Ainlanzer memiliki kemampuan bertarung yang tinggi, daya analisa yang kuat, serta daya tangkap yang cepat. Hal itu membuat alam semesta memberinya banyak ujian. Ditambah dengan kode genetik yang unik, membuatnya terpilih menjadi calon 'Utusan Perdam...
Grief hanya tersenyum lepas. Ia bertekuk lutut sembari membentangkan kedua tangannya.
"Nah, silahkan...." ujar Grief pasrah dengan apa yang akan terjadi.
Melihat hal itu, Agna berlari kencang menghampiri Ain.
Gadis lugu itu memeluk erat Ain, membenamkan wajahnya di dada pemuda itu.
"Jangan! Ain... Jangan... Ain... Jangan... Bunuh... Grief... Jangan... Bunuh... Paman..." Air mata Agna tak terbendung lagi. Ia menangis tersedu-sedu, membasahi baju Ain di bagian dada.
Ain hanya terdiam seribu bahasa.
Kemudian secara perlahan, Ain melepaskan pelukan Agna darinya. Ia mengusap kepala Agna, menatap kedua bola mata gadis polos yang terbasahi oleh air mata itu dalam-dalam seraya berkata pelan, "Agnamelia Lumina, bukan seperti ini sikap seorang anggota pasukan Cerberus."
Ive dan Grief cukup terkejut mendengar Ain yang menyebutkan nama lengkap Agna. Padahal selama ini identitas Agna selalu disembunyikan. Karena pasti akan menimbulkan masalah yang tidak diinginkan kalau Cerberus tahu bahwa Agna memiliki darah keturunan bangsawan Elyosa, Lumina. Mereka juga sengaja mengecat rambut Agna, memberinya alat perubah warna retina untuk menyamarkan wujud fisik Agna yang sebenarnya.
Sebenarnya Ain tidak diberitahu soal nama panjang Agna dari siapapun. Ia hanya menggabungkan ingatannya, juga informasi-informasi yang selama ini ia terima. Dari sanalah analisa tentang Agna tercipta.
Tak lama kemudian, Zaina tiba di sana. Gadis itu menatap tajam ke arah Ain seraya berkata, "Waktunya pergi, Ain."
Ain menatap jauh ke arah Ive yang masih terpaku tidak beranjak dari tempatnya.
Ive seolah memahami maksud dari tatapan Ain. Wanita itu pun menghampiri Agna yang masih meneteskan air matanya di hadapan Ain.
"Ain, apapun keputusanmu, aku harap kau siap menanggung resikonya," ujar Ive sembari menggenggam tangan Agna yang masih menangis tersedu-sedu sambil sedikit meronta. Dengan terpaksa, Ive harus membawa Agna untuk pergi bersama dengan Zaina.
Kiev sudah memposisikan Hecantor, menunggu kedatangan mereka dari tempat ia melubangi Agrrav. Ia siap membawa pergi Agna, Zaina dan Ive menjauh dari Agrrav.
---|<V>|---
Tinggal Ain dan Grief yang tersisa di ruangan itu.
"Dunia membutuhkan seorang pahlawan, Ain. Bunuhlah aku! Jadilah pahlawan bagi mereka. Lalu, bimbing mereka ke arah yang benar," ujar Grief sambil melempar senyuman pada Ain.
Ain hanya terdiam mendengarnya. Menjadi pahlawan bukanlah keinginannya. Tapi kali ini, ia harus mengambil keputusan dengan cepat.
Ada dua pilihan untuknya. Pertama, membunuh Grief, otak dari Abaddon yang menciptakan perang. Orang-orang akan menjadikan dirinya sebagai pahlawan seperti yang dikatakan oleh Grief. Ia juga bisa dengan mudah menjalankan rencananya untuk mengubah Cerberus kalau orang-orang mengakuinya sebagai pahlawan.
Pilihan kedua, adalah membiarkan Grief tetap hidup. Tapi kalau begitu, fokus Cerberus akan tertuju pada pencarian Grief. Cepat atau lambat, Grief akan tertangkap dan dieksekusi mati juga.
"Waktumu tidak banyak, Ain. Cepatlah." Kata-kata Grief membuyarkan lamunan Ain yang masih berusaha menentukan pilihan.
Grief melihat keraguan di hati Ain saat itu. Ia bisa merasakan kegundahan yang tengah dialami oleh Ain. Sebab ia tahu kalau Ain tidak pernah berniat untuk membunuhnya.
Grief memejamkan matanya lalu kembali mengucapkan kalimat yang ia harap, bisa memantapkan hati Ain untuk menentukan pilihan.
"Membunuh satu orang, untuk menyelamatkan jutaan orang. Kau pernah mendengar kalimat itu di Cerberus, bukan?"
Benar, kalimat itu pernah Ain dengar di Cerberus. Ketika ia masih menjadi seorang akademisi, ia pernah diberi penjelasan tentang bagaimana membunuh satu orang dapat menyelamatkan jutaan orang. Ketika 1 jiwa yang mampu mencelakakan jutaan orang, dihapus dari muka bumi untuk meniadakan ancaman.
Ain menghela napasnya, lalu tersenyum lembut sembari menatap Grief yang masih terpejam, bersiap untuk menemui ajalnya.
Keputusan hati Ain sudah mantap. Kalimat itu membantunya menentukan pilihan mana yang akan ia ambil.
"Kau benar, Tuan Grief...."
---|<V>|---
Ragoji yang ditunggangi oleh Ain melesat menjauh dari Agrrav yang mulai terjatuh.
Untuk menghindari kerusakan akibat jatuhnya Agrrav, Ain meminta Ragoji untuk menghancurkan kapal induk Abaddon itu sebelum terjatuh.
Ragoji meraung keras sambil membuka lebar-lebar mulutnya.
Bwoooosh!! Tembakan sinar berwarna kebiruan keluar dari mulut Ragoji, membelah Arrgav menjadi dua bagian, lalu membuat kapal induk itu meledak dengan kekuatan yang besar.
Dalam dongeng, Naga dikenal bisa mengeluarkan api dari mulutnya. Tapi Ragoji, Naga Hitam yang menjadi raja para monster itu memiliki kemampuan yang berbeda. Ragoji punya kemampuan untuk menembakan Khydalam jumlah besar dari mulutnya. Tentu saja Khyjauh lebih kuat kalau dibandingkan dengan api.
Ledakan itu menimbulkan radiasi yang cukup besar, tapi masih aman karena jaraknya cukup jauh di atas.
Sorak sorai pasukan Cerberus terdengar ricuh saat Agrrav, kapal induk yang menjadi pusat komando pasukan Abaddon hancur meledak.
Para pasukan Abaddon yang tersisa membuang senjata mereka, lalu mengangkat tangan tanda menyerah.
Ledakan Agrrav menjadi sebuah simbol kemenangan bagi pasukan Cerberus dalam perang melawan Abaddon kali itu.
Di tengah sorakan kemenangan, dengan begitu perkasanya Ragoji melesat jauh menembus awan, menyembunyikan sosoknya di balik awan sembari mengangkut Ain di punggungnya.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
X-X---|<V>|---X-X
*Pengumuman*
X-Code sudah dikontrak oleh Webnovel. Oleh karena itu, untuk lanjut membaca X-Code & X-Code : Xenatria, silakan menuju link :
webnovel.com/book/x-code_16465399705033705
Terimakasih untuk semua apresiasi luar biasa yang sudah diberikan oleh teman-teman pembaca, yang setia menemani saya dalam berkarya. Salam sejahtera, sukses selalu.