| 1 | GADIS DI REUNI

Zacznij od początku
                                    

"Pada kangen?" Gue tertawa renyah. "Dua minggu lalu, kan, Abang pulang, Ma."

"Iya.... Dan seharusnya jadwal pulang berikutnya hari ini, kan?"

Sebelah telinga gue—yang bebas—menangkap sayup alunan lagu yang terdengar nggak asing. Tangan kiri terulur untuk menaikkan volume, namun masih dalam batas wajar sehingga nggak mengganggu pembicaraan, gue memberi jawaban pada Mama, "Abang sudah kirim pesan, kok, di grup LINE."

"Dibalas nggak?"

Gue meringis. "Nggak."

Adik-adik gue memang sekejam itu. Heran. Jika dilihat dari usia, mereka bukan lagi anak-anak. El hanya setahun lebih muda dari gue, Arjuna selisih delapan tahun, sementara si bungsu—Amara—sepuluh tahun di bawah gue. Tapi kalau sudah perihal gue batal pulang ke Bandung, mereka pasti kompak mendiamkan. Satu pun nggak ada yang ingin membalas chat gue. Entah yang gue kirim ke grup atau personal.

"Mama nggak keberatan menyampaikan maafnya Abang ke mereka, tapi kalau Abang minta maaf aja nggak dihiraukan, sepertinya yang dari Mama pun hasilnya sama."

Gue tersenyum tipis. Terbayang di benak gue satu per satu wajah anggota keluarga. Mama, Ayah, dan ketiga adik gue. Kalau orang lain merasa nggak nyaman dengan perhatian berlebih ini, gue malah sebaliknya. Merajuknya mereka membuat gue semakin menyadari betapa pentingnya gue untuk El, Arjuna dan Amara.

"Apa Abang pulang besok, ya, Ma? Subuh. Sekiranya sampai Bandung pukul delapan atau sembilan."

"Kalau malam ini pulangnya larut, mending nggak usah," saran Mama. "Nanti malah kenapa-kenapa di jalan."

Gue terdiam. Mama ada benarnya. Mengingat setiap kali reuni selalu bubar mendekati pukul dua belas, bahkan bisa lebih kalau aja gue setuju untuk ikut anak-anak pindah ke tempat yang... lebih bising, beraroma alkohol, dengan lampu remang-remang.

"Ya sudah kalau gitu, sampaikan ke mereka kalau Abang pulangnya minggu depan aja. Janji."

Mama tertawa kecil. "Iya.... Sekali-kali nggak ikuti kemauan adik-adikmu, nggak apa-apa, kok, Bang. Abang tetap abang favoritnya mereka. Tenang aja."

Mendengar pujian Mama, mau nggak mau gue tertawa. Sekali ini lebih kencang. "Ma," gue menghentikan gelak, "Abang sudah hampir sampai." Informasi sekaligus menyiratkan bahwa panggilan ini sudah waktunya diakhiri.

"Have fun," pesan Mama.

"Iya, Ma." Dan gue tahu yang Mama maksud dengan 'have fun' bukan hanya sekadar menikmati Sabtu malam bersama teman-teman lama gue, tapi lebih dari itu. Bahwa Mama tahu ada seseorang yang amat sangat gue tunggu kehadirannya.

"Mama sayang Abang."

Senyum gue mengembang. Abang juga, Ma.


***


NGGAK sulit menemukan keberadaan mereka. Kostum berupa atasan putih dan bawahan jeans biru muda membuat gue dengan langkah cepat menghampiri sudut yang sekiranya dihuni lebih dari 30 orang. Gue bukan jenis manusia pusat perhatian, jadi ketika gue semakin dekat, nggak ada yang menyadari kehadiran gue; melambai dengan gerakan heboh; pun berteriak kencang menyerukan nama gue. Dan, tentu, gue sudah sangat terbiasa dengan itu.

"Sori telat," kata gue, kemudian mengambil posisi di sebelah cowok berparas Arab—Omar. Kami duduk sebangku sepanjang kelas dua belas.

"Nggak pa-pa. Paham, kok, orang Indonesia itu gimana," Omar menyahut.

BREADCRUMBOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz