Firasat

17 3 6
                                    


Matahari menyingsing menyusup mengusik. Kepalanya terasa berat. Pening. Sangat pening, padangannya berkunang-kunang. Ia memegangi kepalanya.

Apa ini? Teriaknya dalam hati. Bau anyir menyeruak. Ia gelagapan melihat tangannya bersimbah darah. Bajunya pun penuh darah yang sudah mengering. Ia mencoba mengingat, apa yang terjadi semalam, tetapi kepalanya malah terasa sangat sakit.

Apa yang telah kulakukan semalam?

Ia begitu ketakutan. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya dan membersihkan diri. Membakar bajunya yang penuh dengan darah. Lalu sisa abu tersebut ia kubur.

Sepertinya terjadi hal yang buruk.

_07.50_

Hari ini cafe begitu ramai. Sehingga aku merasa sedikit kelelahan, ditambah luka kemarin membuatku sedikit kesulitan. Rasanya hari ini aku merasa sedikit kesepian. Tiba-tiba aku sedikit kepikiran tentang Ran. Dia karyawan kesukaanku, tapi sangat tertutup. Dia hanya meninggalkan kontak handphonenya. Sedari kemarin aku menghubunginya, tetapi handphonenya sepertinya mati.

Hari sudah petang, aku memutuskan menutup kafeku lebih awal, karena melakukan sendiri ternyata membuatku sedikit kelelahan, tetapi ketika papan "buka"akan ku ubah menjadi "tutup". Seseorang mengetuk pintu kafeku. Aku beranjak untuk membukakan. Ternyata dia, tetapi wajahnya terlihat begitu payah seperti tengah mendapat masalah serius.

"Kau sudah akan tutup?"

"Hampir, kau mau mampir?" tanyaku. Ia mengangguk.

"Kalau begitu masuklah,"ujarku mempersilahkan ia masuk. Ia segera melepas mantelnya dan beranjak duduk.

"Kau ingin apa?" tanyaku.

"Seperti biasa,"jawabnya. Aku segera mengerti ia sangat senang kopi ekspresso kafe ini karena ia hampir selalu memesannya. Aku segera membuatnya dengan cepat. Lalu ku berikan.

"Apakah di luar sangat dingin?" tanyaku untuk memulai percakapan.

"Yah lumayan,"jawabnya.

" Kau sendirian?"

"Hmm... ya."

"Kemana pergimya para karyawanmu?"

" Ku liburkan semua."

"Bernarkah? Kau menangani ini semua?" tanyanya tampak heran. Aku mengangguk.

"Apakah seluruh karyawanmu baik-baik saja?"

"Ya, mereka semua senang kuliburkan."

"Syukurlah."

"Ada apa?"

"Tak apa, hanya memastikan sesuatu."

"Sesuatu?"

"Bukan apa-apa."

"Kau sedang ada masalah Zack?"

"Tidak , hanya saja aku sangat pelupa."

"Maksudnya?"

"Lupakan, bagaimana hari ini? Kau pasti sangat kelelahan."

"Tidak, hanya luka ini sedikit menyulitkanku,"ujarku sembari memperlihatkan luka di tangannya.

"Tanganmu kenapa?"

"Tanganku hanya tersiram air panas karena melamun ketika menuangkannya."

"Ha... ha... bagaimana bos sepertimu bisa seceroboh itu."

"Entahlah."

"Ah sepertinya aku harus pergi, terima kasih kopinya. Berapa yang harus ku bayar?"

"Kau bercanda? Kau tak perlu membayarnya, kali ini anggap saja aku traktir."

"Benarkah?" tanyanya. Aku menggangguk. Ia tersenyum dan memasukkan kembali dompetnya.

"Aku akan sering-sering ke sini untuk mendapat kopi gratis ha.. ha.."

"Bukankah kau memang sudah sering kemari."

"Benar juga ha... ha... kalau begitu kau yang harus sering memberiku kopi gratis."

Aku menghantarnya keluar.

"Kemarin kenapa kau tak kemari?"

"Aku sedang tak enak badan," jawabnya singkat.

"Oh, apakah kau sudah baikan?"

"Lumayan."

"Zack, apakah aku boleh bertanya?"

"Apa?"

"Mengapa kau selalu pergi tepat pukul 07.50?"

"Ha... ha.. sejak kapan kau memperhatikanku?"

Aku terdiam salah tingkah. Tak tahu harus bicara apa, nyatanya aku memang memperhatikannya.

" Maaf, Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu Jarvella."

"Oh, maaf tak apa, pertanyaanku tak menyinggungmu?"

" Tentu saja tidak."

"Syukurlah, oh iya Zack, lebih baik jika kau memanggilku Vella saja."

"Aku tak mau, aku lebih senang memanggilmu Jarvella, Bye." Ia tampak terburu-buru pergi. Aku hanya memandangnya hingga ia menghilang di kelokan itu lagi.

Aku kembali membereskan kafe dan segera beranjak pulang. Deting lonceng itu terdengar tepat ketika aku mengunci pintu kafe. Aku terkaget-kaget ketika melihat handphone, terdapat 20 panggilan tak terjawab dari Mac. Aku segera menelpon Mac.

"Tut..tut... Haloo?"terdengar dari suara dari seberang.

"Mac? Ada apa? Mengapa kau menelponku sebanyak itu?"

"Ma'am.. hiks..hiks... Ma'am." Terdengar isakan dari seberang.

"Ada apa Mac? Apakah ada sesuatu yang terjadi?"

"Ma'am... Ran... Ran..."

"Adaapa dengan Ran?"

"Ran Meninggal..."Rasanya aku seperti tersambar petir. Handphoneku terjatuh karena saking kagetnya. Air mataku jatuh tanpa diminta.

"Ma'am? Ma'am? Ma'am? Apakah kau baik baik saja..."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pria MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang