Bab Tiga

352 59 1
                                    

...

Aku memesan makanan dan duduk di tempat biasa. Sesekali mataku menyapu ke seluruh kantin, mencoba menemukan sosok Choco. Tapi aku belum juga melihat batang hidungnya. Kemudian mataku beralih menatap jam di layar ponselku.

"10.15" gumamku. Seharusnya Choco sudah ada disini. Tapi kok, tidak ada, ya?

Aku kembali menatap sekitar namun yang kutemukan malah sosok wanita berseragam kuno yang biasanya kutemui di koridor. Dia berdiri di sisi lain kantin sambil menatap kosong ke depan. Jangan - jangan dia sadar kalau aku...

Seketika ia berjalan mengikuti seorang siswi yang nampak sedang menangis tersedu - sedu. Tak jauh di belakang siswi itu, aku melihat seorang siswa yang tengah menunduk sambil memukul - mukul meja dengan keras. Biar kutebak. Pasti mereka baru saja putus. He..sudah kuduga. Pacaran dan bertingkah sok romantis itu adalah kegiatan yang sia - sia dan membuang waktu. Bodoh.

Setelah sosok wanita itu pergi, aku kembali duduk menunggu kedatangan Choco. Dan, ia tidak pernah datang. Tidak peduli seberapa lamapun aku menunggunya, satu - satunya teman di hidupku itu tidak pernah datang lagi. Bahkan esoknya, esoknya, dan esoknya lagi, aku tidak pernah melihatnya. Aku rindu suaranya, aku rindu mulutnya yang tak bisa berhenti berceloteh, aku rindu senyumannya yang selalu membuat hatiku merasa lebih baik. Aku rindu kamu, Choco...

"Apa kau butuh bantuan..?" tiba - tiba sebuah bisikan lirih membuyarkan lamunanku tentang Choco.

"Ah-!" aku terpekik kaget begitu kulihat sosok wanita berseragam kuno berdiri di sebelah bangku milikku. Rupanya dia lagi, masih sama dengan kantung mata hitam dan juga tatapan sayu miliknya itu.

"Baiklah, aku mengaku. Aku bisa melihatmu dan juga kawan - kawanmu." ujarku agak kesal.

"Aku tahu kau sedang sedih akibat seorang anak laki - laki yang kau sukai." tuturnya datar.

"He? Kau ini stalker, ya?" tuduhku.
Hanya dalam jangka waktu satu kedipan mata, wanita itupun menghilang. Baguslah, aku rasa dia kesal denganku yang tidak juga menjawab rasa penasarannya. Saat ini aku sedang ingin sendirian tanpa seorangpun yang menemaniku. Kalau bisa, sebenarnya aku hanya ingin ada Choco disini.

Tidak terasa, bel pulangpun berbunyi. Aku yang selalu menyendiri ini berjalan keluar kelas seorang diri. Bagiku waktu berjalan begitu lambat tanpa adanya rasa senang. Semuanya kembali seperti semula, hampa dan kosong menemani. Sepi.

Jantungku berdegup tanpa gairah hidup. Sang manusia tanpa ekspresi ini, bukankah sama halnya dengan benda mati? Hampa dan suram. Aku tidak ada bedanya dengan makhluk - makhluk berwajah pucat itu. Mungkin lebih baik, aku bergabung saja ke dalam dunia mereka. Kemudian tanpa sadar, bibirku mengukir senyum, tidak, ini sama sekali tidak baik. Ini senyuman miris.

Rasa putus asa ini semakin menguasaiku. Sekarang aku mulai berjalan dengan tatapan kosong. Tidak tahu lagi harus pergi ke arah mana karena pada dasarnya kepalaku sudah tidak ingin memikirkan apapun lagi. Kenapa aku harus terlahir...?

"Aku yakin kau butuh aku.." terdengar bisikan yang sama seperti sebelumnya.

"Aku akan membantumu jika kau mau."

Lalu tanpa pikir panjang, aku menganggukan kepalaku. Pertanda aku menyetujui bantuannya.

🍰

Choco PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang