Chapter 20

12.5K 1.2K 74
                                    

Fabian menatap gadis yang duduk di hadapannya yang tengah sibuk melingkar-lingkari brosur di atas meja. Gadis itu mengabaikan es di minumannya yang telah mencair lantaran terlalu sibuk mengkalkulasikan untung rugi.

"Kalau yang ini tadi menurut kamu bagus, nggak?" Milly menyodorkan salah satu brosur kursus bahasa inggris.

"Kurikulumnya sih bagus. Pengajarnya juga profesional."

"Tapi, jauh banget ya dari kos-ku." Milly menghela napas dan menyingkirkan brosur itu. "Yang ini sama yang ini juga bagus kayaknya. Tapi, yang ini biayanya mahal sedangkan yang ini nggak bisa dicicil. Ah, yang ini saja ya, biayanya terjangkau dan cukup dekat dari kos." Milly memeriksa brosur itu lebih seksama.

"Kenapa nggak ambil kelas online saja?" tanya Fabian yang sedari tadi mengamati Milly yang tengah berkutat dengan brosur-brosur dan buku catatannya. "Kamu bisa belajar dari mana saja dan tidak menguras tenaga."

Milly mengangkat wajahnya dan menghentikan kegiatannya menulis. "Aku lebih suka interaksi di kelas. Suasananya terasa lebih hidup dan lebih mudah mendapat motivasi dari teman-teman dan pengajarnya sendiri," ujarnya lalu kembali menulis.

"Bagaimana dengan niatmu untuk kuliah lagi?"

"Aku juga berencanakan melanjutkan kuliahku setelah itu. Mungkin tidak untuk saat ini. Mungkin setelah uangku cukup."

Fabian masih memandangi Milly yang masih menulis. "Kamu nggak lupa sesuatukan? Kita sudah berjanji untuk saling mendukung sama lain, termasuk karir dan pendidikan."

Milly menatap Fabian lalu mengangguk. "Iya, aku ingat."

"Kampus mana yang mau kamu coba? Kamu mau ambil jurusan apa? Tidak usah khawatir soal biayanya," tandas Fabian hingga membuat Milly terdiam sesaat.

"Tidak perlu, Fabian," jawab Milly cepat.

"Kenapa?"

Milly menatap Fabian, merasa tak enak hati tiba-tiba. "Aku tahu kita harus saling mendukung, tapi tidak perlu seperti itu. Aku nggak mau dianggap memanfaat hubungan kita seperti itu."

Fabian meraih tangan Milly dan menggenggamnya. "Jangan berpikiran yang tidak baik. Aku harap kamu mempertimbangkan hal ini dan jangan menolaknya. "

Milly hanya menarik napas. Tak tahu, apakah ia harus menerima kebaikan hati Fabian atau tidak. Namun, semua itu terlalu berlebihan menurutnya. Ia dan Fabian baru saling mengenal beberapa bulan dan berpacaran selama beberapa hari saja, bagaimana bisa Fabian mengambil keputusan sebesar itu.

*

"Oh ya, Sabtu malam pada sibuk, nggak? Hangout, yuk!" Lily berseru memberi ide pada Reza dan Fabian yang tengah mengelilingi meja usai rapat internal TheLucid.

Reza yang pertama mengangkat wajah dari laptopnya. "Boleh juga, tuh. Udah lama kita nggak hangout bareng."

"Aku nggak tahu bisa ikut atau nggak," ujar Fabian sambil tetap mengecek trafik website mereka.

"Kenapa?" tanya Lily.

"Aku ada janji dengan seseorang."

"Ah, pasti kekasihmu, kan. Siapa namanya? Milly?" tebak Reza.

Fabian tersenyum sekilas lantaran Reza mampu menebaknya. Ia tak menyadari tatapan Lily yang lantas mendapat ide. Gadis itu memang sangat ingin sekali melihat langsung pacar Fabian. Ia ingin menilai, menguliti, dan membanding-bandingkannya dengan Syanna yang mendekati sempurna.

"Kenalin pacar kamu ke kita dong, Fabi. Nggak asik. Masa teman sendiri nggak dikenali ke pacar, sih?" ujar Lily dengan excited.

Fabian berpikir sejenak lalu mengangguk setuju dengan ide Lily. "Nanti aku ajak dia ikut."

Sweet LullabyWhere stories live. Discover now