa latihan hari itu dijalani Tooru dengan fikiran yang malang melintang dan sejumlah pertanyaan yang dilontarkan Hanamaki tentang keadaannya.

"Oikawa"

Di tengah perjalanan pulang, Iwaizumi memanggilnya. Tooru hanya bergumam sebagai balasan tanpa menatapnya sama sekali.

Ia bohong jika mengatakan tidak peduli Iwaizumi gay atau bukan. Kenyataannya, sejak istirahat makan siang usai hingga latihan voli sore harinya, ucapan Iwaizumi terus berputar di kepalanya. Dan bodohnya, saat set terakhir pada latihan tanding tadi sore Tooru beberapa kali sukses kehilangan fokusnya. Untung saja Seijoh memenangkan pertandingan.

Dug!

"Aw!"

Tanpa Tooru sadari, Iwaizumi telah berhenti berjalan dan berbalik menatapnya. Ia membiarkan Tooru terus melangkah hingga ia menabrak Iwaizumi dan mengaduh. Tooru mendongak dari posisi menunduknya yang tidak ia sadari dan baru akan protes saat ucapan Iwaizumi menghentikannya.

"Ah. Kau kalah"

"Hah?"

"Kukira sejak selesai latihan tadi kau memainkan permainan 'Tidak menatap Iwaizumi untuk sementara waktu'" Iwaizumi berkedip "atau ada sesuatu yang kau fikirkan dan kau tidak ingin menceritakannya padaku?"

Tooru merasa wajahnya memanas. "A-ah...aku tidak--"

"Apa ini berkaitan dengan saat kau menguping pembicaraanku dengan Hanamaki?"

Skakmat. Tooru tidak bisa berkata apapun. Karena jika ia salah berucap sekali saja, itu akan mengubah cara Iwaizumi melihatnya dan mungkin berpengaruh juga pada sikapnya terhadap Matsukawa dan Hanamaki. Tooru sangat tidak menginginkan itu terjadi.

Mereka berdua terdiam. Iwaizumi menghela nafas. "Kau tidak salah dengar, aku memang gay. Jika itu yang ingin kau tanyakan"

"Oh"

"Oh?" kening Iwaizumi berkerut. Tooru menirunya. Clueless.

"Apa?"

"Itu saja? Hanya 'oh'?"

"Memangnya aku harus menjawab apa?"

"Ah, tidak" ucap Iwaizumi sambil berbalik dan kembali berjalan. Mereka berdua berjalan dalam diam. Yang terdengar hanya suara gesekan sepatu mereka dengan permukaan jalan. Di depan blok rumah Tooru tepat sebelum mereka berpisah, Iwaizumi menarik tali tas Tooru. Tooru menoleh, dan ia melihat Iwaizumi tidak menatapnya melainkan ke permukaan dinding di sampingnya. Bibirnya mengerucut.

"Terima kasih...kurasa" gumamnya. Masih cukup untuk terdengar oleh telinga Tooru.

"Untuk apa?"

"Hanya...terima kasih" Iwaizumi menatapnya sesaat, mengelus kepalanya, lalu kembali berjalan. Kali ini dengan langkah yang sedikit lebih cepat dari saat ia berjalan bersama Tooru.

Tooru memperhatikannya. Tempat bekas elusan iwaizumi di kepalanya terasa asing. Ia ingin Iwaizumi melakukannya lagi. Rasanya nyaman merasakan kepalanya dielus dengan lembut. Sejumlah kalimat tiba-tiba terlintas di fikirannya ketika Iwaizumi semakin berjalan menjauh dan tanpa dipertimbangkan lagi, Tooru berteriak.

"Jangan berterimakasih padaku untuk sesuatu yang merupakan pemberian tuhan, Iwa-chan!"

Dan Tooru langsung berlari menuju rumahnya tanpa menoleh kebelakang.

Astaga, yang barusan itu apa?!

Keesokan paginya, Tooru menemukan Iwaizumi menunggunya seperti biasa di persimpangan depan blok rumahnya. Saat Iwaizumi menyadari kehadirannya, ia memberikan Tooru sebuah senyuman yang terlihat lembut seperti hembusan angin musim semi.
Tanpa sadar Tooru membalasnya dengan memberikan Iwaizumi senyuman yang sama.

Ah, aku...menyukainya.

The IdealismWhere stories live. Discover now