IV

479 194 96
                                    


Dua puluh tahun, apa yang bisa kau lakukan di usia dua puluh? Nongkrong sepulang kuliah bersama teman-teman? Seperti mereka yang ada di dalam cafe, tertawa sambil saling melemparkan makanan kering ke wajah teman nya. Atau pacaran? Wah pasti senang kalau punya orang yang menyayangi kita. Tapi, jangan sampai seperti pasangan yang sedang bertengkar di pinggir jalan itu, mereka sampai berteriak seakan di jalan ini hanya ada mereka berdua.
Aku menggelengkan kepala melihat mereka, kemudian aku melanjutkan jalan menuju penyebrangan.
Lampu hijau akhirnya menyala, aku dan beberapa orang menyebrangi jalan raya.

Ponsel ku bergetar, nomor yang tidak dikenal menghubungi ku namun aku tau siapa orang ini. Ia preman bayaran yang selalu menagih hutang kepada keluarga kami, sudah lebih dari 1 tahun tapi tak kunjung lunas. Kami menyicil terlalu kecil dan itu memakan waktu lama.
Aku tidak ingin menginat kisah sedih di sore hari yang cerah ini, cuma saja terkadang terlintas beban yang harus ku tanggung di usia ini. Karena itu aku harus menjadi kuat untuk ku dan untuk Deka adik ku.

Seperti biasa setiap hari jumat sore, aku pergi menuju rumah salah satu murid privat ku. Untung sekali 3 orang murid ku mau belajar di waktu yang sama, aku jadi tidak perlu membuang waktu untuk mengajari hal yang sama di tempat yang berbeda.
Komplek perumahan mewah, hampir 3 kali seminggu aku kesini untuk mengajar, bahkan satpampun sudah tak asing dengan wajah ku dan selalu tersenyum setiap kali aku datang.

"Neng, mau ngajar ya?" sapa pak satpam.

Akupun tersenyum, "Iya pak, mari pak." ujar ku sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan.

Agak sedikit melelahkan rasa nya, karena komplek ini cukup besar. Dari halte bus aku harus berjalan kaki menyebrangi jalan raya dan berjalan lagi menuju komplek ini. Rumah-rumah disini layak nya kastil dan aku selalu memimpikan punya rumah sebesar ini. Bukan, setengah nya saja aku sudah akan sangat bersyukur.

Akhir nya aku sampai di depan rumah nya, pagar kecil di ujung selalu terbuka dan aku biasanya selalu masuk melewati itu.
Pintu nya sedikit terbuka, ah tapi tetap saja aku harus membunyikan bel. Baru saja tangan ku hendak bergerak tiba-tiba aku teringat, "Rambut ku." sontak aku langsung mengikat seluruh rambut panjang ku yang terjuntai rapi menjadi kuncir kuda. Bu Sonata tidak suka melihat rambut ku tergurai, dia tidak memberikan alasan yang tepat, tapi kurasa dia khawatir jika suami nya akan melirik ku. Karena kerap kali suami nya memandang ku dan itu jelas membuat ku tidak nyaman, lelaki sering sekali begitu dan aku tidak suka.

Terdengar dari dalam suara beberapa orang tua yang sedang berbincang, ya itu orang tua dari ketiga murid ku. Mereka bertetangga namun tak pernah telihat ramah dan entah kenapa mereka jadi sangat akrab saat ini. Bu Sonata, bu Namira dan bu Sofi. Para ibu rumah tangga dari suami yang kaya raya pasti nya, lihat setelan pakaian serta perhiasan mereka, benar-benar mewah.

"Iya jeng, anak saya juara 1 di kelas. Dia jadi makin rajin belajar, bangga deh saya." ucap bu Sofi kepada dua orang yang di depan nya.

Ia lalu menyeruput teh dengan perasaan bangga karena bisa mengalahkan lawan nya.
Aku tak bermaksud menguping pembicaraan, hanya saja mereka menyebut nama ku disela pembicaraan mereka dan itu membuat ku penasaran.

"Ah iya jeng, anak saya cuma juara 3 sih. Karena saya juga ga maksa Adriel buat belajar terus, tapi siapa nama guru privat nya. Ah, Bernadetha. Dia juga bagus kok ngajar nya, tapi memang saya gak maksa Aurel, dia suka olahraga jadi saya bolehkan dia fokus ke basket nya." Bu Namira tersenyum canggung di depan mereka, diiringi suara tawa yang seperti nya palsu terdengar.

Namun raut wajah bu Sonata nampak nya tidak senang melihat yang lain berbangga diri. Bagaimana tidak, anak perempuan sematawayang nya tidak memiliki peringkat yang bagus. Ia hanya naik 7 tingkat dari peringkat semester lalu, namun masih berada diluar 10 besar.

WONDERFUL THINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang