Jelas saja tadi dia melihatku sinis terang-terangan. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah padanya? Aku merasa seperti korban disini.

"Sayang, ada apa? Muka kamu pucat."

Refleks aku menjauhkan wajahku dari tangan Raffa yang akan menyentuh. Aku kaget karena gerakannya. Sedari tadi aku asik melamun.

"Ah, aku nggak apa-apa. Cuma sedikit capek," jawabku mengelak.

"Mau aku antar pulang?"

Aku menggeleng. Hari ini hari sabtu dan aku tidak ada pekerjaan lain di rumah. Aku ikut Raffa ke rumah sakit sejak pagi tadi. Karena aku tidak ingin sendiri di rumah. Dia mengiyakan saja dan dia memang ingin memperkenalkan ku pada rekan-rekannya.

"Kamu nggak sakit kan?" Raffa duduk di kursinya. Aku masih berdiri bingung harus melakukan apa disini.

"Nggak," jawabku singkat.

Raffa menarik tanganku tiba-tiba dan membuatku terjatuh ke pangkuannya.

"Eh, Mas. Apa sih?" seru ku.

"Kamu dari tadi cuekin Mas." Raffa mencubit pipiku.

"Ugh, sakit. Mas lepasin." Aku menarik tangannya.

"Kamu nggak mau cerita sama Mas? Hm?"

"Cerita apaan, aku nggak kenapa-kenapa."

Tangan besarnya memeluk pinggangku. Raffa menyenderkan kepalanya di bahuku.

"Kamu nggak tahu apa dari tadi Mas nahan biar nggak kasih tonjokkan ke teman-teman Mas tadi?"

Aku menjauhkan kepalanya dari bahuku agar bisa melihat wajahnya. Raffa menatapku dengan pandangan yang tak ku mengerti. Wajahnya memerah.

"Kena...pa?" tanyaku pelan.

"Kamu nggak tahu Mas kenapa?"

Aku menggeleng. Dia kembali menyender. Nafasnya yang berat terasa di leherku.

"Mereka lihatin kamu kayak serigala lagi kelaparan. Nggak berhenti-berhenti lihat nya. Mas nggak suka kamu di lihat sama pria lain. Mas jadi nyesel ngenalin kamu sama mereka."

Suara serak Raffa membuatku tersadar kalau dia saat ini sedang cemburu berat. Aku tersenyum. Hatiku menghangat. Ternyata dia menahannya ya. Aku mengusap kepala Raffa lembut.

"Aku tetap milik Mas, kok. Lagian aku nggak cantik. Kenapa juga mereka lihat aku? Mungkin mereka mikir kalau aku nggak cocok sama Mas yang ganteng gini." Aku tertawa pelan.

"Hm? Kamu nggak sadar ya kamu itu cantik? Malah Mas ngerasa beruntung bisa dapatin kamu."

Aku terdiam. Matanya menunjukkan sisi yang tidak aku lihat selama ini. Dia bersungguh-sungguh mengatakannya. Beruntung? Tapi bukankah aku hanya seorang pengganti?

"Tapi..."

Ketukan pintu mengenterupsi percakapan kami. Aku segera berangkat dari pangkuan Raffa tapi ia menahannya.

"Masuk."

"Mas, malu tahu kalau dia lihat," kataku berusaha lepas.

"Jangan kemana-mana."

Seseorang masuk dan dari raut wajahnya dia sedikit terkejut. Nevara. Aku membuang muka saat dia melihatku. Hm, bagus lah kalau ternyata dia yang datang.

Dengan sengaja aku makin menempelkan tubuhku. Aku ingin melihat reaksinya. Jujur, aku benci dia. Dia sudah mengaku-ngaku sebagai calon pacar Raffa dan berbicara di belakangku. Lalu apa lagi yang akan dia lalukan. Sepertinya aku harus ke rumah sakit setiap hari agar dia tak mendekati Raffa.

"Ada apa, Neva?"

"Aku hanya ingin mengantarkan surat permohonan pengajuan ini."

"Baiklah, terima kasih."

Nevara masih diam di tempatnya. Menatapku tak suka, aku balas menatapnya lebih tajam. Ya Tuhan, rasanya aku ingin menjambaknya dan menamparnya sepuasku.

"Neva? Ada yang ingin kamu bicarakan lagi?" tanya Raffa.

"Ah, tidak. Aku permisi."

Aku melihat pergerakannya. Ah menyebalkan. Baru tiga kali bertemu sudah membuatku membencinya.

"Tissa..."

Raffa menarik wajahku agar melihatnya.

"Apa?" tanyaku ketus.

Seketika aku terdiam karena bibirnya sudah menempel di bibirku. Raffa memeluk pinggangku semakin erat. Aku memejamkan mata, ikut tenggelam dalam suasana yang membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya.

Ciumannya semakin dalam. Dan tanpa ku sadari, kemeja yang ku pakai sudah berada di lantai. Raffa melepas bibirnya, menelungkupkan kepalanya di leherku. Tangannya meraba-raba, mencari sesuatu yang dia suka.

"Mas, na-nanti ada orang masuk," ucapku cemas.

"Nggak akan."

Raffa kembali menyerangku, membuatku tak bisa menahan untuk tetap tutup mulut. Sudahlah, aku tidak peduli jika ada yang mendengar dari luar sana. Aku tidak tahan lagi.

Perlahan Raffa menggendongku, membawa ke sofa dan membaringkanku. Dia melepas sisa pakaian di tubuhku. Dinginnya AC langsung menerpa kulitku yang tak di lapisi apa-apa.

Sekarang, giliran nya untuk menyusulku. Dalam keadaan begini, aku hanya bisa pasrah dan berdoa agar tidak ada orang yang akan masuk. Ini adalah pengalaman pertamaku, bercinta di ruang kerja seorang direktur.

-

After The WeddingWhere stories live. Discover now