Chapter 6: Eiffel Tower

Start from the beginning
                                        

Aku mengangguk dan kembali menatap menara Eiffel yang menjulang tinggi ke langit.

Udara Paris malam ini sangat dingin. Angin berhembus kencang dan hidungku seperti hampir membeku karena dinginnya kota ini.

"Dinginnya." Aku menggosok kedua telapak tanganku dan sedikit kurasakan rasa hangat menyelimutiku.

Dio melepas jaketnya dan memberikannya padaku saat ini. Ia mengulurkan jaketnya itu kepadaku, aku menatapnya bingung.

"Udara musim gugur bisa bikin lo sakit." Katanya dengan nada yang sangat lembut. Aku merasakan seperti ada ratusan kupu-kupu berada di perutku saat ini.

"Lo ga pake?"

"Gue ga kedinginan. Pake aja."

Aku mengambil jaketnya dari tangannya. Jaket itu langsung kupakai dan ini terasa hangat sekali. Aku mencium aroma Dio dari jaketnya- ah, aroma yang sangat menenangkan. Aku tidak tau ini aroma apa tapi ini seperti bau kekayuan dan mint dan jeruk? Aku tidak tau. Tapi wangi ini sangat membuatku nyaman dan hangat.

Tiba-tiba terdengar suara dering telpon yang berasal dari ponselku. Aku mengambil ponselku yang ada di tas dan melihat siapa yang menelponku malam-malam.

Ternyata itu video call dari Mika, adikku. Mengapa ia menelponku malam-malam?

Aku menekan tombol answer dan memposisikan ponselku didepan wajahku. Terlihat Mika yang saat ini ada di ruang makan dan memakan biskuit.

"Hey kak! Pasti bingung kan aku telpon malem-malem."

Mika tertawa diujung sana.

"Lumayan ga bingung banget. Kenapa mik?"

"Mama mau ngomong nih. Kangen katanya. Padahal baru berapa lama sih kakak disa- eh kak, kakak sama siapa?"

Aku menoleh kearah Dio dan sedikit bergeser. Aku lupa jika sedang bersama Dio dan aku memiringkan ponselku tadi. Sebuah kesalahan.

"Eh apa sih mik. Ma-mana mama?" Tanyaku dengan nada gugup.

Mika berteriak dan lari menuju kamar mama, ia terlihat senang. "'Maaa! Paaa! Kak Carissa udah punya pacar! Dia lagi jalan bareng ini. Mana kak mana tunjukin ke mama sama papa."

Aku menghela napas dan menatap layar ponselku, "Mika bohong ma."

Sekarang wajah papa dan mama memenuhi layar ponselku.

"Mana mama sama papa mau liat pacarmu. Sini mana tunjukin."

Dio tertawa dan aku menunjukkan kepada mama dan papa Dio yang sedang berdiri di sebelahku.

"Bukan pacarku ini. Namanya Dio tapi sekali lagi bukan pacarku."

Setelah berbincang beberapa saat aku mematikan sambungan teleponku. Dan menatap Dio, "Sorry ya emang adik gue gitu orangnya."

Dia mengangkat bahunya dan tersenyum. "Gapapa kok. Seneng liatnya, keluarga lo rame."

Hari ini aku melihat Dio banyak tersenyum dan aku menyukai hal itu. Ia terlihat bebas. Aku melirik jam tangan yang ada di pergelangan tanganku, ah, sudah jam 9.

"Udah jam 9 nih. Pulang yuk." Ajakku padanya. Tak sengaja aku menyentuh dan menggandeng tangannya. Aku menarik rangan reflek dan tidak menyadarinya.

Aku menatap tanganku yang saat ini memegang tangannya dan melepaskannya. Aku berdeham pelan dan menatap bawah. Shit! Bodohnya aku. Kenapa aku ceroboh sekali.

Aku meliriknya takut-takut dan kulihat dia menatap kedalam mataku.

"Ayo gue anter pulang."

Kami berjalan beriringan menuju mobil p dan masuk. Hari yang sangat menyenangkan.

Tidak ada yang berbicara ketika kami berada di mobil. Aku merasa sedikit canggung. Kurasa aku harus memulai pembicaraan,

"Dio."

"Car."

Aku dan Dio tertawa karena secara tidak sengaja kami berbicara dalam waktu yang sama. Aku tersenyum dan menatapnya,

"Ladies first." Dio terkekeh pelan.

"Lo udah lama tinggal di Paris?" Tanyaku penasaran padanya.

"Kuliah ini sih. Tapi dulu gue udah beberapa kali pergi kesini." Dia menjelaskan itu dengan santai.

"Terus lo tinggal dimana?"

"Gue ada apartemen, di distrik 16. Oiya, lo tinggal dimana?" Tanyanya sambil melirikku sekilas.

"Distrik 16 juga. Gue seapartemen sama temen gue. Rosebay." Ia mengangguk mengerti.

Setelah perjalanan beberapa saat, kami sampai didepan apartemenku. Apartemenku bukan apartemen mewah, hanya apartemen sederhana dan minimalis yang sama sekali tidak tampak mewah dari bangunannya.

Aku merapikan barang-barangku dan memastikan tidak ada yang jatuh di mobil Dio. Aku menatapnya dan tersenyum,

"Makasih ya jalan-jalannya hari ini. Gue seneng banget. Gue gatau harus bilang gimana makasihnya sama lo."

Dia tekekeh pelan dan mengangguk. Sekarang ia tersenyum lembut padaku. Aku merasakan jantungku berdetak sangat cepat jauh dari kata normal.

"Makasih ya car. I had fun."

Aku tersentak mendengar ucapannya. Benarkah? Ia juga merasakan hal yang sama kaya gue?

"Sama-sama kok."

Dio menatap mataku dalam-dalam. Aku merasa gugup dan mengalihkan pandanganku kebawah. Aku tidak tau siapa yang memulai, namun wajah kami sudah saling berdekatan.

Hidung kami mulai bersentuhan. Aku dan Dio saling terbawa suasana dan tidak menyadari keadaan sekitar.

Aku tersentak mendengar suara klakson mobil yang tepat dibelakang mobil Dio saat ini. Shit! Apa yang telah kulakukan.

Aku merasa canggung sekali saat ini dan tidak berani menatapnya. Jantungku berdetak seperti lari 5km jauhnya. Ini gila! Aku hampir saja berciuman dengan Dio.

"Makasih ya aku turun dulu. Safe drive." Kataku dengan cepat. Aku benar benar salah tingkah dan canggung dengan situasi saat ini.

Ia mengangguk dan membiarkanku turun.

Aku naik menuju apartemenku dan sesampainya disana, aku masuk kedalam kamarku dan menjatuhkan diri diatas kasurku. Aku menutupi wajahku dengan bantal dan melepaskannya.

Aku baru menyadari bahwa aku masih memakai jaket milik Dio. Aku terus menghirup aroma Dio yang menempel di jaketnya. Entah mengapa aku sangat menyukai aromanya. Aku tidak bisa berhenti tersenyum saat ini, ada apa denganku?

God, apakah aku jatuh cinta padanya?

***

TBC

Eiffel, I'm in LoveWhere stories live. Discover now