Desiran Angin Laut - 1

Start from the beginning
                                    

"Tapi enak ya Pak, kerja jadi pelaut mah gajinya besar." Pak sopir itu kembali angkat bicara.

Ah iya, satu-satunya hal positif yang bisa dipikirkan orang tentang pekerjaan ini adalah, penghasilan yang besar.

******** 

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Wajah wanita paruh baya yang sedang menata meja makan itu langsung sumringah saat melihat anak lelakinya berjalan mendekatinya.

Irza ikut tersenyum lalu menyalami tangan ibunya. Lalu ibunya langsung memeluk erat anak laki-lakinya itu.

"Anak Mama kok kurusan?" Ibu Irza memperhatikan wajah anaknya, kegembiraannya tidak dapat digambarkan. Sebagai seorang ibu, pasti memiliki kekhawatiran yang sangat besar, apalagi Irza bekerja sangat jauh dari mereka, pekerjaannya juga sangat beresiko, mengarungi laut sepanjang hari, ditambah dengan kesulitan dalam berkomunikasi.

"Masa sih Ma? Perasaan gini-gini aja."

"Kamu kurursan, udah duduk sini. Mama udah nyiapin makanan yang banyak buat kamu, abisin ya."

Irza memandangi makanan yang terhidang di meja makannya, banyak sekali makanan yang tersaji. "Nggak kuat Ma, kalau ngabisin semuanya."

Ibunya tidak memperdulikan ucapan Irza, dan mulai menuangkan nasi ke dalam piring pipuh berwarna putih. "Kamu memang nggak kangen sama masakan Mama?"

"Kangen dong Ma, udah dua setenagh bulan nggak ketemu makanan enak begini."

"Nah, makanya dua setengah bulan ini kamu di Jakarta aja ya Kak, jangan jalan-jalan keluar. Mama kan kangen."

Irza memasang cengirannya, biasanya dia memang menghabiskan waktu untuk travelling bersama temannya di Jakarta, entah itu hiking, offroad sampai ikut mencari tempat yang seru untuk rafting. Tapi liburannya kali ini memang akan dihabiskan Irza di Jakarta saja, dia ingin menjadi pacar yang baik untuk Andin. Menebus dua setengah bulan dengan minim komunikasi ini dengan menghabiskan waktu bersama Andin.

"Ehm...hm." Irza mengangkat kepalanya saat mendengar suara deheman itu. Matanya langsung berpandangan dengan pemilik mata tajam yang sama seperti miliknya. Papa Irza menarik kursi lalu duduk agak jauh dari putranya itu. Suasana mendadak canggung dan inilah hal yang paling dibenci Irza.

Irza bangkit dari kursinya lalu mendekati ayahnya itu. Dia mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan ayahnya.

"Apa kabar, Pa?" tanyanya.

"Baik."

Irza kembali duduk di kursinya lalu melanjutkan acara makannya, begitupula dengan ayahnya. Ibu Irza memandangi keduanya yang sama-sama keras kepala, selalu seperti ini kalau mereka berdua sedang bertemu.

"Om Ijaaaaa....." Irza menolehkan kepalanya mendengar teriakkan anak kecil yang memanggilnya.

"Hai Azka."

Azka langsung memeluk Irza yang masuh terduduk di kursinya, "Om, kata Mama Om bawa oleh-oleh banyak ya buat Azka?"

Irza memandangi anak berusia lima tahun itu, mata bulat dengan pipi gembul yang lucu yang membuat Irza selalu ingin mencubiti pipi itu.

"Iya, Om bawa oleh-oleh banyak buat kamu."

"Yeeeyy, makasih Om, nanti main sama Azka ya."

"Azka, sini sama Mami, itu Omnya lagi makan." Seorang wanita mengenakan dress warna kuning mendekat ke meja makan.

"Hai Kak, apa kabar?" Lana menyalami tangan kakaknya itu.

"Baik, nggak kerja kamu?" tanya Irza. Lana adalah adik bungsu Irza. Irza memiliki dua orang saudara, satu kakaknya yang saat ini tinggal di bogor bersama dengan keluarganya. Dan satu lagi adiknya Lana yang tinggal di kompleks yang sama dengan orang tuanya.

Kakak Irza bekerja sebagai pegawai BUMN, sama seperti ayahnya yang sudah pensiun dari kantornya beberapa tahun lalu. Sedangkan Lana bekerja sebagai marketing di sebuah hotel ternama di Jakarta. Kedua saudaranya memiliki pekerjaan yang normal seperti kebanyakan orang, mempunyai jam kerja dari pagi hingga sore, lalu bisa pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga. Sedangkan Irza...

"Nek, kenapa sih Om Ija lama banget baru pulang ke sini?" tanya Azka yang sudah duduk di sebelah kakeknya.

"Om Irza kan kerjanya jauh, jadi nggak bisa pulang setiap hari."

"Kayak Pakde Yudha?" Yudha adalah nama kakak pertama Irza.

"Iya."

"Tapi kita bisa tempat Pakde, kenapa kita nggak pernah ke tempat Om Ija Kek?" kali ini anak kecil itu bertanya pada kakeknya.

"Azka habisin makannya, katanya mau main sama Om Irza," tegur Lana.

"Oh, iya ya. Om abis ini kita main ya?"

Irza mengangguk sambil tersenyum, lalu matanya melirik ayahnya yang masih berekspresi datar. Rasanya dia bukan seorang buronan atau terlibat kriminalitas, tapi kenapa dia diperlakukan seperti ini oleh ayahnya sendiri?

******

Irza mengusap-usapkan tangannya yang berkeringat. Matanya memandangi rumah bertingkat dua dari dalam mobilnya. Irza sengaja memarkirkan mobilnya selang beberapa rumah dari rumah Andin.

Irza berencana memberikan kejutan pada Andin, Irza memang belum menghubungi Andin tentang kepulangannya. Dia sengaja melakukan itu karena ada sesuatu yang ingin di berikannya pada Andin. Irza tidak berhenti tersenyum membayangkan ekspresi wajah Andin yang pasti kaget sekali melihat dirinya yang sudah berada di depan rumahnya.

Andin adalah gadis yang sudah dipacari Irza satu tahun terakhir ini, awal-awal menjalani hubungan, keduanya sama-sama mengalami masa-masa sulit. Andin harus benar-benar sabar saat berjauhan dari Irza, hal yang paling dibutuhkan dalam menjalin hubungan jarak jauh adalah kesabaran.

Tidak terhitung berapa kali mereka bertengkar hanya karena masalah komunikasi, tapi seiring berjalannya waktu akhirnya Andin bisa mengerti situasi Irza.

Irza mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dari dalam sakunya. Dia memang sudah menyiapkan cincin untuk melamar Andin. Irza sudah yakin dengan keputusannya, usianya juga sudah matang untuk menikah, penghasilannya yang didapat dari pekerjaannya saat ini terbilang cukup untuk menghidupi Andin. Apalagi yang harus ditunggunya?

Irza keluar dari mobilnya dengan wajah berseri, saat dia akan berjalan mendekati pintu pagar rumah Andin, pagar itu ternyata sedang dibuka oleh seseorang.

Wajahnya langsung dipenuhi senyuman saat melihat kekasihnya yang membuka pintu pagar itu, tapi senyuman itu langsung sirna saat melihat seseorang yang ikut keluar bersama Andin, seorang pria yang sedang merangkulkan tangannya ke bahu Andin. Mereka terlihat tertawa bersama, lalu pria itu menundukkan wajahnya untuk mengecup bibir Andin.

Irza yang menyaksikan adengan mesra kekasihnya dengan pria lain tidak bisa menggerakkan kakinya. Tubuhnya terasa kaku, tangannya menggenggam erat kotak cincin yang harusnya akan diberikannya pada Andin hari ini.

Masih dengan posisi berdiri di tempatnya, Irza  bersitatap dengan Andin yang rupanya tidak sengaja melihatnya, jarak mereka cukup jauh, tapi Irza bisa melihat tubuh Andin membeku dalam pelukan pria itu.

Irza langsung mengalihkan pandangannya dari Andin dan  memilih berjalan kembali ke arah mobilnya.

Untuk kesekian kalinya Irza merasakan hatinya patah berkeping-keping....

******

Happy Reading...

Desiran Angin LautWhere stories live. Discover now