Arkananta Sakha Gibran - Jakarta-Malang

1.4K 283 8
                                    

"Sakh, ada paket tuh di bawah buat lo. Kayaknya dari Lia, deh." Firaas, temen satu kosan gue tiba-tiba nyembul dari balik pintu.

"oh, iya. Thanks, raas. Ntar gue ambil deh." ucap gue sambil tidak melepaskan pandangan dari paper yang gue bikin.

"Istirahat kali, pak. Tuh kantong mata udah tebel macem kasbon gue sama ibu warteg depan."

"Hahahaha, iya raas. Ntar kalo udah kelar gue juga pasti molor kok. Thanks, btw." Gue menutup laptop gue dan bersiap menyambut paket di bawah.

Gue melihat sebuah paket yang ditujukan untuk gue teronggok di sebelah kursi ruang tamu. Gue udah bisa nebak kalo ini yang ngirim Lia. Karena cuma seorang Maharani Amalia yang ngirim paket tapi nggak bilang-bilang. Bapak, Ibu atau Mas Hanung pasti bilang kalo mau ngirim paket.

Sesampainya di kamar, gue langsung membongkar paket itu. Bukan sesuatu yang romantis emang, tapi Lia selalu tau cara untuk menjaga gue dari jauh. Dia ngirimin gue sekotak Tolak Angin, 5 strip Panadol, satu botol obat penurun panas, dan obat anemia. Nggak lupa, sepucuk surat juga ada disitu.

"Hai, bapak ketua BEM! Kata Firaas akhir-akhir ini kamu sering begadang ya? Aku tau sesibuk apa kamu, tapi jangan lupa istirahat ya. Jangan biarin kamu diperbudak sama kerjaan trus akhirnya malah sakit. Masa akunya anak FK, tapi kamunya malah nggak sehat? Kasian Firaas, Janitra, Brian, Wisnu, Dewa sama temen-temen kosan nanti kalo kamu sakit. Kamu kan anaknya jarang ngomong kalo ngerasain sesuatu. Jangan sakit ya, Sakha?

Love from 1.178 km away,
Maharani Amalia"

Tanpa pikir panjang lagi, gue langsung nelfon nomor yang udah gue simpen dengan nama "IBU NEGARA"

"Li..." gue langsung manggil Lia setelah telfon gue diangkat.

"Assalamualaikum dulu, Sakha."

"iya, lupa. Assalamualaikum, Lia."

"Waalaikumssalam, Sakha. Paket aku pasti udah nyampe ya?" tanya Lia.

"Iya, hehe. Makasih ya, Li."

"iya, sama-sama," jawab Lia. "Pokoknya langsung bilang Firaas, Janitra, Brian, Dewa atau Wisnu ya kalo kamu ngerasa nggak enak."

"siap, ibu negara."

"Sakh...." Lia memanggil lagi.

"Kenapa, Li?"

"Aku kangen kamu."

Jarang-jarang seorang Lia bisa ngomong kayak gini ke gue. Selain karena emang dia anaknya pemalu dan sedikit cuek, kita berdua emang jarang banget romantis-romantisan gini. Gue yang emang anaknya susah ngungkapin apa yang gue rasain, ketemu sama Lia yang pemalu dan cuek. Udah deh. Jarang banget ngomong I love you atau apapun itu yang sering banget diomongin Brian ke Ayu kalo dia lagi jadi bucin—alias budak cinta.

"Iya, Li. Aku juga kangen kamu." Jawab gue lirih.

Iya, gue tau posisi kita emang lagi sama-sama kangen. Tapi kita berdua juga nggak bisa ngelakuin apa-apa. Lia lagi sibuk sama KKNnya di salah satu desa disana. Sedangkan gue juga lagi sibuk sama BEM yang bakal ngadain event jurusan terbesar kita.

"Li," "Sakh,"

"kamu dulu, Li." Gue mengalah

"Pipo kangen kamu katanya."

Iya, Pipo. Kucing yang gue adopsi bareng Lia dari sebuah shelter pas dulu gue nemenin Lia pindah ke Malang. Bukan kucing mahal sih, tapi setidaknya kehadiran Pipo bisa menggantikan gue menemani Lia disana.

"Bilang Pipo, aku juga kangen sama dia," jawab gue.

"sama yang punyanya juga."

DistanceWhere stories live. Discover now