Part 1 - How It Began

28.8K 2.1K 409
                                    

London, February 20th 2014

**

Jemariku mengetikkan sesuatu di keyboard laptop, membentuk rangkaian-rangkaian kata, yang semakin lama membentuk sebuah paragraf. Kuraih secangkir cokelat panas yang tadi kupesan, dan menyesapnya perlahan. Aku menoleh ke arah jendela café, rintik-rintik hujan masih terjatuh dari langit, sementara bulir-bulir air mengalir di permukaan kaca café. Aku tersenyum tipis, menikmati secangkir cokelat panas sembari mengetik dengan keadaan hujan selalu menjadi hiburan tersendiri bagiku.

Aku kembali memfokuskan diriku ke laptop, dan lanjut mengetik lagi, berhenti sejenak, memikirkan adegan, kemudian kembali mengetik, dan begitu seterusnya. Hanyut dalam pikiranku sendiri, memikirkan apa yang terjadi dalam imajinasiku, membebaskan orang-orang dalam pikiranku di sebuah cerita.

Menulis fiksi selalu menjadi kebiasaanku hampir setiap hari. Jika aku menyelesaikan sebuah cerita, maka ide lainnya akan datang. Terkadang sulit mendatangkan ide itu, namun jika akhirnya muncul, ide itu seringkali cukup fantastis.

Aku bukan penulis---well, aku memang seorang penulis, namun hanya sekedar hobi. Karena aku memang hanya menulis untuk kesenanganku sendiri, membiarkan cerita-cerita yang telah kubuat tetap tersimpan di folder file laptopku, tak berniat menerbitkannya sama sekali, baik secara buku atau pun e-book.

Aku menulis untuk membebaskan para karakter yang terjebak di imajinasiku. Bukankah itu kejam jika aku tak membebaskan mereka dalam sebuah cerita? Meski aku tak akan menerbitkannya, membacanya untuk diriku sendiri selalu membuatku senang. Well, lagi pula, siapa juga yang mau membaca karya amatirku? Aku hanya seorang perempuan berusia dua puluh satu tahun yang memiliki imajinasi liar.

"Hey, Sarah!" Sebuah suara tiba-tiba menyapaku, tampak Linda, sahabat karibku itu berjalan dengan semangat menuju meja café. Ia mendudukkan dirinya di hadapanku, lalu menyengir. "Er, kau telah menunggu lama ya? Maaf."

Kuulas senyuman tipis. "Aku belum lama di sini. Santai saja."

Sementara Linda memesan secangkir cappuccino kesukaannya dan croissant untuk dirinya, aku lanjut mengetikkan paragraf demi paragraf di laptopku. Aku telah gemar mengetik sejak duduk di sekolah menengah pertama, mungkin karena itu mengetik banyak paragraf bagiku adalah urusan kecil, karena aku dapat mengetikkannya dengan cukup cepat.

"Kau mengetik lagi?" tanya Linda, yang kubalas dengan gumaman. "Cerita apa lagi kali ini, eh?"

"Aku menyelesaikan cerita kemarin. Sebentar lagi mencapai epilogue," balasku. "Aku sangat menyukai cerita ini."

"Oh ya, aku lupa! Kau kan belum selesai menceritakannya padaku! Apa yang terjadi dengan Allison setelah itu?" Linda menopang dagunya sembari menatapku penuh antusias.

"Ia berhasil kabur dari rumah Elizabeth, dan meminta pertolongan pada Johaan. Dan kelanjutannya, aku masih memikirkannya," kataku dengan jenaka.

"Mengapa kau selalu membuatku penasaran?! Cih." Linda memajukan bibir bawahnya, hingga akhirnya seorang pelayan datang sambil membawa pesananannya. Ia langsung mengulas senyuman, mengucapkan terima kasih pada sang pelayan, lalu kembali menatapku dengan jutek.

Linda memang gemar mendengarkan cerita dariku. Aku tak pernah mengizinkannya membaca naskah-naskah ceritaku, namun aku selalu menceritakan alurnya, dan ia selalu bersemangat jika mendengarnya. Mungkin karena selera buku kami sama.

Aku mengetik dalam berbagai genre, biasanya mengandung unsur misteri, dan sedikit percikan fantasi. Terkadang cerita sedih, hingga cerita dengan plot twist yang mengejutkan, aku gemar menulisnya. Dan Linda menyukai semua itu. Hanya ia yang mengetahui seluruh karyaku.

Through His WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang