Pertanyaan itu masuk ke telinga Khanza tepat ketika bibirnya menyentuh ujung cangkir. Ia menyesap teh hangat itu pelan, membiarkan perut dan pikirannya tenang.

"Kamu sudah enggak suka kopi lagi?"

Khanza tersenyum kecut, "Enggak, kopi bikin lambungku rusak."

Jawaban itu menuai protes dari kakak laki-lakinya, "Kamu yang berlebihan minum kopinya. Makanya jangan berlebihan, tahu sendiri kalau berlebihan itu enggak baik."

Gadis itu menganggukkan kepala singkat sebagai jawaban. Ia kembali menyesap tehnya ketika sang kakak mendudukkan diri di sebelahnya.

"Kamu abis ketemu sama Madan, ya, Dik?"

Khanza diam-diam melirik, "Tahu dari mana?"

"Grup kelas." Pria itu berujar seraya menyengir masam, "Masih sakit, ya?"

Khanza tidak tahu harus menjawab apa. Beberapa orang terlalu sering menanyakan pertanyaan itu meski empat tahun telah berlalu. Ia sendiri yakin kalau perasaannya sudah berubah, berganti haluan. Tapi ia tidak menampik kalau pertemuannya dengan Madan dua hari lalu menimbulkan satu perasaan aneh di dadanya.

Oh, Khanza meyakinkan dirinya kalau itu bukan pertanda cinta.

Maka, alih-alih menjawab, gadis itu meletakkan cangkir dan beranjak. "Mobil aku pake, ya, Kak. Aku mau pergi bentar."

Memaklumi, sang kakak hanya menjawabnya dengan sahutan singkat.

] [

Angin sejuk menerbangkan anak rambut Khanza, memaksa wanita itu untuk berkali-kali mengapitkan rambut ke telinga.

Ia mengaduh pada awalnya, menyesali keteledorannya karena tidak membawa jaket. Udara malam disini benar-benar dingin, beda dengan Kota Malang yang bahkan masih sanggup membuatnya berkeringat.

Dari tempat dia duduk saat ini, Khanza dapat mengamati kerlip cahaya yang tercipta dari ribuan rumah di bawah sana. Cahayanya gemerlap, namun tidak seangkuh cahaya malam ibukota.

Dari sini pula, Khanza dapat melihat awan yang menggelap diatasnya. Bintang-bintang bertaburan mengelilingi satu bulan yang bersinar teramat terang.

Khanza menghela napas. Menyadari bahwa dirinya bisa menjadi pujangga jika duduk terlalu lama disini.

Maka, setelah satu jam berada disana dan menghabiskan secangkir teh hangat, ia mulai beranjak dan mengemasi barang-barangnya di meja.

Sebelum kemudian sesosok pria itu muncul dan menahan lengannya.

] [

Mata mereka bertaut, saling menatap lurus, menelisik eskpresi yang nampak pada wajah di hadapannya.

Orang bilang, kafein dapat menenangkan pikiran. Tapi berkali-kalipun mereka menyesap kopi dan teh di hadapan mereka, tidak ada satupun ketenangan menyusup ke kepala mereka.

Mereka sibuk berbicara, dengan dirinya sendiri.

Mereka sibuk menduga, bermonolog dengan pikirannya sendiri.

"Sejak kapan kamu suka teh?"

Suara itu memecah keheningan panjang diantara mereka, membuat Khanza secara bergantian menatap pada secangkir teh dan pria di depannya.

"Sejak empat tahun lalu." Khanza menjawab singkat.

Madan mengangkat satu alisnya, "Kenapa berhenti minum kopi?"

Wanita di hadapan Madan itu menjerit dalam batinnya.

Khanza mengingat dirinya sebagai maniak kopi sejak bertahun-tahun lalu, dan kopi hitam menjadi salah satu favoritnya. Lalu semenjak pria di hadapannya ini datang ke hidupnya, Khanza mulai menularkan kebiasaan itu pada Madan. Membuat Madan menyukai kopi meski kemudian tak berakhir menjadi maniak seperti dirinya.

NTdTK: Menemu KamuWhere stories live. Discover now