Zwei: Perang yang Baru

3.4K 308 35
                                    

Wadowice, Polandia, 1942.

Semasa aku kecil, ayahku sering bercerita tentang perang dunia yang terjadi di tahun 1914 hingga 1915. Baginya, itu adalah masa-masa yang paling sulit. Kota-kota hancur, makanan sulit didapat, dan mereka harus waspada setiap saat. Semua orang harus berjaga-jaga terhadap bom yang bisa meledak kapan dan di mana saja. Awalnya perang tersebut hanya terjadi di Eropa, namun akhirnya meluas juga ke Asia dan Afrika. Banyak negara porak poranda akibat peperangan tersebut. Sulit kubayangkan bagaimana kacaunya keadaan ketika negara-negara saling pamer kekuatan, lalu menghabiskan banyak uang untuk membeli banyak senjata.

Belum 30 tahun berlalu setelah perang itu selesai, tetapi tampaknya perang yang baru akan segera pecah. Polandia sudah tidak lagi merdeka. Tiga tahun yang lalu, tank-tank Jerman mulai mencaplok negara kami. Saudara-saudara kami yang tinggal di Warsawa sudah sering membicarakan hal itu sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah. Mereka cemas akan nasib rakyat saat perang, tetapi terutama mereka takut pada NAZI. Partai itu menguasai setiap sendi pemerintahan di Polandia sekarang.

Sebenarnya, aku juga takut sekaligus marah. Aku muak dengan salam, 'Hail, Hitler!' yang harus diucapkan setiap kami bertemu dengan prajurit-prajurit Jerman. Dari berita yang kudengar, siapapun yang menolak memberikan salam tersebut akan ditembak mati. Lebih buruk lagi, sekolah-sekolah di Wadowice wajib mengajarkan bahasa Jerman dan segenap kebudayaannya. Sementara di Warsawa, sekolah-sekolah sudah tidak lagi menggunakan bahasa Polandia sebagai pengantar.

Lalu, satu hal lagi yang harus kami cemaskan. Beberapa tahun yang lalu, kamp-kamp konsentrasi mulai dibangun di Jerman dan Polandia. Menurut cerita saudara kami, orang-orang yang dicap 'berbahaya' ditangkap dan dimasukkan ke sana. Orang Yahudi dan keturunan Yahudi, orang-orang gipsi, para tahanan politik, dan semua yang dikirim ke sana tidak akan kembali lagi. Oleh karena itu, kusebut kamp konsentrasi sebagai kamp kematian.

Aku sebenarnya cukup was-was karena ayahku seorang keturunan Yahudi. Beliau adalah warga negara Jerman yang pindah ke Polandia. Dan meski ibuku orang Jerman asli, bukan jaminan keluarga kami akan aman. Apalagi, aku dan kakak perempuanku lebih kelihatan seperti wanita Yahudi ketimbang Jerman. Setiap hari, aku terus bertanya-tanya apakah kami semua akan terus bersama, lalu menjalani kehidupan yang normal? Dan apakah negara kami akan kembali seperti dulu lagi?

Satu-satunya yang bisa menenangkanku hanya kehadiran satu orang, yakni sahabat baik sekaligus tetanggaku, Deryk Helmer. Ayah Deryk juga seorang Jerman yang tinggal di Polandia. Dia pria yang menyenangkan, walau kadang menyebalkan. Di kalangan para gadis, dia cukup populer berkat mata birunya yang tajam dan memesona. Menurutku, memang dia cukup tampan, namun tidak cukup untuk membuatku jatuh hati padanya.

Lalu pagi ini, Deryk menungguku di depan rumah. Rencananya, kami akan pergi menghadiri misa di tengah kota bersama-sama. Biasanya aku pergi ke gereja di dekat rumah bersama keluargaku, namun semenjak gereja di pinggir kota ditutup, Ayah dan Ibu tidak pernah pergi lagi. Demikian juga dengan kakakku, Emilie.

"Dzien dobry (1), Sarah!" sapa Deryk. Ia menungguku sambil duduk di sadel sepedanya. Kulihat rambut pendek Deryk yang cokelat terang sedikit berantakan karena tertiup angin. "Apa kabar?"

"Dzien dobry. Aku baik," jawabku. "Ayo, Deryk, kita harus berangkat sekarang kalau tidak mau terlambat."

"Baik. Naiklah, Sarah, aku akan mengebut!"

Aku tersenyum, kemudian naik ke boncengan sepeda sahabatku itu. Rumah-rumah masih jarang, lahan-lahan kebanyakan masih digunakan untuk bercocok tanam. Angin musim semi Polandia yang sejuk berhembus dengan bebas, membuat rok lebarku berkibar-kibar.

Aku sangat senang karena tidak harus berjalan kaki sejauh tujuh kilometer ke pusat kota. Kalau tidak ada Deryk, aku harus berjalan sendirian dan itu rasanya tidak menyenangkan. Dengan naik sepeda, perjalanan terasa lebih cepat karena aku bisa mengobrol dengan kawanku tersebut.

Auschwitz In Memory [END]Where stories live. Discover now