CHAPTER 5

482 47 16
                                    


"Astaga ... itu ..." Jerry berdiri memandang sebuah bangkai bus yang mereka lewati. Bus itu kini sudah terbakar habis dengan mayat-mayat gosong (dan beberapa di antaranya tampak bergerak-gerak) tergeletak di berbagai bagian bus. Sebuah spanduk yang tersisa dapat mereka baca, "Study Tour Siswa ... Bekasi ..."

"Apa itu teman-temanmu?" Foo menumpangkan tangannya di bahu Jerry, "Aku ikut menyesal."

Jerry mengesampingkan tangan itu dan kembali duduk dengan tertunduk.

Mulia hanya memandang bus itu dari jendela tempat duduknya sembari menyimpulkan seutas senyum.

***

"Ta ... ra ..."

"Bima?" Tara segera menghapus air matanya. "Kau sudah bangun ..."

"Tara ... aku tak bisa merasakan apa-apa ... rasanya dingin sekali ..."

"Kau akan baik-baik saja, Bim!" Tara berusaha meyakinkan pemuda yang sudah terbaring lemah itu, "Kita akan segera sampai ke Magelang dan kau akan dirawat di sana."

"Ini semua salahku ... akulah yang mengajak kalian melihat sunset di Borobudur ..." bisiknya.

"Tidak, ini bukan salahmu!"

"Se ... sebenarnya aku ingin mengajakmu ke sana ... karena akan romantis pikirku jika aku mengungkapkan perasaanku di sana ..."

"Apa?"

"Aku ingin menyatakan cintaku padamu ..."

"Oh, Bim ..." gadis itu kembali menitikkan air mata.

"Apakah kau mau ..."

"Ten ... tentu saja aku mau ..."

***

Yuli masih termangu di tempat duduknya. Di sebelahnya, jasad adiknya yang sudah mendingin hanya ditutupi kain selendang jarik yang kebetulan dibawanya. Semua kejadian tadi sama sekali tak membuatnya prihatin. Toh mereka semua hanya orang-orang asing yang tak ia kenal. Tak ada pengaruhnya baginya jika mereka hidup atau mati.

Namun bukan berarti ia hanya diam saja dan tak mempelajari sesuatu.

Virus itu tampaknya mampu membangkitkan orang yang sudah mati.

Ia menatap jasad adiknya di sampingnya, lalu melirik tas Vina yang ada di bangku depannya. Wanita itu sudah memusatkan perhatiannya pada anak perempuannya. Nenek itu, tanpa sepengetahuan Vina, menggapai sebuah jarum suntik dari dalam tasnya. Perlahan ia mengendap ke arah tangan Bima yang dipotong dan kini menancap di lantai.

Ia ngeri melihat jari-jari tangan itu sesekali tersentak dan masih bergerak. Untung saja pisau itu masih menancap dan menahannya di sana. Yuli segera menyuntikkan jarum itu dan menyedot beberapa cc darahnya. Tangan itu tampak menggeliat saat Yuli melakukannya. Ia menengok ke belakang untuk memastikan tak ada yang melihatnya.

Kemudian ia kembali duduk, kali ini di dekat jenazah adiknya.

Rima menoleh. Namun ia sama sekali tak mencium gelagat aneh dari nenek itu. Mungkin nenek itu masih terpukul dengan kematian adiknya dan ingin dekat dengannya, begitu pikirnya.

Ia sama sekali tak melihat saat Yuli menyuntikkan darah yang terinfeksi itu ke tubuh Titik.

***

"Hei, lihat!" seru Ridho, "Ada barikade militer di depan!"

Ia menghentikan bus itu di depan para tentara yang berjaga.

"Apa kita sudah tiba di Magelang?" ucap Rima dengan lega.

BUS TO MAGELANGWhere stories live. Discover now