Chapter 9 - The Last Time

151K 6K 73
                                    

Chapter Nine – The Last Time

 

Suara pelayan itu membuyarkan lamunanku dan Austin. Aku mengangkat wajahku, melihat karyawan perempuan yang dengan canggung membawa dua buah minuman yang kita pesan tadi. Aku tersenyum tipis padanya, mempersilahkannya untuk menaruh minuman kita berdua diatas meja.

Aku menutup buku Sastra Inggrisku dan melihat Austin yang masih asyik dengan ponselnya, sambil sesekali terkekeh pelan. Aku menatapnya beberapa saat, hinga akhirnya dia melihatku.

What?” tanyanya pelan, sambil menyeruput oreo milk yang dia pesan tadi, lalu kembali dengan ponselnya. “Kau sibuk dengan pelajaranmu dan aku sibuk dengan ponselku. Apa itu salah?” tanyanya.

Not at all,” jawabku sarkastik, lalu membuka bukuku dengan kasar. Aku membaca beberapa kalimat, dan pikiran tentang Ben mulai terselip memasuki kepalaku. Ugh. Aku menutup bukuku sebal. Sudah satu minggu sejak kejadian di restaurant itu, tetapi dia masih belum mau berbicara denganku. Aku sungguh sebal dan kecewa dan marah… pada diriku sendiri. Aku menggigit bibirku sendiri. Tidak seharusnya aku marah pada diriku sendiri kan? Seharusnya aku marah pada Ben karena dia yang tidak menganggapku.

Austin tertawa sekali lagi, membuatku makin sebal. Aku merebut ponsel Austin darinya, dan dia mengerang protes. Aku membuka ponselnya itu, dan melihat pesan yang dia kirim pada dua teman baiknya itu. Tyler dan Calvin. Aku mendesah panjang. Bagaimana Austin bisa bergaul dengan dua orang seperti mereka yang reputasinya hampir sama saja dengan Thomas Hamilton, manwhore.

“Hei, G. Kau terlihat sangat frustasi,” katanya, sambil merebut ponselnya kembali dari tanganku. Dia tidak menunggu jawabanku, namun segera bermain dengan ponselnya lagi.

Aku menggerutu kesal. “Aku takut tidak lulus ujian Sastra Inggris!” jawabku cepat. “Aku takut Sir Parker tidak meluluskanku,” tambahku pelan. Yeah, dia menghindariku dan kemungkinan besar dia membenciku. Bukankah itu mungkin dia tidak meluluskanku untuk balas dendam? Perasaan itu membuatku makin frustasi.

“Majikanmu yang gay itu?” tanyanya pelan, melempar ponselnya keatas meja dan menatapku dengan tertarik.

“Uhm, yeah…” Aku lupa Austin masih mengira kalau Ben adalah gay. Aku tidak ingin memberitahunya yang sesungguhnya kalau Ben itu normal, karena Austin akan sangat marah dan cemburu, bisa-bisa dia menyuruhku keluar dari pekerjaanku ini. Apalagi kalau dia tahu aku dan Ben hampir berciuman…

“Kau sangat suka berpikir belakangan ini,” ujar Austin. “Kita sudah tidak bertemu dua minggu, G. Kenapa kau tidak bersifat manja atau kangen padaku?” Dia menyeringai lebar, menatapku.

“Kau tahu aku bukan tipe cewek manja seperti itu, Austin.”

Aku menatapnya kesal. Tetapi aku memang menyadari perilakuku ini. Biasanya, ketika kita tidak bertemu cukup lama, aku akan langsung merangkulnya dengan erat, seolah-olah tidak ingin meninggalkannya. Setelah itu kita akan bermesraan dan membicarakan semua hal. Tetapi hal itu sama sekali tidak terjadi. Aku sibuk dengan pelajaranku dan frustasi tentang ujian akhir Sastra Inggris, sedangkan Austin asyik dengan ponselnya.

“Yeah,” jawabnya pelan, lalu kembali bermain dengan ponselnya.

Aku menatapnya curiga. Biasanya dia marah padaku kalau aku mengatakan itu, dan mulai menyerangku. Tetapi tidak dengan hari ini. Lagian tidak seperti biasanya dia seperti ini. Kita akan bertemu, paling lama seminggu sekali, dan biasanya Austin yang selalu menelponku untuk bertemu. Dia biasanya sangat kesal kalau kita tidak bertemu lebih dari seminggu, dan marah padaku diawal kencan kita. Tapi tidak hari ini. Hari ini aku yang mengajaknya untuk pergi, dan dia tidak marah sama sekali padaku, seakan-akan itu normal.

Single Daddy's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang