ia sudah ada yang punya.

4.1K 509 187
                                    

a/n; in which gue, seorang mahasiswa jogja yang gapernah main ke jatingor, emang sosoan nulis tentang unpar x unpad disini wkwk. yha gimana, habisnya lagu "sudah jangan ke jatinangor" yang ada di mulmed itu sangat catchy dan meminta dibikinin songfic sih. jadi yha. gitude. 

padahal lagu aslinya tentang itb x unpad. au ah. 

btw, makasih yha sobat-sobat unpadku teasetroll dan kapaskepes untuk segala insight-nya. ehe.

[]

"BUSET, KUCEL BANGET lo. Habis dari mana?"

Aruna hanya tersenyum kecil setelah ditanyai sahabat sekaligus rekan kerjanya, Nugraha, begitu ia tiba di bar Hari Esok Coffee, sebuah coffee shop di bilangan Dago tempat ia bekerja paruh waktu, tiga puluh menit terlambat. Berkuliah di kampus swasta macam Universitas Parahyangan meskipun ia berasal dari keluarga yang nggak tajir-tajir amat menyebabkan Aru harus banting tulang untuk menyambung hidup. Agak hiperbolis, memang. Tapi Bandung semakin lama semakin mahal untuk mahasiswa, dan kiriman bulanan dari orangtuanya pas-pasan gara-gara harus membayar UKT Unpar yang mahal itu. Mau tidak mau, Aru harus bekerja paruh waktu untuk mennambah penghasilannya.

Meskipun belakangan ini kinerjanya sebagai kasir di Hari Esok mulai tidak becus. Seringkali, Aru nggak fokus saat harus menyerahkan kembalian atau memilah-milah uang berdasarkan nominalnya di mesin kasir. Nggak jarang juga pemuda itu datang terlambat ke shift-nya.

Alasannya karena satu orang.

"Habis ngapelin si Bidadari Unpad, ya, jangan-jangan?"

"Kagak," bantah Aru sambil mengutak-atik mesin kasir, meski tebakan Nug benar adanya. Barista bergaya rambut comma hair ala artis-artis Korea itu selama ini memang kerap menjadi tempat sampah Aruna untuk segala hal—termasuk, dan yang paling sering, tentang cewek. Tidak heran kalau Nug sudah tahu banyak tentang si Bidadari Unpad yang dimaksud Aru meskipun ia nggak pernah bertemu dengan sosoknya secara langsung.

Nug hanya tertawa kecil. "Anying. Lo nggak usah pake acara bo'ong juga, kali. Kentara pisan, maneh teh, kalo lagi bo'ong mah (Kamu tuh kentara banget kalo lagi bohong)." Meskipun sebenarnya ia asli Ngamprah, sebuah kecamatan kecil yang agak jauh dari pusat kota itu, Nug memang kerap memaksakan diri untuk ber-"lo-gue" dengan Aru yang anak Jakarta. Namun, mau bagaimanapun juga, tetap saja aksen Sunda bawaannya nggak bisa disembunyikan. "Shanaya Kusumaningtyas. Shanaya Kusumaningtyas." Nug semakin memanas-manasi Aruna dengan menyebut nama lengkap si Bidadari Unpad berkali-kali, yang membuat Aru senyum-senyum salah tingkah. "Tuh, kan, senyum-senyum sendiri."

"Emang kelihatan banget, ya, kalo gue abis ngapelin si Naya?"

"Kentara, lah!" jawab Nug penuh keyakinan sambil menyiapkan es kopi susu pesanan salah satu pelanggan. "Lo kucel gitu, sampe telat masuk kerja, kenapa lagi kalo bukan gara-gara kejebak macet di Cibiru?" Perjalanan dari pusat kota Bandung ke Jatinangor, tempat kampus Naya sang bidadari itu berada, memang kerap kali diperlama oleh macet di sekitar daerah Cibiru.

Aru hanya terkekeh. "Demi cinta, Nug, demi cinta. Lo anak kecil, nggak bakal ngerti." Nug memang adik tingkat Aru—ia masih semester tiga sementara Aru semester tujuh—meskipun mereka beda jurusan. Nug itu anak Arsitektur, sementara Aru kuliah Manajemen. Dari kluster saja sudah beda, satunya saintek satunya soshum. Mereka nggak terlalu sering bertemu di kampus. Mungkin, kalau keduanya nggak sama-sama kerja di Hari Esok, mereka nggak akan saling mengenal.

Sudah, Jangan ke JatinangorWhere stories live. Discover now