Beautiful Destiny - chapter 5

Start from the beginning
                                    

Jenna membalikkan badannya menyetop sebuah taksi yang melintas dan masuk kedalamnya. Meninggalkan Andrew yang hanya bisa terdiam di tempatnya berdiri.

***

"Ma, sepertinya aku akan pulang saja ke Jakarta. Masih ada flight terakhir malam ini."

Jenna mengepit ponselnya diantara bahu dan telinganya. Tangannya sibuk merapikan baju-baju yang berserakan di tempat tidurnya. Hatinya bergemuruh, kemarahan sudah tidak bisa lagi di pendamnya. Andrew terlihat menyebalkan jika sudah dalam mode menasihati Jenna tentang masa lalu. Memang apa yang dia tahu tentang melupakan masa lalu yang kelam, bahkan mama Jenna pun tidak mampu membujuknya.

"Besok malam mama akan pulang. Sabar dulu ya Jen..memang kamu ada masalah apa sampai buru-buru mau pulang?"

Jenna menghembuskan nafasnya, dia tahu bercerita dengan mamanya soal pertengkarannya dengan Andrew tidak akan membantu. Mamanya pasti akan membela Andrew karena yang di katakan pria itu persis seperti yang dikatakan mama padanya dulu..

"Tidak ada ma..berjanjilah padaku besok malam mama akan pulang.."

"Tentu saja. Tunggu ya nak. Mama menyayangimu.."

Jenna menyudahi pembicaraannya di telephone dengan mamanya. Koper yang sudah rapih di atas tempat tidurnya, dimasukkan lagi ke dalam lemari. Entah mengapa setelah puluhan tahun menyimpan dendam dan benci terhadap ayahnya, Jenna merasa ragu sekarang. Matanya menerawang menatap langit-langit kamarnya. Kejadian itu sudah berlangsung bertahun-tahun yang lalu, tapi bagaimana bisa ia melupakannya jika baginya itu terasa baru terjadi kemarin.

Andaikan ia punya keluarga yang bahagia. Ayah yang menyayanginya. Tentu ia tidak akan merasa kesepian seperti sekarang. Menjauh dari teman-teman dan menghindari setiap pria yang mendekatinya. Bukankah itu menyakitkan? Tidak ada lagi di dunia ini yang bisa mengalahkan sakitnya kesepian. Tidak ada orang yang bisa kau bagi tentang suka dan duka. Dan sebenarnya Jenna tidak ingin seperti ini. Dia ingin seseorang. Dia butuh seseorang unuk berbagi dengannya. Jenna mulai terisak, dan isakannya terdengar makin keras.

***

Andrew baru saja pulang dan berniat akan meminta maaf pada Jenna. Dia baru dua hari mengenal gadis itu namun sudah melukai perasaannya dua kali. Pertama, saat masalah kamar. Sekarang memang Andrew masih menempati kamar milik Jenna dan tampaknya Jenna juga tidak keberatan dan minta bertukar kamar. Yang kedua, saat tadi ketika dirinya kesal melihat wanita itu lagi dan lagi melamun. Dia tidak suka ketika wajah cantik Jenna dipenuhi kesuraman karena mengingat ayahnya yang brengsek itu.

Ketika sampai di depan kamarnya, Andrew baru akan mengetuk pintu dan memanggil nama Jenna namun dia terdiam, terpaku dan membisu. Di dengarnya suara isakan tangis dari dalam, isakan yang memilukan hatinya. Jenna menangis. Pria macam apa dia sudah membuat calon adik perempuannya menjadi menangis sedemikian sedih seperti itu.

Saat itu juga Andrew tahu, bahwa luka dan trauma yang dialami Jenna bukanlah hal kecil. Jenna tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Namun terjebak dalam ketakutannya untuk melepas baying-bayang ayahnya. Andrew mendorong pintu perlahan, Jenna tidak mengunci pintunya. Betapa sakitnya hati Andrew ketika melihat Jenna meringkuk seperti janin sambil terisak-isak.

Andrew duduk di samping tempat tidurnya, Jenna terkejut dengan kedatangan Andrew di kamarnya namun tidak mengusirnya. Matanya sembab dan hidungnya merah. Andrew hanya tersenyum tipis.

"Apakah kau selalu seperti ini? Mencoba menyembunyikan sendiri kesedihanmu?"

"Apakah jika orang lain tahu mereka bisa membantu?" Jenna menjawab sambil terisak.

"Ya..aku berjanji akan membantumu menyembuhkan segala trauma dan ketakutanmu. Asal kau mau sedikit terbuka padaku.." Andrew menatapnya tulus. "Aku minta maaf", lanjutnya lagi.

Jenna menggeleng, "Aku yang terlalu kekanak-kanakan..mudah emosi dan pergi begitu saja dari masalah. Aku sangat kacau dalam menangani emosiku.."

"Sudahlah..jangan bersedih, aku belikan kau makanan tadi. Ayo kita makan dulu." Andrew menarik tangan Jenna yang terasa mungil dalam genggamannya.

Jenna ingin menolak, melepaskan tangannya dan pergi. Namun sebaliknya, ia malah mengikuti langkah lebar Andrew. Pria yang menyebalkan ini sudah mengalahkan begitu banyak egonya untuk meminta maaf dan membelikannya makanan. Mungkin kata-kata Andrew benar, tidak semua pria berkelakuan seperti ayahnya.

-----------------------------------------

haaaai...

malem ini aku posting 2 chapter. smoga pada suka ya ama ceritanya andrew dan jenna.

jgn lupa vote dan commentnya..

mampir juga di cerita saya lainnya

* Abi-Gwen di Friendship With(out) Love

* Alaric-Sandra di Stick With You

trimikisi..

love,

Vy

Beautiful DestinyWhere stories live. Discover now