with you

30 4 0
                                    

Di sudut ruangan dengan tembok berwana hijau tosca, dan barang-barang yang sudah lama tak digunakan terkumpul semua di dalam ruangan ini.  Disinilah sekarang aku berada,  memeluk foto yang diambil ketika masih tinggal bersamanya. Dan barang-barang semua ini menjadi saksi, menangisnya diriku ketika mengingat secara detailnya melakukan sesuatu bersama dia. Sesak, ya.  Dada ini sangat-sangat sesak harus menerima kenyataan.  Bahwa sekarang aku tak bersamanya lagi. Tak bisa tersenyum bersama lagi.  Tak bisa saling berbagi cerita layaknya seperti teman-temanku yang selalu bercerita kepada ibunya.
"Mama aku kangen ma hiks" kataku dan itu sekian kali aku mengatakannya. Mungkin sudah beribu-ribu kali aku mengatakannya. bahkan ntah sudah berapa tetes aku menangisinya.
Kadang aku berpikir "apakah aku gak bisa kaya mereka,  diperhatikan setiap saat.  Setiap mau melakukan sesuatu.? " kadang aku juga berpikir "apa tuhan tidak adil? Kenapa harus aku yang mengalami problem ini. "
Aku terus dan terus menangis bahkan kepalaku mulai pusing karena kebanyakan mengeluarkan air mata ini.
"Nja? " suara barinton itu adalah pemilik seorang yang sangat berarti setelah mama,  orang itu juga yang selalu memberi support ketika aku mulai putus asa.  Dia penyemangatku ketika aku gelisah. Ntah apa lagi yang harus aku lakukan untuk semua menjadi baik. He is my dad.

"Iya ayah? " kataku, sebelum menghadapnya aku mencoba menghapus air mata yang ada di pipiku dengan tangan yang terasa masih gemetaran.

"Kamu nangis lagi sayang? " kata ayahku yang sedang mengelus rambut panjangku.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ayah.  Ntahlah,  perasaan ini kadang tiba-tiba muncul, ketika aku mencoba berusaha menganggap semua ini tidak terjadi. Tapi mimpi buruk itu selalu datang.  Membuatku kembali terpuruk.

"Kamu tau nja, perpisahan itu memang menyakitkan tapi bukan karena kata perpisahan. melainkan kenangan yang selama ini kita lalui.  Disini bukan hanya kamu yang sakit.  Ayah juga yang lebih sakit disini,  sakit banget nja. Ayah sangat sayang pada ibumu nja,  tapi ibumu malah mengkhianati kita.  Di tambah kamu selalu menangisi kepergiannya itu membuat ayah tambah sakit nja. " kata ayahku yang memegang dadanya. Kata-kata ayah sangat menyadarkanku, bahkan disaat seperti ini aku tidak melihat bagaimana kondisi ayah yang sebenarnya.  Aku kecewa dengan diriku yang tidak membantu menenangkan ayah. Harusnya aku yang menjadi penenang bukan ayah. Ketika itu aku mengalihkan tatapanku kearah wajah ayah.  Aku tau ayah tidak menangis, tapi aku lebih tahu lewat sorot mata ayah yang banyak menyimpan kesedihan.
"Ma..  Maaf ayah. " kataku dan langsung memeluk tubuh ayah.  Disitulah air mataku kembali terjatuh.
"Nja, gak mau lihat ayah nangis" kataku yang masih memeluk erat tubuh ayah.
"Kamu mau berjanji untuk ayah? " tanya ayah dibalik punggungku.  Karena posisi saat ini masih sama yaitu masih saling memeluk.
"Apapun itu ayah,  asal ayah gak sedih dan gak ninggalin nja!" aku longgarkan pelukan ayah dan kembali menatap wajah ayah.
"Berjanji untuk tidak menangis lagi sayang.  Melihatmu menangis itu lebih menambah kesedihan ayah nja. " kata ayah yang sedang menghapus air mataku.
"Maaf, hiks nja janji ini gak bakalan ayah liat lagi.  Ayah juga jangan sedih ya! " kataku.
"Nah,  itu baru anak ayah.  Ya sudah,  sekarang kita makan yu.  Biarkan ruangan ini menjadi kenangan masa lalu sayang". Kata ayah yang menarikku keluar ruangan ini.
"Tunggu ayah" kataku ketika baru sadar foto itu masih di peluk.  Aku berjalan kembali.  Melangkah menuju lemari dan meletakan foto tersebut.  Sebelum aku benar-benar pergi aku sempat memandang wajah ibu dan berkata "aku harap suatu hari kita kembali bersama". Sekarang, aku benar-benar melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 28, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SENJAWhere stories live. Discover now