ELEMENTS

19 5 0
                                        

Di atas bukit yang amat hijau berhampar pepohonan rimbun hutan hujan tropis, berdirilah sebuah bangunan istana megah berwarna coklat muda yang di jaga puluhan satpam bersenjata.

Salah seorang yang terlihat gagah perkasa, berjalan keluar dari istana, tubuhnya di baluti emas dan perak, setiap langkahnya pastilah di hormati setiap orang yang melihatnya, ia adalah seorang raja bernama Bumi Guntur.

Ia memiliki 5 anak yang masih dalam jenjang pendidikan sekolah istana, anak pertama adalah Cahaya Angkasa, kedua Airy Samudra, ketiga Bunga Api, keempat Angin Tornado, dan yang terakhir Tanah Guntur.
Sejak kecil mereka tidak pernah keluar dari istana, sampai pada suatu ketika sang ratu meninggal dunia secara misterius ketika melakukan perjalanan ke hutan Duri Belantara. Sejak itulah, mereka bertekad untuk bisa keluar dari istana, agar menemukan siapa pembunuh ibu mereka.

Tahun demi tahun berganti, kini Cahaya sebagai anak tertua sudah menginjak usia 20 tahun, sudah waktunya ia bisa memutuskan jalan hidupnya sendiri. Malam itu bulan purnama tampak berseri, sehingga memunculkan cahayanya yang bisa menerangi suasana malam kala itu. Raja Bumi sedang duduk di kursi tahtanya, dengan cepat Cahaya menghampiri sang ayah.

"Wahai ayah, aku kemari bermaksud ingin membicarakan sesuatu yang harus di pertimbangkan ayah nantinya" ujar Cahaya memelankan kata-katanya. Raja Bumi tampak terheran-heran, terlihat dari raut mukanya yang sudah tak lagi muda. "Katakan saja apa maumu anakku" ujar sang ayah, Cahaya menghela nafas, lalu menggerakkan bibirnya penuh kepercayaan. "Ayah, aku ingin keluar dari istana" tutur Cahaya "untuk apa nak?, Di luar sangat berbahaya, lihat ibumu, ia terbunuh secara misterius, apa kamu mau seperti dia!" Tegas sang ayah. Cahaya tertunduk, namun tetap bertekad untuk bisa membujuk ayahnya. "Tidak yah, aku pasti bisa menjaga diriku sendiri dan nama baik ayah, percayalah padaku, akan ku bawakan siapa pembunuh ibu sebenarnya" tegas Cahaya, sembari menepuk dadanya kuat. Raja Bumi yang melihat tekad anaknya sudah bulat, tidak bisa menggubris apapun lagi, akhirnya dengan berlapang dada, Raja Bumi menganggukan kepalannya tanda menyetujui ucapan Cahaya. "Besok kamu sudah ayah izinkan untuk keluar istana, dengan syarat, bawalah sersan awan pergi bersamamu" titah sang ayah, Cahaya tampak tidak senang dengan persyaratan yang di berikan sang ayah, karna dengan begitu ia tidak bisa hidup mandiri. "Tidak ayah, biarkan aku yang menghadapi jalanku sendiri" timpalnya lagi, dan membisukan raja Bumi, sehingga tidak dapat berkata apa-apa lagi selain menganggukan kepala tanda menyutujui untuk yang kedua kalinya.

Pagi sekali Cahaya telah berkemas, menyiapkan kuda putihnya untuk berkelana jauh di luar sana, rupanya aktifitas yang sedang ia lakukan, tengah di mata-matai oleh adiknya Airy. Melihat tingkah laku kakaknya yang di lakukan secara sembunyi-sembunyi membuatnya sangat penasaran. "Jangan-jangan, kakak mau keluar istana!" Batinnya penuh tanda tanya, lalu ia segera berlari memberitahukan saudara-saudaranya yang lain.

Cahaya menunggangi kudanya, terus menerobos hutan belantara, tidak tau arah, bahkan sampai kapan ia akan terus berlari, namun di benaknya ia akan menemukan pembunuh itu.

Di istana, seluruh saudara Cahaya terkejut, mendengar cerita Airy merekapun merasa di perlakukan tidak adil oleh raja Bumi, dengan langkah penuh kesal, mereka berjalan menghadap raja agar meminta di keluarkan juga dari istana.

"Ayah, bagaimana bisa Cahaya keluar dari istana!, Ini tidak adil, seharusnya kami pun di perlakukan sama!" Tutur Airy membuka percakapan, raja Bumi yang terpaku melihat ke empat anaknya yang bersih keras ingin keluar juga hanya bisa tersenyum, tenaganya sudah tidak begitu kuat untuk mengeluarkan amarahnya seperti dulu. "Begini, ayah akan mengizinkan kalian keluar dari istana, dengan syarat pelihara satu pohon dari kecil sampai besar, ketika pohon itu sudah berbuah bawakan untuk ayah, barulah ayah izinkan kalian keluar" titah raja Bumi. Ke empat anaknya itupun akhirnya tersenyum puas, dan kini mata mereka dengan gesit melihat pekarangan istana, mencari-cari benih pohon yang masih kecil.

Sudah sebulan lamanya setelah kepergian Cahaya, ke empat saudaranya itu memelihara pohon, dan kini tibalah hari dimana pohon-pohon itu di perlihatkan kepada raja Bumi.

"Punya aku yah, yang akan menjadi pemenang pertamanya" ujar Tanah, anak paling bungsu. Saudara-saudaranyapun tidak mau kalah, mereka saling mempertontonkan hasil kerja keras mereka selama sebulan ini. Raja Bumi tampak kebingungan melihat hasil kerja keras anak-anaknya, semua hasilnya tampak terlihat sempurna. Namun sesaat kemudian raja Bumi menemukan kenjanggalan pada setiap pohon yang mereka pelihara.
"Ayah akan memilih pohon yang terbaik sesuai jumlah daun yang sudah tumbuh, daun yang paling banyaklah yang menang" seru raja Bumi. Ke empat bersaudara itu saling bertatapan, timbul rasa pesimis di antara mereka, karna mereka yakin pohon yang belum bisa di katakan pohon itu belum memiliki daun yang banyak.
"Oke, ayah akan menghitung pohon kalian satu persatu, letakan saja di meja itu" ujar raja Bumi sembari menunjuk meja yang berdiri tak jauh dari kursi tahta raja Bumi. " Aku yakin milikku tak akan lolos" ujar Api "kalau begitu akulah yang menang" sahut Tanah dengan bangga "sudahlah kita lihat saja nanti" ujar Airy menengahkan.

Drap drap drap!, Cahaya bersama kuda putihnya memasuki pasar traditional, banyak orang yang memberikan penghormatan, dan menawarkan diri untuk memberikan pelayanan, Cahaya begitu menikmati perjalanannya, hingga ketika ia sampai di tengah alun-alun kota ia menemukan sebuah perlombaan gulat. "Bagaimana bisa mereka bertarung tanpa kekuatan?" Ujar Cahaya terheran, lalu kemudian turun dari kudanya dan segera mendekati kerumunan.
"Wow, siapa yang kita lihat hari ini!, Seorang bangsawankah?" Salah seorang pemuda berkata kepada ketiga temannya ketika melihat Cahaya berdiri di sebelahnya. "Oh hai namaku Cahaya, aku putri raja Bumi" ujar Cahaya sembari tersenyum manis. Pemuda itu tercengang, dan langsung memberi hormat.

"Bagaimana bisa kedua orang itu bertarung sedangkan tidak ada satupun yang memberi perlawanan?" Tanya Cahaya polos kepada pemuda itu. Pemuda itu sedikit tertawa lalu kemudian menjawab "kekuatan fisiklah yang mereka andalkan" ujarnya santai. "Apa itu kekuatan fisik?" "Memang di istana tuan putri tidak pernah di ajarkan mempelajari kekuatan fisik?" Tanya pemuda itu "tidak" "padahal kekuatan fisik sangat di perlukan ketika tuan putri sedang dalam masalah dan tidak bisa menggunakan apapun untuk di jadikan tameng" tuturnya "aku sudah punya kekuatan, aku punya element cahaya di tubuhku, element ini sudah di warisi turun temurun oleh nenekku" ujar Cahaya. Pemuda itu mengangguk, namun wajahnya kembali serius. "Namun tidak selamanya kekuatan itu ada, kadang manusia harus bisa menunjukan siapa jati diri dia sesungguhnya yang selama ini terbalut dalam tameng kekuatan" ucap pemuda itu. Cahaya terdiam, kata-katanya begitu sangat mendalam.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 04, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ElementsWhere stories live. Discover now