LIMA

11.4K 1.2K 14
                                    

Candaan kadang bisa lebih serius dari hal yang diseriuskan.

|•|


Lona akan memberi apa saja yang Awan butuhkan. Selama bukan materi yang dibutuhkan. Karena sudah diketahui sendiri, bahwa Lona terkurung tanpa bisa mencari pekerjaan. Awan sudah terlalu sering mengatakan bahwa apa saja yang Lona butuhkan akan Awan beri, tidak peduli semahal apa pun benda tersebut.

"Siapa yang menjaga Lona?" tanya Awan pada Attar yang baru saja memasuki ruangan Awan.

"Nyonya Lona sudah istirahat. Belakangan ini Nyonya Lona lebih mudah lelah. Tugas saya selesai untuk hari ini, Tuan. Ada yang bisa saya kerjakan selain mengenai Nyonya Lona?"

"Tidak. Tugasmu hanya menjaganya, bukan yang lain."

Awan tidak pernah suka berbasa basi dengan siapa pun. Dan Attar, lebih suka mengimbangi apa lawan bicaranya lakukan.

"Sepertinya kamu lumayan dekat dengan wanita saya."

"Sebagai teman cerita. Nyonya Lona sepertinya membutuhkan teman bercerita."

Awan cemburu. Itu jelas. Tapi tidak bisa berbuat banyak, karena Awan tahu Attar tidak akan melakukan tindakan diluar kendali.

"Jika, Tuan tidak suka saya bisa menjaga jarak dengan Nyonya-"

"Tidak." Awan langsung menyekat ucapan Attar. "Biarkan saja. Lona memang membutuhkan teman cerita. Terima kasih," ucap Awan tanpa menghiraukan ekspresi terkejut Attar.

"Sama-sama, Tuan."

Attar masih di sana. Di depan Awan duduk di kursi kebanggaannya. "Kenapa?" Awan bertanya.

"Tuan belum mengatakan saya bisa pulang."

"Attar. Kamu memang menjadi orang kaku. Saya heran kenapa Lona bisa nyaman bercerita denganmu."

"Saya juga tidak mengerti, Tuan."

"Sana. Kembalilah ke rumahmu. Lona akan saya jaga malam ini."

Sebelumnya, Awan memang sudah mengatakan pada Attar bahwa malam ini akan bersama dengan Lona. Tapi sepertinya Awan hanya akan memastikan Lona baik-baik saja. Emosinya sedang tidak begitu baik belakangan ini. Sonya lebih banyak mengganggu ketenangannya untuk menghabiskan waktu bersama Lona.

Attar yang sudah akan bersiap pulang, memilih mengutarakan apa yang mengganjal dipikirannya.

"Tuan Awan," panggilnya. Awan hanya mendongak. "Bagaimana jika suatu hari nanti Nyonya Lona meminta saya memasak untuknya?"

Awan mengernyit. "Apa maksudnya?"

"Saya hanya khawatir dengan keadaan Nyonya Lona. Beliau jarang sekali keluar rumah. Tapi Nyonya Lona sempat mengatakan bahwa Nyonya menyukai masakan yang saya buat, lalu dia akan menjadi orang pertama yang akan mencoba makanan jika saya membuka restoran. Apa tidak masalah bagi, Tuan?"

"Tak apa. Asal bukan dia yang menjadi orang pertama yang mengambil tempat dihatimu." Attar tidak tahu sepenuhnya. Apa ucapan Awan adalah candaan atau tidak. Jika iya candaan, maka tidak begitu Attar pikirkan. Tapi jika ucapan itu adalah sindiran, karena Awan sudah mengetahui perasaan Attar pada Lona...

"Saya hanya bercanda, Ar. Kenapa wajahmu begitu serius?"

"Maaf, Tuan. Saya memang selalu begini." Attar bernapas lega. "Kalau begitu, saya permisi, Tuan."

Tidak baik jika terus menyembunyikan banyak rahasia pada seseorang yang kamu cintai. Mungkin sekarang kamu bisa bersembunyi, menyambangi dengan santainya, dan mengatakan cinta berkali-kali. Tapi nantinya, banyak kejutan yang akan menyakiti orang yang kamu cinta.

Awan seringkali miris mengetahui apa yang ada. Kenapa?

Karena Lona yang tidak tahu apa-apa selalu menjadi objek yang memberikan tanpa menyadari kesakitan yang akan ia terima.

Sesuai yang dikatakan Attar, bahwa Lona memang beristirahat. Tapi ketika Awan datang, Lona selalu bisa membuka matanya dan menanyakan apa-apa yang biasa istri lakukan untuk suaminya.

