Bab Satu

875 76 23
                                    

Namaku Pie. Hanya Pie. Hari ini, Senin, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di sebuah bangunan yang orang - orang sebut dengan 'SMA'. Orang tuaku bilang, aku akan menemukan kebahagiaan disini. Mereka bilang bangunan yang bernama 'SMA' ini akan menjadi rumah kedua bagiku. Cih. Dasar pembohong. Hanya dengan membuka mata saja aku sudah tahu kalau hidupku akan sama seperti sebelumnya. Hampa dan kosong.

Iris mata hitamku asyik menelusuri area sekitar. Memandangi mereka yang bahagia atas seragam putih abu bodoh yang berhasil mereka dapatkan. Dan diantara mereka, terselip wajah - wajah putih pucat yang muram. Mereka meronta minta dibebaskan. Berharap ada seseorang yang mampu mendengarkan keluh kesah mereka. Namun apa daya, tangisan dan jeritan mereka teredam oleh suara gelak tawa para murid baru.

Tak ada yang peduli. Bahkan kalau ada yang bisa melihat dan mendengar mereka sekalipun, aku bertaruh, orang itu tidak akan mau ikut campur. Orang itu hanya akan sekedar melihat lalu berlalu begitu saja seakan ia tidak melihat apapun. Jika kau bertanya apa bukti dari ocehanku, maka jawabannya adalah aku buktinya.

Pribadi yang selalu sendirian dan terkenal dengan kemisteriusannya itu, dijauhi karena mata kutukannya. Gosip itu menyebar dengan cepat bagaikan roket yang melesat di angkasa sana. Bosan dan selalu sendirian, itulah aku di masa 'SMA' ini. Aku duduk di bangku paling belakang sambil sesekali menggambar coretan pensil yang tak beraturan di belakang buku catatanku.

"Hei~" bisik anak kecil yang mengambang di sebelahku. Namun seperti biasa, aku tidak menggubrisnya. Manusia saja aku tidak peduli, apalagi makhluk yang bukan manusia? Apa anak itu tidak paham?

"Apa kau bisa melihat kami?" tanya anak itu pelan dan lesu.

SRET.

Aku buru - buru bangkit dari bangku dan berjalan menuju kantin. Anak kecil mengambang itu membuatku lapar. Menyebalkan sekali. Padahal aku sangat malas untuk pergi ke tempat yang bernama 'Kantin'. Selain banyak orang, hal yang paling aku benci disana adalah pasangan - pasangan sok romantis yang sudah pasti tidak lama lagi akan putus. Ha! Bodoh sekali mereka, mempertahankan hubungan yang sia - sia. Membuang waktu saja.

Aku berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi oleh para murid. Mereka berlalu - lalang tak tentu arah. Tidak jarang ada orang yang menyenggol bahuku tanpa minta maaf setelahnya. Ya ampun, dimana tata krama orang - orang itu, sih? Memperhatikan mereka membuat kepalaku berdenyut - denyut.

Di tengah suasana menyebalkan itu, seketika mataku menangkap sebuah sosok wanita diantara para murid. Rambutnya panjang sepinggang. Tatapan matanya sayu dan terdapat kantung hitam disana. Ia mengenakan seragam sekolah yang sama sepertiku tapi seragam yang ia pakai nampak lebih kuno.

Aku segera memutar bola mataku ke arah lain. Berusaha pura - pura tidak melihatnya dan kembali berjalan dengan langkah yang lebih cepat.

Sesampainya di kantin, aku memesan sepiring nasi goreng lengkap dengan teh manis. Setelah mendapatkan pesanan yang aku mau, aku segera memilih tempat duduk di pojok belakang kantin. Masa bodoh dengan mencoba bergaul. Pada akhirnya orang - orang itu akan menjauhiku sama seperti orang - orang sebelumnya.

"Hai." seorang anak lelaki duduk berhadapan denganku. Ia nyengir kuda melihat aku yang sedang makan.

"Apa kau makhluk halus?" tanyaku datar.

Mendengar pertanyaan anehku, alisnya langsung bertaut. Kemudian ia bertanya lagi "Apa maksudmu?"

"Apa kau makhluk halus?" aku mengulang pertanyaanku dengan suara yang sama datarnya dengan sebelumnya.

Tiba - tiba saja, anak itu tertawa. Suara tawanya yang membelah udara membuat telingaku sakit. Jika aku harus memilih, aku lebih memilih untuk mendengar suara - suara jeritan dan tangisan mereka dibandingkan dengan suara tawa anak nyasar ini.

Masih dengan tatapan datar, aku kembali menanyakan hal yang sama. Lalu kali ini anak itu menjawab "Aku bukan makhluk halus, tapi aku Choco."

🍰

Choco PieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang