2. The Little Girl

123K 16.2K 530
                                    

Pak Aria mengirim pesan padaku bahwa ia masih di jalan, padahal jam sudah menunjukkan pukul lima lewat sepuluh. Ia memintaku untuk menunggunya di dalam rumah, aku hanya iya-iya saja. Mengingat probabilitas bertemu dengan Danial cukup tinggi, aku jadi malas untuk menunggu Pak Aria di dalam rumahnya. Tapi, nggak enak juga kalau terus-terusan menunggu di dalam mobil. Setelah nyaliku terkumpul, aku pun memberanikan diri untuk meengetuk pintu rumah Pak Aria. Semoga saja aku nggak ketemu Danial.

Dengan langkah cepat, aku bergegas menuju teras rumah Pak Aria dan memencet bel rumahnya.

"Ya?"

"Selamat sore, Pak," sapaku-berusaha ramah. Duh, ternyata aku kurang beruntung. Belum apa-apa sudah ketemu sama Danial.

"Oh, kamu," sahutnya singkat dan memberi isyarat untuk masuk. Aku tersenyum ala kadarnya, tapi tidak dibalas oleh Danial.

"Maaf mengganggu, Pak. Saya ke sini mau bimbingan sama Pak Aria," kataku lagi.

"Iya, saya tahu. Kan saya yang nyuruh kamu bimbingan ke sini tadi pagi. Kamu meremehkan daya ingat saya, ya?" tanya Danial yang terdengar tersinggung. Aku hanya senyum-senyum saja, tapi dalam hati menggerutu. Danial itu kayak nggak kenal sama yang namanya basa-basi.

"Kamu ngapain?"

Dahiku berkerut halus, "Eh?"

"Siapa yang nyuruh kamu duduk?"

Pertanyaan Danial membuatku segera bangkit dari sofa, biar nggak awkward, aku terkekeh pelan-cengegesan. "Belum boleh duduk ya, Pak?" tanyaku.

"Emang ada yang bilang nggak boleh? Barusan kan saya cuma nanya, siapa yang nyuruh kamu duduk," kata Danial. Walaupun masih memasang wajah tanpa ekspresi, tapi sorot mata lelaki itu menunjukkan kalau dia terhibur karena kejahilannya barusan.

Puas melihatku dongkol, Danial pun kembali mempersilakan aku untuk duduk. Sejurus kemudian, ia meninggalkan aku sendirian di ruang tamu. Tak lama setelahnya, seorang asisten rumah tangga berusia paruh baya menyuguhi minuman untukku.

Selagi menunggu, aku mendapati sosok gadis kecil yang tengah berlarian di teras rumah. Tiba-tiba saja, si kecil itu masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Ia tampak kaget saat melihat aku yang duduk anteng di sofa. Aku juga kaget, bukan karena si kecil itu membuat suara gaduh atau berisik, melainkan karena wajahnya yang mirip sekali dengan Danial! Danial versi cantik!

Astaga, I swear that she's the cutest girl I've ever seen! Suri Cruise waktu kecil saja kalah cantik dari anaknya Danial. Tahu apa yang lebih membuat gadis kecil ini begitu menggemaskan? Dia punya pipi seperti bakpao dengan freckles yang samar serta mata bulat yang dibingkai dengan bulu mata yang lentik. Iris matanya berwarna cokelat terang, mirip ayahnya.

"Hai," sapaku ramah sambil melempar senyum dan ia membalas dengan tawanya. Semoga saja, si kecil ini nggak sejutek Danial."Siapa namanya?"

"Kayla,"

Aku manggut-manggut.

"Kakak siapa namanya?" Kayla balik bertanya.

"Kak Yaya,"

"Ooh, Kak Yaya," ulang Kayla. "Kak Yaya cantik."

Aku tersipu. Ini pertama kalinya aku mendengar pujian dari anak kecil. Katanya nih, kalau anak kecil memuji kita cantik, berarti kita memang beneran cantik. Baiklah, maaf kalau aku terdengar agak narsis.

Aku pun mengajak Kayla bicara dan dia menyahut dengan riang. Kayla bilang, dia sedang main petak umpet sama ayahnya. Kayla sepertinya mudah didekati karena dia bukan tipikal anak yang pemalu atau jutek. Kayla bahkan tak segan untuk memintaku memangkunya.

"Kay," Danial tiba-tiba membuka pintu utama.

"Papa!" sorak Kayla sementara Danial menatapku keheranan melihat Kayla beringsut dari pangkuanku. Kayla berlari menuju Danial dan meminta lelaki itu untuk menggendongnya. "Papa kalah!"

Danial menghela napas, "Iya. Papa kalah. Lain kali main petak umpetnya di dalam rumah aja, ya. Jangan kabur ke halaman lewat pintu belakang. Dan... jangan main ke luar pagar rumah,"

"Iya, Pa," Kayla mengangguk paham. "Pa, Kay mau main sama Kak Yaya ya?"

Danial menatapku sebentar, tampaknya enggan membiarkan anaknya untuk main denganku. "Sama Papa aja."

"Mau sama Kak Yaya!" pinta Kayla sambil menarik-narik kaus Danial. Ia merengek keras sampai nyaris menangis, Danial pun pasrah. Lelaki itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menatapku. "Kamu keberatan nggak kalau saya minta kamu menemani Kayla main?" tanya Danial ragu.

"Nggak kok, Pak." Aku menggeleng dengan mantap dan melempar senyum. Aku malah senang kalau Kayla mau main denganku, justru aku yang jadinya merasa ditemani.

&&&

"Dan, Yaya mau pulang nih," kata Pak Aria begitu aku menyampirkan strap tasku ke bahu. Aku mengerutkan dahi. Ini... harus banget ya aku pamitan sama Danial juga?

"Pulang sekarang?" tanya Danial begitu ia menampakkan batang hidungnya.

"Iya, Pak,"

"Ini sudah gelap lho Yaya, jangan pulang sendiri ya," ujar Pak Aria yang tampak khawatir.

Aku mengulas senyum, "Baru jam delapan malam kok, Pak, jam segini masih ramai banget. Lagian jalan ke arah apartemen saya mah nggak pernah sepi,"

"Tapi kan jalanan di komplek ini sepi banget, agak gelap karena banyak lampu jalan yang rusak,"

"Biar saya antar kamu." Danial menyela dengan cepat.

"Nah, iya, Dan. Antar aja Olivia, jangan dibiarin pulang sendirian. Kan gara-gara elo juga dia harus bimbingan ke sini," sahut Pak Aria.

"Eh, nggak usah, Pak. Lagian, mobil saya gimana kalau misalnya Pak Danial ngantar saya," sahutku cepat.

"Memang kenapa?" tanya Danial seolah dia tersinggung dengan penolakanku. "Saya antar kamu pakai mobil kamu, pulangnya saya bisa naik taksi,"

"Iya, gitu aja, Olivia. Saya juga nggak tenang kalau kamu pulang sendiri. Takut ada apa-apa di jalan,"

Duh, gimana nolaknya, ya? Danial dan Pak Aria sama-sama nggak mengijinkan aku pulang sendiri. "Saya jadi nggak enak kalau Bapak pulangnya naik taksi. Saya beneran nggak apa-apa kok pulang sendiri. Lagi pula, saya biasa kok nyetir malam, dari Bandung ke Jakarta malam-malam aja saya berani,"

Danial tampak terkejut. "Saya nggak mau tahu. Sekarang, saya yang anterin kamu pulang." Danial mengulurkan tangannya, meminta kunci mobilku.

"Tapi, Pak-" aku hendak protes, tapi nggak jadi karena Danial menatapku dengan tatapan mengintimidasi. Ia tengah menunggu aku mengoper kunci mobil. Melihat itu, Pak Aria terkekeh. "Kasih aja, Ya. Percuma kamu ngotot sama dia, Danial itu nggak bisa dibantah."

Dengan setengah hati, aku pun memberikan kunci mobilku pada Danial.

TBC

ACC, Pak! [Tersedia di Gramedia]Where stories live. Discover now