Chapter II

106 3 4
                                    

Ally menyambutku dengan senyum canggung dan tatapan gugup. Tangannya bergerak-gerak cemas di depan dadanya.

"Halo Dan. Aku tahu kamu pasti tidak menyangka akan melihatku disini." Dengan sedikit ragu dia menambahkan "Boleh aku masuk?"

Aku terlalu kaget untuk menjawabnya. Gadis itu terlihat sangat gelisah.

"Mungkin lebih baik aku pergi saja."

"Jangan! Maaf, maksudku tentu saja kamu boleh masuk."

Aku mempersilahkan Ally masuk. Perasaanku bercampur aduk. Bingung, senang dan sedih. Aku juga merasa bersalah karena membiarkan Ally masuk ketika Layla ada dirumahku saat ini. Aku tahu aku seharusnya meminta Ally untuk menemuiku di lain waktu. Aku terlalu penasaran dengan alasan kenapa Ally datang ke rumahku saat ini.

"Bagaimana dengan kabar ayah, ibu dan Makena? Apakah mereka ada dirumah?"

"Kabar mereka baik-baik saja dan mereka tidak ada di rumah."

Aku tahu seharusnya aku lebih ramah padanya tapi aku tidak tahu apa yang harus kami bicarakan.

"Kamu masih marah padaku. Maafkan aku Daniel. Aku terlalu takut waktu itu dan tidak bisa berpikir jernih." Ally menjawab dengan pelan

"Aku tidak marah padamu Ally. Yah, aku sempat marah tapi sekarang perasaan itu sudah hilang." Aku menghembuskan nafas "Sebenarnya aku merasa kosong Ally. Aku tidak mempunyai emosi apapun padamu seperti kita orang yang pertama kali bertemu. Aku memang merasa senang melihatmu tapi itu seperti rasa senang bisa bertemu dengan teman baru."

Pundak Ally melemas, seperti emosi berat berada di pundaknya.

"Apa yang membuatmu takut Ally? Aku bahkan yakin kalau aku tidak pernah melakukan apapun yang dapat membuatmu takut."

Ally memandangku. Sorot matanya penuh dengan kekecewaan. Aku tidak yakin kekecewaan itu ditujukan padaku atau pada dirinya sendiri.

"Itulah yang membuatku takut Dan. Kamu bersikap begitu sempurna. Para wanita menggilaimu, popularitas ada di genggamanmu dan semua hal tentang dirimu sempurna. Hal itu membuatmu jatuh semakin dalam padamu dan itu seperti hari tenang sebelum badai hebat datang. Aku tidak yakin akan selamat jika badai itu datang. Aku tahu kamu hanya melihatku dan tidak menoleh ke wanita lain tapi rasa takut itu datang dengan cepat dan hebat " Dia terdiam dan menghela nafas. "Aku takut jatuh dan terluka Daniel."

"Kamu tidak yakin kalau aku tidak akan membiarkanmu jatuh Ally."

"Itu memang salahku. Aku disini untuk meminta maaf padaku dan-"

Ucapannya terpotong dan melihat kebelakang pundakku dengan wajah shock. Aku menoleh kebelakang dan bertatapan dengan Layla.

"Maaf Dan, aku tidak bermaksud menguping hanya saja ketika aku memanggilmu kamu tidak menjawabnya jadi aku mencarimu dan uummmhhh yah begitulah"

Layla terlihat salah tingkah. Dia tahu siapa Ally dan masa lalu kami berdua. Aku mengulurkan tanganku pada Layla dan memintanya mendekat.

"Layla, ini Ally  dan Ally, ini Layla. Kami berdua ... dekat."

Aku memandang Layla dengan tatapan bertanya. Layla mengangguk kecil padaku. Anggukan itu membuatku rileks.

Mereka berdua saling bersalaman dan tersenyum canggung. Suasana ini memang sangat aneh untuk kami bertiga. Layla dengan terburu-buru meminta ijin untuk membuat  minuman untuk kami dan menghilang ke dapur. Memberi kami privasi.

"Maaf, sepertinya aku lupa memberitahu kalau Layla ada dibelakang sedang memasak. Dengar Ally. Aku memaafkanmu dari dulu bahkan sebelum kamu meminta maaf padaku."

"Aku tahu Dan kamu akan memaafkanku tapi aku merasa,lebih pantas jika datang dan meminta,maaf secara pribadi. Sayangnya aku justru mengganggumu, hahahaha maafkan aku Dan. Aku pasti membuatmu sangat canggung." Dia tertawa gugup

"Ally-"

"Tidak Dan." Dia memotong pembicaraanku dan menggeleng "Aku tidak memaksamu untuk melakukan apapun. Aku sempat berharap tapi rasanya itu tidak penting lagi."Dia memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Tolong ambil ini Dan. Ini adalah tiket konserku bulan depan kuharap kamu dan– Layla bisa datang. Aku tidak memaksamu datang aku hanya berharap kamu akan datang."

Sebelum aku sempat bereaksi Ally sudah mencapai pintu dan membukanya. Sebelum menutup pintu dia memandangku sedih dan kecewa.

"Sampai jumpa Dan."

Ally meninggalkanku dengan dua buah tiket di meja. Layla datang dengan membawa dua gelas teh hangat memandangku bingung karena hanya duduk sendiri.

"Ally barusan pulang. Dan dia meninggalkan tiket untuk konsernya minggu depan."

Aku memandang Layla dengan ragu. Tidak yakin aku harusnya menolak atau menerimanya. Layla tersenyum padaku mengetahui dilemma yang kurasakan.

“Pergilah Dan. Kamu harus menghadirinya karena aku tahu kalau tidak mudah bagi Ally untuk datang kemari dan mengundangmu ke konsernya.”

Aku memandangnya terkejut, tidak menyangka dia akan membiarkanku pergi.

“Kamu akan ikut bukan?”

“Tidak, aku akan tetap tinggal. Kamu akan pergi sendiri Dan. Kamu perlu meyakinkan dirimu sendiri kalau kamu mengambil keputusan yang tepat”

“Layla aku tidak yakin –“

“Daniel! Aku ingin kamu pergi bukan karena aku mendorongmu untuk kembali padanya. Aku lebih suka mengatakan pada Ally untuk menjauh darimu selamanya tapi aku tahu kalau itu akan jadi konyol. Aku ingin kamu pergi karena aku ingin kamu yakin akan perasaanmu Dan. Aku tidak mau suatu hari nanti jika kita tetap bersama kamu terus bertanya-tanya apa jadinya jika kamu datang ke konser itu. Apakah kamu akan kembali padanya atau lebih buruk jika kamu menyesal karena tidak pergi dan tetap bersamaku. Aku ingin kamu pergi ke konser dan yakin apa yang akan kamu lakukan.”

Rasa terimakasih terpancar dari mataku ketika dia mengatakan itu. Dia memberiku pilihan untuk tinggal atau pergi. Aku tahu jika aku pergi dia tidak akan marah padaku.

“Jika kamu memutuskan untuk kembali padaku maka aku akan mengenalkanmu pada orang tuaku. Mereka sudah tidak sabar dan mulai mengancamku jika aku tidak mengenalkan kekasihku pada mereka.”

“Mengenalkanku pada orang tuamu? Kamu yakin Layla?”

“Yap, aku lebih dari yakin. Mungkin ini saatnya kita menaikkan hubungan kita ke tahap yang lebih serius. Aku saat ini yakin tentang hubungan kita yang harus berlanjut. Saat ini giliranmu yang harus merasa yakin tentang hubungan kita di masa depan.”

Dia tersenyum. Senyum yang membuat seluruh wajahnya cemerlang. Senyum yang selalu kucintai. Aku mendekatkan wajahku padanya dan berbisik terimakasih di telinganya dan mengecup bibirnya lembut.

*****

Seorang kru secara pribadi mengantarku ke tempat duduk. Dia bilang ini permintaan Ally jadi aku tidak mendebatnya lagi. Tempatku berada diurutan depan atau lebih tepatnya dua baris dari depan panggung. Aku merasa sedikit tidak nyaman karena aku tahu tiket konser Ally untuk bangku ini tidak murah. Beberapa orang mengenaliku sebagai mantan kekasih Ally dan mereka mulai bergosip jika kami akan kembali bersama. Mereka juga mengatakan kalau kali ini Ally akan mempersembahkan sebuah lagu untukku. Aku tidak mendebat atau berkomentar karena aku memang tidak tahu apa-apa. Akan lebih bijaksana bagiku untuk tetap diam.

Konser berlangsung sukses. Ally menghipnotis semua penggemarnya dengan suara dan permainan panggungnya yang menakjubkan. Sesekali dia akan mengibaskan rambutnya seakan menjadi ciri khasnya ketika dia menyanyi.

Lampu-lampu dipadamkan membuatku penasaran apa yang terjadi selanjutnya. Para penonton sepertinya juga berpikiran sama karena teriakan mereka mulai menghilang. Menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebelum lampu benar benar padam mataku menangkap beberapa kru sedang melihat kearahku dengan ekspresi aneh. Seakan-akan mereka sedang menangkap reaksi apa yang akan kulakukan. Aku sedikit bingung dan merasa tidak nyaman. Apa yang akan terjadi?

Say Good ByeWhere stories live. Discover now