Setelah memastikan tidak ada yang diperlukan oleh Awan, keduanya memutuskan untuk menonton tv. Sudah malam, tapi tidak menyurutkan niat keduanya.

"Mas," panggil Lona.

"Kenapa?"

"Waktu itu, saat pertama kali berhubungan sama kamu. Aku takut kalau hamil, karena aku masih 22 waktu itu." Awan mulai waspada dengan topik ini. "Kalau semisalnya-"

"Kamu hamil?" sahut Awan cepat, melepaskan pelukan dari Lona. "Jangan bilang kamu hamil, Lona." Awan terus menuntut jawaban dari Lona.

"Mas... nggak mau?" tanya Lona dengan lirih.

"Nggak." Lona membesarkan mata, tidak percaya akan apa yang Awan ucapkan. Melihat hal itu, Awan segera meralat ucapannya. "Nggak untuk sekarang, Lona. Kamu harus sabar, sampai aku mengambil keputusan untuk menikahi kamu. Aku nggak mau anak itu nantinya lahir diluar ikatan pernikahan. Jangan gegabah, Lona. Kamu ingat kan kalo apa yang aku larang, itu semua demi kebaikan kita?"

Meski merasakan perih, Lona memang akan tetap menjadi apa yang Awan banggakan. Tidak apa. Memang alasan yang Awan berikan adalah benar adanya.

"Iya, aku ngerti."

Awan tahu jawaban itu bukan berasal dari hati wanitanya. Awan egois, dia sadar itu. Kebaikan kita? Semua itu bohong. Yang benar, hanya kebaikan untuk diri Awan sendiri.

"Mas masih belum mau tidur?"

Awan mengamati wajah Lona. "Yaudah, kalo gitu aku tidur duluan aja." Lona tidak menunggu jawaban dari Awan lagi. Dia sudah berusaha keras menyembunyikan tangisnya, jadi sebisa mungkin Lona mendahului Awan agar ada jeda untuk dirinya sendiri untuk menghabiskan air matanya sejenak.

Awan menghembus napasnya kasar. Mengacak rambutnya dengan frustasi.

Sulit sekali menggapai kebahagiaan bersama Lona. Dia ingin membuat Alona bahagia, dengan kehadiran dirinya, apa tidak cukup? Tapi itu sifat dasarnya manusia. Tidak akan pernah ada puasnya.

Awan bergerak menuju kamar setelah mematikan televisi di ruang bawah. Saat membuka kamar, Lona tidak ada di ranjang. Dia yakin bahwa Lona pasti sedang di kamar mandi, tapi tidak tahu pasti apa yang dilakukan wanitanya di sana.

Awan mendekati, berniat menghampiri Lona. Tapi saat dia mendengar samar suara isakan, Awan merasa sakit seketika. Lona-nya tidak pernah menangis, terlebih lagi menangis karena dirinya. Dan kini, Awan memdapati Lona-nya menangis... karena dirinya. Membayangkan saja Awan tidak bisa, apalagi mendengar dan melihatnya langsung.

Dia wanita. Ya, Lona-nya memang wanita. Apalagi sudah mulai memahami kebohongan, kesakitan. Tapi Awan begitu salut pada Lona yang selalu bersikap layaknya diri wanita itu ketika masih berumur 22 tahun. Lona masih seperti perempuan polos, membuat Awan selalu gemas. Tapi memiliki kedewasaan luar biasa dalam mengendalikan emosi di hadapan Awan.

Awan tidak sanggup berlama-lama membiarkannya. Dengan pasti, dia membuka pintunya dan mendapati Lona yang terduduk, seperti sedang berendam. "Sayang...," panggilnya dengan serak. "Lona. Dengar-"

"Aku nggak pantes buat, Mas. Aku nggak layak ngasih keturunan buat, Mas. Aku-"

"Lona!" bentak Awan karena Lona tidak kunjung berhenti menyalahkan diri.

Awan memeluk wanitanya, mencoba memberi ketenangan. "Kamu nggak sepatutnya bilang gitu. Ini salahku, aku mohon, Lona... jangan begini."

Lona semakin histeris, mengeratkan pelukan pada Awan. Sedangkan Awan mengecupi pucuk kepala Lona dengan intens. "Jangan menangis, sayang."

Menunggu tangisan Lona reda, Awan tetap setia berada pada posisi yang sebenarnya cukup membuat pegal.

Lona melonggarkan pelukan, dan Awan langsung menghapus jejak sisa-sisa air mata Lona.

"Mas."

"Hm?"

"Kalo nanti aku beneran hamil... apa yang akan kamu lakuin?"

√√√√√

21.05.2017

EVERY ROSE HAS A THORNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang