"Kita berdua memang salah, Pa. Kita yang selalu menjauh dari Audrey karena dia mengingatkan kita sama Mama. Tapi, sekarang semua udah terjadi. Nggak ada yang bisa kita lakuin selain nunggu sampai Audrey sadar dan kita bisa minta maaf sama dia," ucap Max dengan tenang. Inilah salah satu sifat Max yang selalu dikagumi oleh Audrey. Max selalu bisa bersikap tenang dalam keadaan apapun.
"Yaudah. Sekarang mending kita tunggu di luar. Kata dokter kan Audrey perlu banyak istirahat."
Begitu mendengar suara pintu ditutup, Audrey membuka matanya. Ia tidak heran jika keluarganya datang karena sudah jelas Riel pasti menghubungi mereka. Sekarang ia sudah tahu mengapa ia dicampakkan di rumah. Ini karena ia sangat mirip dengan mamanya. Memang sedari dulu, banyak sekali orang yang berkata bahwa ia sangat mirip dengan mamanya. Namun, tetap saja. Alasan itu rasanya masih belum cukup untuk Audrey memaafkan mereka berdua.
Audrey memutuskan untuk kembali tidur dan bangun beberapa jam kemudian saat langit sudah gelap. Ia bisa melihat dengan jelas dari jendela yang berada di sebelah kirinya. Lagi-lagi, tidak ada orang berada di dekatnya.
Audrey sedikit terlonjak begitu mendengar pintu dibuka. Sebelum ia sempat memejamkan matanya, ia melihat seorang perempuan yang tidak terlalu tua dan berpakaian layaknya suster rumah sakit berjalan masuk ke dalam kamarnya.
"Wah, kamu sudah sadar ya," ucap suster tersebut dengan ramah.
Audrey tersenyum lemah dan mengangguk pelan. Ia tidak bisa berbicara karena tenggorokkannya terasa sangat kering.
"Apa kamu mau minum?" tanya suster tersebut seakan tahu pikirannya.
Audrey kembali mengangguk. Kemudian, suster tersebut mengatur tempat tidurnya sampai ia setengah duduk. Lalu, ia menyodorkan gelas berisi air putih beserta sedotan.
"Terima kasih," ucap Audrey dengan suara pelan.
Suster tersebut menganggukkan kepala. "Akan aku panggilkan dokter untuk mengecek kondisimu. Tunggu sebentar ya."
Tidak lama kemudian, suster tersebut datang dengan seorang dokter dan juga seorang suster lagi. "Halo, Audrey. Nama saya Tony. Jika saya boleh tahu, apa yang kamu rasakan sekarang?"
"Lemas."
Dokter tersebut menganggukkan kepalanya kemudian mengambil stetoskopnya dan mulai memeriksa kondisi Audrey.
"Baiklah. Sepertinya kamu masih memerlukan istirahat yang banyak. Saya akan memberitahu keluargamu kalau kamu sudah sadar."
Mendengar perkataan dokter tersebut, Audrey dengan cepat berkata, "jangan!"
Dokter dan kedua suster tersebut mengerutkan keningnya dengan heran. "Kenapa emangnya? Bukankah kamu senang jika bertemu dengan keluargamu?"
Audrey menggeleng cepat. "Jangan. Aku mohon jangan. Aku tidak ingin bertemu dengan siapapun."
Melihat Audrey yang mulai terkena serangan panik, dokter tersebut akhirnya menenangkan Audrey dengan menyuntikkan obat penenang padanya. Setelah itu, Audrey kembali tertidur.
***
Sofian dan Max berjalan dengan cepat menuju ruangan Audrey. Mereka langsung bergegas datang ke rumah sakit begitu mendapat telepon dari El bahwa Audrey sudah sempa sadar dan ada yang ingin dibicarakan oleh dokter dengan mereka berdua.
Bianca dan El yang semula sedang duduk di kursi pun segera bangkit berdiri begitu melihat kedatangan Max dan Sofian. Bev dan Riel tidak terlihat karena sedang bersekolah.
"Ada apa?" tanya Sofian dengan panik.
Bianca melirik El, mengisyaratkannya untuk menjelaskan pada mereka berdua apa yang terjadi. El berdeham sebelum memberitahu apa yang dikatakan dokter tadi.
"Sebenarnya, semalam itu Audrey udah sadar. Tapi, waktu dibilang mau kasih tau keluarganya kalau dia udah sadar, dia bilang jangan. Abis itu dia terkena panic attack, jadi dokter suntik obat penenang lagi ke Audrey."
Ekspresi wajah Sofian datar. "Jadi maksudnya?"
"Dia takut kalau Audrey kena depresi," jawab El dengan nada pahit. Ia sendiri juga bisa merasakan bagaimana berada di posisi Sofian sekarang. Walau Audrey bukan anak kandungnya, ia bisa merasa sakit saat mendengar kabar itu.
Max menutup mulutnya dengan tidak percaya. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia sudah gagal menjadi seorang kakak. Padahal ia selalu berjanji pada Audrey bahwa ia akan selalu ada untuknya. Tapi, ia merusak janjinya sendiri. Ia merusak kepercayaan Audrey padanya.
"Apa parah?" tanya Sofian dengan takut-takut.
El menggelengkan kepalanya. "Saya kurang tau. Maka dari itu, saya sarankan kalian menghadap dokter dan bertanya lebih lanjut."
Sofian menganggukkan kepalanya dan mengajak Max untuk pergi ke ruangan dokter. Dalam hati, ia berharap bahwa Audrey tidak benar-benar depresi. Karena jika sampai benar Audrey depresi, ia rasa ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
Mereka masuk ke ruangan Dokter Tony dan duduk di hadapannya. Dokter Tony mengambil file milik Audrey dan membacanya sekali lagi untuk memastikan dirinya sendiri sebelum memberitahu Sofian dan Max.
"Dilihat dari kondisinya semalam, saya takut putri Anda terkena depresi ringan. Hal ini biasa disebabkan oleh tekanan yang berat dan stress yang berlebihan. Apa Anda tahu masalah apa yang sedang menimpa anak Anda?"
"Saya kurang tahu jelas. Tapi, memang sedang ada masalah keluarga," jawab Sofian dengan lemah.
Dokter Tony menganggukkan kepalanya. "Saya belum bisa benar-benar memastikan sampai saya memeriksa Audrey lagi nanti. Jika benar ia terkena depresi ringan, saya akan berikan obat anti depresi. Dan saya sarankan juga ia menjalani terapi agar kondisinya bisa membaik."
"Apa dia akan baik-baik saja, Dok?" tanya Max yang sedaritadi hanya diam.
"Untuk kasus Audrey masih termasuk ringan. Tapi jika semakin parah, biasanya penderita akan melakukan hal-hal yang menurut mereka bisa membebaskan mereka dari beban yang sedang dirasakan."
Max dan Sofian menatap Dokter Tony dengan tidak mengerti. "Maksud Anda?"
"Jika sudah depresi berat, penderita biasa akan memikirkan cara untuk menghentikan hidup mereka," jelas Dokter Tony yang sukses membuat mereka berdua membeku di tempat.
***
YOU ARE READING
Lesson To Learn
Teen Fiction"When you think everything's going so well but then all of a sudden everything starts to fall apart." ••• Audrey selalu berpikir bahwa hidupnya sudah sempurna. Pacar yang tampan, dua sahabat yang selalu ada bersamanya, dan juga keluarga yang bahagia...
22. Panic Attack
Start from the beginning
