"Iya deh janji entar pulangnya cepet kok."

Aruna memutuskan sambungan, kemudian kembali menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Saat ini hidupnya seakan diteror habis-habisan oleh ibunya sendiri.

"Cowok yang sesuai kriteria kamu itu kayak gimana sih, Run?"

"Ya gitu," jawab Aruna. Ketiga sahabatnya saling berpandangan mengerti maksud Aruna.

"Gue kayaknya harus bunuh diri deh."

-oOo-


Pintu cokelat kamar Aruna di dorong perlahan dari luar. Seseorang menyembulkan kepalanya dari luar sana. Aruna berbalik kemudian tersenyum melihat Andini ada di sana.

"Masuk kak," ujarnya.

Andini masuk dengan langkah perlahan, senyumnya mengembang melihat Aruna tengah duduk di depan meja riasnya. Tetapi, wajah wanita itu melunturkan senyumnya saat melihat wajah Aruna yang kusut tak seperti biasanya.

Aruna memang terkenal dengan kepribadian ceria jadi orang akan heran jika melihat wanita itu mewek seperti ini.

"Kamu kenapa sih, dek?"

Aruna menggeleng, memeluk pinggang Andini. Berharap kalau orang yang dijodohkan kepada kakaknya itu seperti pilihan mamanya untuknya juga.

"Ka Arini mana?"

"Dia lagi bantuin Ibu masak," jawab Andini, seraya mengelus pucuk kepala Aruna.

"Kakak udah denger dari ibu kalau kamu gak mau dijodohin, kan?" Aruna mengangguk mengiyakan.

"Dia baik kok Run, dulu dia temen seleting Arini kok waktu SMA. Dia juga baik dan ehm ..., tampan juga." Aruna menoleh, menggeleng melihat kakak sulungnya itu cekikikan. Aruna tak habis pikir sama Andini, sudah memiliki suami dan anak tetapi masih suka cekikikan kalau berbicara soal tampan. Tapi, Aruna percaya kok kalau Andini bukan tipe orang yang suka mendua, wanita berusia 30 tahun itu hanya menyukai karakter pria tampan itu saja. Tak heran waktu ayah menyodorkannya Wira--suaminya-- untuk dijodohkan dengannya Andini langsung menerimanya.

"Kamu jangan sedih ya, Run. Kakak juga sependapat sama ibu dan ayah kok kalau dia emang yang terbaik buat kamu," jalas Andini. Aruna tak bisa menyembunyikan senyumnya oleh karena itu ia langsung memeluk pinggang kakaknya itu.

Cukup dengan pelukan dan masukan dari Andini sudah mampu membuat Aruna tenang. Tetapi, ia masih perlu membuktikan apakah perkataan kakaknya itu benar.

"Ohh iya, Diki mana kak? Gak dibawa ke sini?"

"Ada kok, dia lagi main sama Ayah bareng Mas Wira juga." Aruna mengangguk.

Tak lama setelah perbincangan tadi, seseorang mengetuk pintu kamar Aruna. "Masuk!" pintu terdorong perlahan memperlihatkan seorang perempuan berprawakan putih bersih tengah tersenyum.

"Uluh-uluh, adik kakak gak lama lagi nikah," goda Arini. Arini memang suka menggoda juga memasak. Jadi, tak heran jika tadi ia membantu Ibu Aruna memasak.

"Hiss ..., apaan sih kak, orang ini karena paksaan ibu," kesal Aruna. Arini terkekeh.

"Ssst ..., kamu terima yah, awas kalo gak, kakak gantung kamu di genteng sana." Aruna memutar bola matanya malas sedangkan Andini memukul paha berisi Arini.

"Kamu kalau becanda jangan keseringan, kasian itu anak kamu keguncang mulu nanti karena ikut ketawa akibat ulah emaknya," ucap Andini seraya menunjuk perut buncit Arini.

"Haissh, pokoknya Aruna terima yah, dia baik kok pake banget. Pokoknya gak bosan sama dia, tapi yah gitu," perkataan menggantung ala Arini membuat Aruna mengernyit.

"Gitu apanya?"

"Ya gitu," Arini tersenyum kecut. "Jarang ngomong."

Mendengar itu Aruna menghela nafas pasrah. Itu yang tidak disuka kan Aruna dari seorang laki-laki. Sikapnya yang dingin membuat Aruna merasa canggung dan tidak nyaman, terlebih Aruna harus menguras otak mencari-cari bahan obrolan yang bagus. Aruna tak pandai seperti itu, tapi kalau mencari barang berkualitas tinggi Aruna jagonya.

"Tuh kan, aku gak mau kalau yang kayak gitu. Aku gak nyaman, ngerasa canggung. Masa iya, kalau tiap kali ngomong aku mulu yang mulai," kesal Aruna.

"Duh Aruna sayang, yang penting dia bisa ngomong. Kalau kamu tanya pasti dijawab kok. Tapi, dia ngomong seperlunya aja." Dengusan lolos dari Aruna. Sedangkan, Andini setia menjadi penonton tanpa bayaran di tengah kedua adik-adiknya.

Arini mengenggem telapak tangan Aruna, matanya tak lepas dari mata bulat Aruna yang kini tengah menatapnya juga. Arini memang tak sehangat Andini, itu memang khas dari dirinya. Terlebih lagi Arini itu waktu jaman sekolah anaknya rada nakal dan pada usia 18 tahun langsung dinikahkan sama ayah, agar jera sama kelakuannya.

"Kakak emang gak bisa sehangat Kak Andini saat nasehatin kamu, dan gak seramah ayah juga waktu ngebujuk kamu. Tapi, kakak punya tameng besar yang bakal berdiri di barisan terdepan saat dia ngelukain kamu. Kalau dia gak baik buat kamu, kakak pasti orang pertama yang gak setuju sama rencana ibu," dan setelah Arini mengatakan itu sebuah pelukan mendarat ke tubuhnya.

Aruna menangis, menangis sejadi-jadinya. Biarlah ia terlihat seperti anak kecil sekarang, yang penting ia dapat merasakan pelukan Arini yang tak tau kapan ia dapat rasakan lagi.

Tok ... Tok ....

"Aruna! Cepet siap-siap, nak. Mereka gak lama lagi sampai."








Tbc.
Jangan bosan yah❤








nisaafatm

Mrs. Fashionable MarriedWhere stories live. Discover now