Lullaby

6.3K 509 104
                                    

And the game begin : JANGAN DI VOTE

Suara teriakan.

Itu hal yang selalu ia dengar setidaknya selama seminggu belakangan. Entah raungan menangis, suara tawa, marah, dan lain sebagainya. Segala kebisingan yang menelusup kedalam kepalanya, entah bagaimana meredam kegaduhan yang ia rasakan di dalam pikirannya sendiri. Seperti nyanyian pengantar tidur.

Ia tak tau apa yang terjadi pada dirinya hingga suara-suara bising itu hadir di kepalanya. Ia tak bisa tidur, sudah terhitung sebulan ketika suara-suara itu masuk. Hingga akhirnya ia memutuskan sendiri kalau dirinya sudah gila.

Brak!!

Suara hentakan itu menariknya pada kesadaran, yang sempat hilang selama beberapa menit sebelumnya. Seperti terhisap pada lubang blackhole tak kasat mata. Dokter bilang, ia harus berusaha menyingkirkan pikiran negatif di kepalanya dan melupakan masalalu kelamnya. Segalanya.

Tapi ia tak pernah bisa.

Ia tak akan bisa melupakan bagaimana tubuh tegap yang biasa menjadi sandarannya itu terhempas dari ketinggian beberapa kaki dari tanah. Jatuh begitu saja, terhempas hingga akhirnya bam! Seperti seonggok daging mentah tak berarti, tubuh itu menghantam tanah dengan sangat keras.

Bahkan dari tempatnya, Quenzi masih dapat melihat bagaimana cairan merah itu menyeruak, keluar dari tempurung kepala sahabatnya yang pecah.

Itu salahnya. Quenzi melimpahkan segala kesalahan itu pada dirinya sendiri.

Lalu apa lagi? Perceraian Papa dan Bundanya? Tentang kesendiriannya? Sepi yang menjeratnya hingga sinting. Sebuah percampuran yang tak bisa ia terima sampai saat ini. Penyesalan dan kesendirian. Quenzi lenyap dari dunianya sendiri. Ia bukan lagi tokoh utama yang memiliki segudang prestasi dan juga kepopuleran.

Saat ini, ia hanya tokoh sampingan yang menyedihkan, bahkan di dalam ceritanya sendiri.

Dan bagaimana Quenzi bisa melupakan hal itu?

"Papa mohon Q. Papa bisa gila kalo terus-terusan mikirin kamu yang mendekam di sini. Papa gak bisa."

Pria berjas itu terlihat berantakan. Matanya yang berair memandang kasihan pada putra sematawayangnya yang terlihat tersesat. Dalam tubuhnya sendiri ia merasa tersesat. Itu menyiksa. Namun melihat anaknya berada di rumah sakit jiwa. Siksaan itu terasa bertambah berkali-kali lipat. Terlebih mengingat kalau anaknya itu sakit.

"Aku tenang di sini Pa." lelaki itu tersenyum. Jenis senyuman yang membuat ngeri siapapun. Dengan mata kosongnya ia mencoba memandang Papanya. Mencoba meyakinkan lelaki itu kalau ia bahagia di sini.

Ferdi, Papanya itu menggelengkan kepalanya tegas sambil menarik-narik rambutnya. Kalau di lihat dengan kasat mata, justru Ferdilah yang terlihat seperti kehilangan kewarasannya.

"Papa bisa balik lagi sama Bunda kalo itu bikin kamu balik lagi kaya dulu Q."

Anak itu menggelengkan kepalanya, "Buat apa balik lagi kalo cuma nyiksa kalian? Buat apa balik lagi kalo itu cuma pura-pura?"

Ferdi mendesah kasar, ia mengusap wajahnya jengah. Kepalanya serasa berdenyut tak karuan. Ia bergerak mondar-mandir seolah mencari jalan tengah. Ia tak bisa membiarkan putranya lebih lama lagi di sini. Namun ia juga tau, kalau memaksa putranya yang berkepala batu, sama saja berusaha membelah karang dengan tangan kosong.

"Okey Q. Papa bakalan lakuin apapun. Apapun asal kamu keluar dari sini. Apapun itu. Kamu mau pergi dari indonesia, pindah sekolah, apapun!" Ferdi terdiam memandangi putranya yang masih belum bereaksi sama sekali. Ia hanya menatap Ferdi dengan tatapan mata kosong.

"Please Q, Papa mohon." Lelaki itu merapatkan kedua telapak tangannya di depan wajah, memohon dengan kesungguhan yang tergambar jelas di wajah letihnya yang berkeringat.

Hingga sebuah cairan bening menyerupai kristal mengalir keluar dari kedua bola matanya, wajah kosongnya perlahan mulai mengisyaratkan kesedihan. Entah pertanda baik ataupun buruk, namun yang Ferdi tau sekarang adalah ia harus memeluk putranya. Dan itulah yang terjadi, ia melangkah cepat mendekat putranya dan memeluknya dengan erat.

"Aku gak mau sendirian Pah." Suara serak dan bergetar itu terdengar di teringa Ferdi, membuat air matanya ikut mengalir seketika. Pria itu menganggukan kepalanya.

"Iya sayang, iya, Papa gak akan biarin kamu sendirian Q. Kamu gak akan sendirian sayang."

QuenzinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang