22. Panic Attack

Começar do início
                                        

"Hush! Kamu jangan sembarangan ngomong. Audrey pasti bakal baik-baik aja. Kamu denger kan tadi dokter bilang dia perlu istirahat. Artinya nggak ada hal yang parah," ucap Bianca dengan yakin.

"Kamu tahu nggak siapa nama orang tua Audrey?" tanya El setelah memikirkan apa yang harus ia lakukan. Sudah waktunya ia mendatangi orang tua Audrey dan membahas semuanya. Ia tidak bisa terus-terusan melihat Audrey begini. Apalagi sekarang anak itu terbaring di rumah sakit. Ini semua sudah harus berhenti.

"Nggak, Pa. Aku aja nggak pernah ketemu mereka. Aku cuma pernah ketemu supir sama pembantu rumah tangganya aja."

"Kalau begitu, kamu ikut Papa. Kita ke rumah dia dan tanya dimana kantor mereka," ucap El sambil bangkit berdiri.

"Tapi, Pa-"

"Ini semua nggak boleh diterusin. Kondisi Audrey bakal makin drop nanti. Jadi, kita berangkat sekarang. Biar mamamu yang jagain Audrey di sini," ucap El seraya melirik Bianca untuk memastikan.

Bianca mengangguk. "Kalian pergi aja. Nanti kalau ada apa-apa, Mama bakal telepon kalian."

Riel pun akhirnya setuju dan pergi bersama papanya menuju rumah Audrey. Tidak ada pembicaraan yang terjadi di dalam mobil karena mereka berdua sama-sama sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Begitu mereka sampai di rumah Audrey, Riel memencet bel rumah Audrey beberapa kali. Pintu terbuka dari dalam beberapa saat kemudian.

"Selamat siang. Mau cari siapa ya?" tanya Bi Eli dengan bingung.

"Maaf sebelumnya. Saya Nathaniel dan ini anak saya, Lucas. Apa orang tua atau kakak Audrey ada di rumah?" tanya El dengan sopan.

Bi Eli menggeleng. "Mereka berdua lagi di kantor. Baru pulang nanti sore jam lima. Ada apa ya?"

"Kalau gitu, boleh saya meminta nomor telepon mereka? Ada hal penting yang harus saya bicarakan mengenai Audrey."

Mendengar nama Audrey, kedua mata Bi Eli langsung melebar. Firasatnya berkata ada sesuatu yang terjadi tapi ia tidak berani bertanya. Maka, ia mengeluarkan ponselnya dan memberikan nomor majikannya.

"Terima kasih," ucap El sebelum kembali berjalan menuju mobil. Riel yang sedaritadi tidak mengucapkan apa-apa hanya berjalan mengikuti papanya.

***

Audrey membuka matanya dengan perlahan. Tubuhnya terasa tidak bertenaga. Bahkan, untuk menggerakkan tangannya saja ia tidak bisa. Ia melirik sekeliling dan menyadari selang infus yang tertancap di tangan kanannya.

Tidak ada siapapun yang menemaninya di sini. Namun hal itu sama sekali bukan masalah untuk Audrey. Ia juga sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun saat ini. Pikirannya kembali terlempar pada kejadian yang menimpanya sebelum ia pingsan. Ia yakin pasti Riellah yang membawanya ke rumah sakit.

Saat Audrey sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, pintu terbuka dengan perlahan. Audrey menutup kedua matanya dengan cepat, berpura-pura tertidur. Ia tidak ingin berkomunikasi dengan siapapun untuk sekarang ini.

"Yaampun," ucap sebuah suara yang sangat dikenali oleh Audrey. Pemilik suara ini adalah orang yang telah mendiamkannya selama ini.

"Pa," ucap sebuah suara lain. "Tenang dulu, Pa. Audrey pasti bakal baik-baik aja."

"Tapi, dia begini gara-gara Papa, Max. Andai aja Papa nggak sibuk terlarut dalam kesedihan Papa, semua pasti nggak akan jadi kayak gini."

Audrey bisa membayangkan betapa sedihnya papanya saat melihat kondisinya. Ia ingin memeluknya dan berkata bahwa tidak apa-apa. Namun, ia tidak bisa. Karena kenyataannya, ia merasa sakit hati. Sakit karena dicampakkan oleh mereka. Sakit karena diperlakukan seakan bukan makhluk hidup. Sakit karena mereka tidak ada di saat ia sangat membutuhkan mereka. Semua itu membuat luka yang cukup besar di hatinya. Dan hatinya masih belum bisa merelakan semuanya.

Lesson To Learn Onde histórias criam vida. Descubra agora