Episode 2 - Datangnya Völgher

28 1 0
                                    

"Hei ... tunggu aku,"-Lewis terus mengejar seorang bocah yang baru ditemuinya-"aku hanya ingin bertanya."

Langkah kaki Lewis sudah tak menentu. Tak tahu arah, nama tempat, dan sebuah dunia yang berbeda dari dunia nyata. Lewis menganggap jika saat ini dirinya sedang berada di dunia fiksi. Hal ini dia ungkapkan karena di tempat ini ada banyak hal-hal yang tidak wajar, terlebih tidak ditemukan di dunia nyata. Sementara itu sang bocah terus berlari menjauhi Lewis. Orang-orang di Xentåura memang sulit menerima keberadaan orang asing, hanya di daerah pelosok saja. Namun di perkotaan, orang-orangnya justru mudah berbaur dengan orang asing.

Sang bocah benar-benar menghilang dari pandangan Lewis. Kini dia merasa sendirian. Matanya tertuju ke arah kiri dan kanan, mencoba berpikir kembali. "Sepertinya aku berada di pemukiman penduduk."

Lewis menggaruk-garuk kepalanya, pertanda sedang bingung. Dengan memberanikan diri, Lewis berjalan memasuki pemukiman penduduk. Meski begitu, dia tetap merasa gemetar ketika mencoba berbaur dengan penduduk lokal. Seorang wanita yang sedang mengumpulkan ranting kayu menatap Lewis dari arah kejauhan. Dia kemudian langsung masuk ke dalam rumah. Dari sini, Lewis merasa sakit hati. Hatinya sedih ketika tak satu pun orang di Xentåura ingin berbagi informasi.

Tiba-tiba ... sebuah lemparan batu mengenai kepala Lewis. Lewis merasa kaget. "Aduh, sial ...."

Lewis memutar badannya dan melihat orang yang melemparinya dengan batu. Mengejutkan, ternyata lemparan batu tersebut bersumber pada seorang bocah yang dikejarnya. "Hei, kau. Apa-apaan ini?"

Sang bocah memberanikan diri untuk bertanya. "Kau orang dari kota, 'kan?"

"Kota yang mana?" Lewis membalas. "Ya, aku dari kota. Aku dari London," sambungnya.

"London,"-sang bocah menaruh jari telunjuk di bibirnya-"di mana itu?"

"Kau tak tahu London?" Lewis bertanya.

Sang bocah menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak mengenal London, sebuah kota di Britania Raya. Lewis pun baru sadar akan hal ini. Dia merasa maklum karena sedang berada di dunia yang berbeda. Lewis tersenyum, berjalan mendekat. Sang bocah memasang wajah waspada. Dia melangkahkan kaki perlahan ke belakang. Lewis berkata, "Jangan takut, aku orang baik."

Meski Lewis berkata demikian, sang bocah masih menjaga jarak.

Sang bocah mengancam. "Jangan mendekat atau aku akan berteriak? Aku tak mau berteman dengan orang asing!"

Lewis menepuk keningnya. "Aku mohon, percayalah kepadaku!"

Sang bocah kembali membalas. "Bagaimana jika kau berbohong?"

Situasi sulit untuk Lewis. Dia masuk ke dalam dunia Xentåura dan bertemu dengan orang-orang yang sulit menerima keberadaan orang asing. Beberapa saat kemudian, Lewis benar-benar memohon dengan sangat tulus kepada sang bocah. Wajah kasihan Lewis yang membuat sang bocah akhirnya mempercayainya. Sang bocah mengajak Lewis berjalan menyusuri pemukiman penduduk. Dia menjelaskan kepada Lewis tentang tempat yang bernama Xentåura.

Lewis berjalan sembari mengamati sekitar. "Xentåura benar-benar indah dipandang."

Sang bocah membalas perkataan Lewis. "Kau salah besar. Xentåura adalah tempat yang mengerikan. Kau jangan tertipu daya dengan panorama tempat ini."

"Hah,"-Lewis menatap sang bocah, memasang wajah bingung-"bagaimana bisa?"

Sang bocah mengulurkan tangannya. "Sebelumnya, aku akan memperkenalkan diri. Namaku adalah Gwen. Siapa namamu?"

"Namaku Lewis. Terima kasih karena kau telah mempercayaiku, ya." Lewis berucap, bersalaman dengan Gwen.

Kini, Lewis dan Gwen menjalin persahabatan. Meski demikian, hanya Gwen yang mau berteman dengan Lewis.

Tak terasa waktu sudah menjelang sore. Gwen mengajak Lewis untuk menuju ke tempat tinggalnya. Lewis merasa bersyukur bisa bertemu dengan Gwen yang sebelumnya sedikit acuh.

Sesampainya di rumahnya Gwen.

"Kakek, buka pintunya, dong." Tangan Gwen mengetuk pintu. Mereka berdua menunggu untuk dibukakan pintu.

Sembari menunggu pintu dibuka, Lewis merasa seperti diawasi dari arah kejauhan. Dia merasakan sebuah firasat buruk yang nanti akan terjadi. Sebuah tatapan mengerikan terlihat di samping pohon. Awalnya Lewis mengira jika itu adalah seekor kucing dengan cahaya mata di kegelapan. Tapi, ternyata bukan. Dia seperti melihat monster yang berwujud serigala. "Gwen ...."

"Kakek, aku pulang." Gwen tersenyum, begitu pula dengan kakeknya.

"Gwen, apa kau lihat sesuatu di samping pohon itu?" Lewis memanggil Gwen dengan membelakanginya, namun justru Gwen sudah masuk ke dalam rumah.

"Ada apa, Lewis?" Gwen bertanya, melepas jubahnya.

Lewis memutar badannya. "Kau sudah di dalam rumah, ya?" tanya Lewis, terkejut. "Sepertinya aku tadi baru saja melihat sesuatu."

"Benarkah?" Gwen balas bertanya. Sebenarnya Gwen juga melihat yang sedang dilihat Lewis, namun dia berpura-pura tidak melihat. "Masuklah ke dalam rumah."

"Sial, sepertinya para Völgher akan segera menyerang tempat ini," ucap Gwen dalam hati. Perasaan khawatir menghinggapi dirinya. Meski begitu, dia tetap bersikap tenang agar Lewis tidak terpancing dengan situasi ini. Tak lama, terdengarlah sebuah auman serigala, cukup keras.

Lewis berucap, dirinya merasa panik. "Nah, 'kan, apa kau juga mendengarnya, Gwen?"

Gwen berkata, "Völgher sudah datang-"

Kedua mata Lewis melotot.

"Kita dalam situasi bahaya." Gwen merasa panik. Kakek Gwen disuruh bersembunyi di dalam rumah, begitu juga dengan Lewis. Sementara itu, Gwen mengambil senapan yang diambilnya dari tempat penyimpanan senjata. Melihat situasi ini, Lewis merasa sangat ketakutan. Firasat buruk yang sebelumnya dirasakan akhirnya terjadi juga. Dia tidak tahu tentang hal yang sedang terjadi.

"Gwen, apa itu Völgher?" Lewis bertanya, memegang tangan kiri Gwen dengan erat.

Gwen perlahan melangkahkan kaki ke depan. "Kalau aku jelaskan, nanti kau akan ...."

"Akan apa?" Lewis membentak. "Gwen-"

Light in the DarkWhere stories live. Discover now