Chapter 8 - Numb

133K 5.8K 67
                                    

Chapter Eight – Numb

 

Aku keluar dari kamarku dengan frustasi. Aku tidak tidur semalaman karena memikirkan Ben. Bagaimana mungkin laki-laki itu mengambil alih pikiranku? Setiap kali aku hendak tertidur, dan pikiranku mulai kosong, pertanyaan-pertanyaan bodoh mulai menyelinap masuk pikiranku dengan mulus. What if… what if…

Kata-kata itu terputar berulang-ulang didalam pikiranku.

Bagaimana kalau aku membiarkan Ben menciumku? Apakah aku sadar seratus persen ketika menolaknya untuk menciumku? Tapi... Itu terlalu cepat kan? Kita bahkan baru berkenalan seminggu. And I’m not that slutty! Dan aku punya pacar! Dan aku bekerja untuk mengasuh anaknya, dan aku harus bersikap profesional! And the list goes on. Ada banyak sekali alasan kenapa aku menolak ciuman Benjamin Parker, tetapi aku merasa bersalah karena menolaknya.

It feels so annoying!

Lily menatapku bingung ketika aku berdiri didepan pintu kamarku, bermain dengan pikiranku sendiri. Dia sedang membaca buku pelajaran. Aku memutar mata pelan. Kalau tidak memasak, membersihkan rumah, dia akan belajar. Lily sudah seratus persen siap dijadikan ibu rumah tangga.

“Kau bangun lebih pagi?” tanyanya padaku, menutup bukunya. “Aku belum membuatkan sarapan untuk kita. Dan ada apa dengan matamu? Kau nggak tidur semalaman?” Apakah kantung mata sialan itu terlihat begitu jelas?

Stop talking,” gerutuku pelan, memijat dahiku yang terasa sakit. “Kepalaku pusing hanya dengan mendengarkan pertanyaanmu.”

Tubuhku lelah, namun pikiranku jauh lebih lelah. Bayangkan saya pikiranku bekerja ekstra karena semalaman aku tidak bisa tertidur memikirkan Ben dan aksinya semalam. Oke. Jadi bagaimana aku akan menghadapi Ben pagi ini? Apa yang akan dia lakukan ketika melihatku pagi ini muncul didalam rumahnya?

Apakah dia akan meminta maaf padaku? No. Dia sudah meminta maaf padaku, dan aku malah merasa makin bersalah ketika dia mengatakan itu. Aku tidak berharap dia meminta maaf padaku lagi. Apakah dia akan tetap menjadi Ben yang lucu dengan selera humor yang tinggi, dan menganggap kejadian itu tidak pernah terjadi? Aku menyilangkan jariku, kemungkinan itu yang paling kuinginkan. TAPI BAGAIMANA KALAU DIA MENGHINDARIKU KARENA AKU MENOLAKNYA? Pikiran ini. Pikiran ini yang menghantuiku semalaman, membuatku resah. Bagaimana kalau dia melakukan itu?

Aku memukul meja bar yang berada dihadapanku, membuatku mengerang kesakitan dan memegang tanganku yang memerah. Kapan aku sampai dimeja bar? God… aku sendiri tidak sadar kapan aku sampai kemeja bar dirumahku sendiri. Aku menggeleng pelan.

 “Aku akan memanaskan chicken soup yang kubuat kemarin malam untukmu,” ujar Lily pelan yang sudah berada didapur sekarang. Dia mengeluarkan panci berisi sup dan memanaskannya. Dia duduk diseberangku, menatapku khawatir. “Ada masalah apa, G?” tanyanya, memegang tanganku lembut.

“Sir Parker…” Aku berpikir sejenak, apakah aku harus memberitahunya? “Dia hendak menciumku kemarin, tetapi aku menolaknya.” Aku menggigit bibirku pelan, menunggu reaksinya. Lily mengangguk pelan, menyetujui tindakanku. Aku menghela nafas lega. “Aku takut dia akan berubah karena tindakanku itu.”

“Tindakanmu benar, G. Kau sudah punya pacar, dan baru berapa hari kalian saling berkenalan?” tanyanya pelan. “Pasti belum seminggu. Kau bukan cewek gampangan seperti itu. Kalau dia berubah karena penolakanmu kemarin, mungkin dia butuh waktu untuk memrosesnya,” jawabnya, tersenyum tipis berusaha meyakinkanku.

Aku mengangguk pelan, bersyukur ada orang seperti Lily yang bisa berpikir rasional. “Thanks for the help. Tapi yang beritahu Sierra tentang hal ini. Aku yakin dia bakal freaked out kalau mendengarnya.”

I will.” Dia membalas senyumanku.[]

 

Aku sampai didepan pintu penthouse Ben. Aku membuka pintunya dengan kartu masukku, dan berteriak sesemangat mungkin ‘Selamat pagi!’, berusaha mengecamkan dalam pikiranku kalau semuanya baik-baik saja.

Beberapa saat kemudian, Ben keluar dari kamarnya dengan pakaian lengkap dan tas kerja. Dia sudah siap pergi kekantor. Dia menatapku beberapa saat, dan aku hanya dapat membalas tatapannya, tidak bisa berbicara.

Hei, Ben. Kau berangkat kekampus sekarang?” tanyaku sambil melambaikan tanganku padanya, berusaha terlihat senormal mungkin.

“Yeah. Aku harus pergi sekarang,” jawabnya sambil mengeratkan pegangan tangannya pada tas kerjanya. Dia maju beberapa langkah, lalu mengamati wajahku, dan dahinya mengerut menatapku. “Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya dengan wajah cemas.

Aku tersenyum tipis padanya. “Insomnia,” jawabku acak. “Thanks buat perhatiannya,” kataku pelan, bersyukur dia tidak menjadi manusia yang tidak peduli padaku.

Dia berdehem beberapa saat, lalu wajahnya menjadi datar. “Aku pergi dulu. Hari ini aku akan pulang malam karena ada pekerjaan tambahan. Jaga Savy baik-baik.” Dia menatapku, lalu segera beranjak pergi.

Aku memegang lengannya sebelum dia menghilang. Aku harus meluruskan semuanya pada Ben. Dia memutar tubuhnya menatapku, dan pandangan datar itu mengunci mataku. Aku tidak bisa berkutik beberapa saat. Aura dingin itu terpancar dari dirinya. Aku bisa melihat Benjamin Parker yang pertama kali kutemui sekarang. Ben yang diam dan dingin. Aku menggigit bibirku, berharap dia tidak akan menjadi orang itu lagi.

“Aku minta maaf-“

Don’t.” Ben mengentikan perkataanku. “Tidak terjadi apapun diantara kita, Georgia. Yesterday was my mistake and I suck it up. Sorry kalau aku menganggumu. Aku harus pergi sekarang karena pekerjaan menungguku.” Aku mengharapkan sebuah senyuman menenangkan akan diberikan padanya padaku, namun wajahnya tetap datar hingga akhirnya dia meninggalkanku, tanpa mendengarkan sepatah katapun dariku.

Mungkin dia butuh waktu, pikirku berusaha menenangkan diriku.

Tapi aku tahu sifatnya kembali menjadi sifat Ben yang pertama kali kukenal. Diam dan dingin. Tanpa basa-basi. Bahkan kurasa kali ini lebih parah. Aku menghela nafas panjang. Seandainya saja aku tidak menolaknya waktu itu. Apakah dia tetap seperti ini? Tapi kau masih punya pacar, Georgia! Tapi tidakkah kau punya suatu perasaan padanya? What? What feeling? Don’t be so ridiculous. Aku memukul kepalaku sendiri, berusaha menghentikan perdebatan dalam pikiranku.

“Tidak ada gunanya juga, kan?” gumamku pelan.

Aku melangkahkan kakiku dengan malas kekamar Ben yang sudah rapi, melihat Savy yang duduk dikeranjangnya. “Hai, Savy.” Aku menyapanya pelan, membelai lembut kepalanya. Setelah itu aku mengangkatnya, membuat matanya sejajar dengan mataku.

What should we do today?” tanyaku padanya, tersenyum tipis. “What should I do?” Aku menerawang jauh, melihat keindahan pemandangan New York dibalik jendela kamar Ben. “What should I do now?

Entah perasaan apa ini. But I feel numb.[]

Guys, menurut kalian kenapa benjamin parker berakting dingin dan diam lagi sama georgia? give me your comment below! I hope u enjoy this chapter as well, okay? everything's gonna be okayyy. please vote and comment ;)

Single Daddy's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang