Mie Instan dan si Tuan Sempurna.

39 3 0
                                    

Thank God, hari ini berakhir juga. Akhirnya aku bisa lepas dari pandangan sinis dan bisik-bisik para wanita di kantor. Padahal aku hanya kebetulan bertetangga dengan Dani. Mengapa mereka langsung menganggapku musuh? Aku rasa mereka terlalu berlebihan.

Apa yang mereka lihat dari Dani? Hmm.. aku akui dia cukup tampan. Tapi kenapa para wanita itu serentak tergila-gila padanya? Padahal mereka juga baru bertemu hari ini. Benar-benar tidak masuk akal.

Tok.. tok.. tok..

Suara ketukan di pintu membuyarkan pikiranku. Siapa yang bertamu malam-malam begini? Aku segera menuju ke depan dan mengintip sedikit. Oh tidak, itu Dani. Apa yang dia lakukan di depan apartemenku?

Aku membuka pintu, "Hai. Ada apa?"

Dani berdiri dengan membawa handuk dan perlengkapan mandi. "Hai, Dania! Untung kau ada di sini. Boleh aku menumpang mandi? Ada yang salah dengan saluran air di kamar mandiku."

"No way.." ujarku cepat. "Kau orang asing."

"Tolonglah, sekali ini saja. Aku tidak bisa tidur kalau tidak mandi. Pihak pengelola bilang besok akan diperbaiki."

Aku menggeleng.

"Paling lama sepuluh menit, aku janji." Dia memohon. "Kita kan rekan kerja. Kau bisa melaporkanku kalau aku berbuat yang tidak-tidak."

Aku berpikir sebentar. Kasihan juga melihatnya seperti itu. "Baiklah, tapi pintu ini tetap aku buka dan aku duduk di sini." Aku mempersilahkannya masuk. "Lurus saja, kemudian ke kiri."

Dani tertawa, "Hahaha.. aku bukan psikopat, Dania. Tidak perlu takut begitu. Tapi baiklah. Terima kasih." Dia berjalan menuju kamar mandi.

Aku duduk di depan pintu. Tiba-tiba aku merasa lapar meskipun baru saja makan malam. Dengan malas aku mengambil mie instan dan mengisinya dengan air panas lalu kembali lagi duduk di depan pintu. Setidaknya butuh lima menit hingga mienya matang. Aku makan dan meminum kuahnya. Ya ampun, kenapa mie instan begitu nikmat?

"Hey, kelihatannya enak sekali. Apa kau punya satu lagi?"

Dani duduk di sampingku. Aku lupa ada Dani di sini. Dengan cepat aku menelan mie yang ada dalam mulutku dan berkata, "Kau sudah selesai? Kalau begitu kau boleh pergi. Ingat, kau tadi hanya ingin menumpang mandi."

"Jangan pelit begitu. Kita ini kan tetangga, satu kantor lagi! Dan aku belum makan malam. Aku janji, setelah ini aku akan segera pergi."

Aku menghela napas. "Ambilah di sana. Kau benar-benar tetangga yang menyusahkan."

Dani bergegas ke arah dapur, mengambil mie instan, memasukkan air panas, kemudian kembali duduk di sampingku.

"Sana, makanlah di kursi." Aku menunjuk ke arah ruang tamu.

"Aku tidak mau menjadi tamu yang tidak sopan. Masa tuan rumah duduk di lantai sementara aku duduk di kursi?" ujarnya.

"Terserahlah." jawabku.

"Hey, apa kau selalu seketus ini terhadap semua orang?" tanya Dani sambil terus memakan mie instannya.

Aku menendang kakinya. "Kau tahu? Seharian ini sekumpulan fans beratmu membuat aku gerah di kantor. Mereka bergosip sambil memandangku sinis. Padahal kita hanya tetangga. Dan kau juga hanya pegawai baru. Aku tidak mengenalmu, mereka juga tidak."

Dani tertawa pelan. "Benarkah? Wow, aku baru tahu kalau aku begitu populer." ujarnya sambil terus makan.

"Ya terserahlah. Jadi, kau jangan pernah mengajakku ngobrol di kantor. Aku tidak mau berurusan dengan singa-singa betina itu."

"Kenapa tidak? Kita kan berteman."

"Siapa bilang aku temanmu?"

"Ini buktinya." Dani menunjukkan cup mie instannya.

"Aku hanya tidak tega melihat orang kelaparan. Dan aku sedang tidak ingin berteman dengan siapapun."

"Hahaha, kau begitu lucu Dania. Manusia itu mahluk sosial, bagaimana mungkin kau bisa bertahan tanpa orang lain?" Dani bangkit berdiri. "Terima kasih atas makan malamnya. Aku merasa beruntung menjadi tetanggamu."

"Ingat, ini bukan berarti apa-apa. Aku harap kau tidak salah paham, tapi aku memang tidak terlalu suka bersosialisasi. Aku juga tidak ingin berteman denganmu. Firasatku mengatakan sebaiknya aku menjauh darimu."

Dani tersenyum, "Firasatku malah mengatakan sebaliknya. Sepertinya kita akan sering bertemu sepanjang tahun ini. Dan aku suka hal itu."

"Bye." Aku menutup pintu dengan cepat dan tepat di depan wajahnya.

Senyuman Dani membuatnya semakin tampan. Gigi-giginya yang putih tersusun rapi sempurna. Ditambah lagi kepribadiannya yang hangat. Pantas saja para wanita itu menyukainya. Dan sebagai wanita normal, tentu saja aku juga menyukainya. Dia begitu sempurna. Sangat sempurna untuk menjadi pasangan hidup.

Hentikan, apa yang aku pikirkan? Dani tidak mungkin sesempurna itu. Pasti ada kekurangan dibalik kesempurnaan yang dia pamerkan. Dan aku hanya harus fokus pada kekurangan itu. Aku harus ingat: less people, less drama. Aku tidak ingin mengulang kembali masa itu. Ya, masa kelam lima tahun yang lalu...

Dania.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang