Mereka Panggil Aku Psikopat

Start from the beginning
                                    

Dia sangat perhatian dan pengertian. Lagipula, darimana dia tau namaku? Senang sekali. Rasanya seperti mimpi dia mengenali nama dan masih mengingat wajahku.

"Makasih udah nolong, Kak Revaldo."

"Aldo aja." Dia tersenyum kecil. Membuatku mendongak lalu tersipu. "Nyebut Revaldo itu pasti susah sama kepanjangan, 'kan?"

"Boleh?"

"Boleh dong. Gue seneng dipanggil akrab sama adik kelas yang manis kayak gini." Dia menepuk puncak kepalaku. Aku kian bersemu.

"Oh, Aldo mainnya sama adik kelas sekarang? Yang dideketin cewek freak lagi." Salah satu temannya yang lewat mengejek sambil terbahak. Aku menatap cowok itu sesaat, kemudian menunduk lagi.

Kalau kami digosipkan, Kak Aldo pasti dipandang buruk, 'kan? Lagipula sejak awal kami memang tidak sejajar. Aku harus memperbaiki nama baiknya.

"Bukan, Kak. Saya cuma-"

"Key lo gak perlu jelasin apapun." Aldo memotong tegas. Dia menatap temannya tajam. "Mulut lo bisa sopanan dikit? Key cewek loh."

"Dia emang freak kok. Sinting." Dia menggerakkan telunjuk di depan kening. "hati-hati deh. Tiap yang deketan sama dia, pasti tiba-tiba ilang."

Aku mengepalkan kedua tangan sedih. "Kak Aldo, gak bakalan ilang kok."

"Gak usah lo dengerin omongan dia, Key." Aldo menepuki pundakku. "Terus lo, mendingan pergi sebelum gue marah."

"Terserah!" cowok itu berlalu pergi.

Aku merapikan tasku, kemudian mendongak dan tersenyum kikuk, "Maaf, Kak. Udah bikin Kak Aldo kena masalah. Kak Aldo pasti dipandang buruk kalo deket-deket sama saya."

"Jangan ditanggepin. Gue yang mutusin sama siapa mau deket? Persetan sama tanggapan orang." Aldo mengulum senyuman. "Lain kali kalo mau ngobrol gak perlu ngumpet. Gue gak makan orang kok. Gue ada kelas, duluan, ya."

Aku mengangguk dan menyentuh kepalaku yang tadi disentuhnya. Masih terasa hangat. Tangan Aldo benar-benar besar dan hangat.

Orang baik. Tidak memedulikan reputasinya yang bisa saja hancur kalau berdekatan denganku, dia tetap memperlakukanku sama baiknya dengan teman-temannya yang lain.

Suatu hari nanti, aku juga mau jadi orang baik seperti Aldo.

***

Rasanya aku tidak mau mencuci rambut. Bersenandung di toilet, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Tidak menyangka bisa ngobrol selancar tadi dengan cowok yang kukagumi.

Pintu toilet terbuka. Aku menatap dua orang cewek yang masuk sambil menyorotku bengis. Mengawasi dari pantulan cermin. Aku tidak menghiraukan mereka. Membungkuk, kembali membasuh muka.

Dugh!

"Ukh." Memekik kesakitan. Aku berusaha berdiri saat kran air diputar. Salurannya ditutup. Tangan yang mendorong kepalaku menenggelamkan wajahku di dalam wastafel. Aku berusaha menepis.

Tapi tangan lainnya justru memukul punggungku keras.

Sesak. Aku tidak bisa bernapas.

"Gue denger ada cewek aneh yang jadi stalker Aldo belakangan. Lo, 'kan? Tau diri dong! Lo juga yang ngasih surat cinta sama dia? Zaman udah canggih masih jadul aja kayak tampang lo!"

Aku terbatuk dan mengambil udara banyak-banyak saat dorongan di kepalaku melonggar. Berbalik, kurasakan darah yang merembes menyusuri pelipis kanan. Perih. Tadi terantuk kran keras sekali.

"Itu bukan surat cinta." Aku menggeleng. Sepertinya mereka salah paham. Aku hanya takut Aldo malu kalau mengembalikan uang yang tidak seberapa secara langsung. Itu akan mengurangi kekerenannya. "Saya bayar hutang sama Kak Aldo. Dulu dia nolongin saya."

Mereka Panggil Aku PsikopatWhere stories live. Discover now