Prolog

28.7K 1.7K 51
                                    

Masih tengah hari ketika Thomas Hardy, Duke of Wellington dan sepupunya, Matthew Scott sampai di kota Bath.

Sebuah kota yang dijadikan peristirahatan modern dengan serangkaian sumber air mineral panas di sekitarnya, dan rumah-rumah bergaya palladin yang memanjakan mata.

Mereka lalu memacu kudanya dengan pelan. Membelah jalanan kota Bath yang kini banyak didirikan tempat hiburan, pusat perbelanjaan, dan penginapan.

Matthew mencebik muram ketika melihat town house milik keluarga Hardy tampak dari kejauhan. Sementara Thomas, tetap memasang wajah datar dan bosannya. Seolah keramaian kota tidak menarik dan perjalanan panjang selama satu tahun belakangan ini tidak membuatnya terkesan sama sekali.

Para pelayan dengan sigap menyambut kedatangan tuan mereka. Mengurusi kedua kuda yang sudah dipacu selama beberapa hari dan menyiapkan keperluan tuannya dengan baik.

"Kau boleh berjalan-jalan untuk sementara waktu. Setidaknya, kau bisa berendam dan menghilangkan wajah muram yang kau miliki sepanjang perjalanan ini," ujar Thomas sarkatis yang hanya ditanggapi Matthew dengan dengkusan kesal.

Pasalnya, Thomas sama sekali tidak berubah walaupun sudah satu tahun ini mereka melakulan perjalanan berdua. Mengunjungi satu kota ke kota lainnya dalam rangka melaksanakan tugas dari sang ratu, yang hanya Thomas, sang ratu dan Tuhan yang tahu. Bukan berarti Matthew mengharap sikap otoriter Thomas akan berubah dan dirinya akan bersikap lembut. Tapi demi Tuhan, setidaknya, Thomas bisa berdiskusi atas apa yang akan dia lakukan terlebih dahulu sehingga tidak perlu ada 'kecelakaan kecil' yang terjadi di kota terakhir yang mereka singgahi.

Ya, walaupun hanya luka kecil yaitu sabetan pisau yang melukai punggung Thomas, Matthew merasa bersalah karena gagal melindungi Thomas. Karena walau apapun yang Thomas lakukan, dia tetaplah tuannya yang harus dirinya lindungi dengan segenap jiwanya.

Oleh sebab itulah, Matthew terlihat murung sepanjang perjalanan dan membuat Thomas selalu jengkel kepadanya. Bukan berarti pula Thomas terkadang baik kepada Matthew, karena Thomas yang biasanya pun selalu bersikap sinis dan menyebalkan.

Menghela napas kesal, Matthew akhirnya memilih untuk pergi ke kamarnya. Meninggalkan tuannya yang diam-diam berdecak kesal ketika punggung Matthew tidak terlihat lagi.

"Siapkan kuda lain, aku akan keluar sebentar," perintah Thomas tegas yang langsung dilaksanakan oleh pengurus rumahnya.

Ia merasa kurang sehat selama perjalanan, dan rasanya, luka di punggungnya adalah penyebabnya. Selama ini, ia berpura-pura kuat dan menghalau sekuat tenaga demam yang diam-diam ia derita. Tapi kali ini, Thomas tidak bisa lagi diam dan harus mendapatkan pertolongan dokter atau dia akan ambruk.

Dengan cepat, Thomas memacu kudanya ke kediaman kawan lamanya. Ia menghela napas lega ketika menemukan bahwa dokter Ruthbone sedang berada di rumahnya. Kawan lama Thomas itu tidak terlihat terkejut sama sekali ketika menemukan Thomas dengan wajah pucat berada di depan rumahnya.

"Mengapa aku tidak terkejut dengan kedatanganmu?" ejeknya ketika memapah tubuh Thomas memasuki rumahnya.

"Sebuah belati yang kuduga mengandung racun mengenai punggungku. Matthew menanganinya cukup baik walaupun kurasa aku tetap membutuhkan bantuanmu," ujarnya sambil meringis. Ia lalu berbaring telungkup dan dokter berusia empat puluh tahun itu langsung menyobek kemeja Thomas. Menemukan luka sayatan sepanjang sepuluh senti meter yang terlihat menganga dan berwarna merah kehitaman.

"Dasar gila. Luka ini hampir menjadi infeksi dan kau menyembunyikannya selama ini?" hardik sang dokter. "Apa lagi yang sedang kau hadapi? Pembunuh? Perampok? Atau penculik?"

Thomas meringis ketika Ruthbone memerintahkan pelayannya mengambil air panas, alkohol dan peralatan medisnya.

"Perampok gunung lebih tepatnya. Kami tidak sengaja bertemu dan Matthew berhasil mengatasinya."

Ruthbone berdecak. "Dan apa yang kau lakukan? Membiarkan tubuhmu menjadi tameng bagi Matthew?"

Thomas ingin tertawa mendengarnya alih-alih merasakan sengatan tajam ketika Ruthbone mulai membersihkan luka itu.

"Aku hanya membuat jengkel mereka dan menangani sedikit dari jumlah mereka. Tapi kau tahu bahwa aku tidak cukup pandai berkelahi," ujarnya masam. Ia berusaha tetap sadar. Menjawab pertanyaan-pertanyaan Ruthbone yang ia tahu, ditujukan untuk membuatnya teralih dari rasa sakit yang menerpanya.

Sementara itu Ruthbone berdecak kesal. Terlalu banyak luka di tubuh Thomas yang menandakan betapa perjalanan hidup dan pertempuran yang Thomas jalani selama ini. Kebohongan besar jika mengatakan bahwa Thomas tidak bisa berkelahi karena satu-satunya yang bisa mengalahkan Matthew, adalah dirinya.

"Dan apa yang kau perintahkan kepada Matthew saat ini?"

"Bersenang-senang akan lebih baik untuknya. Kau tahu aku berhutang kepadanya," jawabnya kesal. "Kuharap di sini aku bisa menebus hutangku."

Satu alis Ruthbone terangkat. "Kau akan membongkar penyamaran mereka?"

"Sudah saatnya seseorang membangunkan kedua orang itu dari tidur nyenyaknya, Ruthbone. Dan di sinilah aku berada."

Ruthbone terdiam. Memilih mengoleskan salep berwarna hitam dengan khasiat mencegah infeksi sekaligus menutup luka sebelum akhirnya ia tutupi dengan kain bersih.

"Apapun yang kau lakukan, aku hanya berharap bahwa itu tidak akan menjadi masalah."

Thomas hanya mengangguk. Tubuhnya terasa terlalu lelah dan matanya sudah terlihat sayu. Ia mungkin kalah dari demam yang saat ini menerpanya. Tapi ia yakin akan segera terbangun dengan keadaan yang lebih baik.

"Kuharap harapanmu terkabul sementara aku harus kembali mencari seorang duchess untukku sebelum season berlangsung," ucapnya sebelum ia menyerah dan memilih tertidur.

***



















Ps. Namanya prolog, jadi kalo pendek maklumin, yes?
Ide tentang Thomas lebih berjalan lancar daripada lapak sebelah. Dan saya sudah gatal pengen nulis tentang dia.
IThomas, very much.
Wkwkwkwk.

Voment yes? Sapa tahu chapter 1 bisa up bareng sama lapak sebelah.
Hahahaha.

Love,
Raadheya.

Begin. Mei 2017

Catching The Duchess [Repost]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang