Tanda Lahir

14.9K 1K 46
                                    

Meski tertatih, si buta terus berjalan sambil menggendong anak perempuannya yang terus menangis. "Pa... Pa..." hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya, tak ada kata-kata lain. Dua tahun tak cukup baginya untuk bisa bicara. Tubuh kecil anak itu bisa bergerak cepat, berjalan layaknya orang dewasa. Namun kemampuan untuk bicara belum mampu dia kuasai, mungkin karena terlalu banyak minum air beras.

Entah akan kemana, sejauh mungkin katanya. Terlalu pedih memikirkan kematian sang istri, yang tak dikubur sebagaimana mestinya. Orang mungkin akan berpikir wanita itu di bunuh, kalaupun dia kelak ditangkap karena dituduh membunuh istrinya, tak mengapa. Toh penjara pasti lebih baik dibandingkan kehidupannya sekarang.

Asmarandana, hanya kamu yang Bapak pikirkan. Bagaimana nasibmu nanti jika aku tak ada?

Sesekali dia duduk, menghibur putri kecilnya yang mulai menggigil kedinginan. "Pa... pa..." ucapnya terus menerus. Si mata abu mulai melemah, laki-laki itu sadar anaknya sudah sangat letih dan kelaparan. Kedua telinganya tak menangkap satupun suara kehidupan, selain gemericik air sungai. Sejauh ini kedua kakinya hanya menelusuri tepian sungai, menuju entah kemana. Berlawanan dengan arah jalan tempat biasa dia mengadu nasib, mengandalkan kedua tangannya untuk bekerja.

Lelah rasanya mengutuk Tuhan atas kebutaan, dia sedang berdamai dengan hatinya sendiri atas ketidaksempurnaan fisik. Dia percaya, wanita yang dicintainya akan menerima kekurangan ini. Dia tak pernah tahu bagaimana rupa sang istri. Hanya mampu meraba lekuk wajah, dan menggambarkannya di dalam kepala. Sepertinya dia cantik, dan anakku ini memiliki lekuk wajah yang hampir sama seperti Ibunya.

"Ujang, seandainya matamu bisa menatap pantulan di kaca, kau akan tahu... betapa tampannya dirimu. Jauh lebih tampan daripada laki-laki lain. Kau tak pernah sadar sebenarnya itulah yang membuat wanita pemarah mau-mau saja dijadikan istri. Dan Asmarandana, warna mata Ayahmu menurun kepadamu. Abu cerah bagai boneka. Beruntung kau mewarisi itu."

                                           ***

Perut si buta mulai bernyanyi, sedari kemarin pagi tak satupun makanan yang masuk ke sana. Istrinya tak sudi lagi memasak, terlalu marah untuk tetap melayani sang suami dan anak mereka. Hidup tak adil! Begitu teriaknya sebelum akhirnya putus asa.

"Dana, tunggu sebentar. Bapak akan cari makan untukmu." Tubuhnya berhenti berjalan, telinganya coba menangkap suara apapun yang bisa dia tangkap. Terdengar kecipukan air sungai, dia paham... ada sesuatu di dalam sana yang bisa dia makan. Anak itu terus menangis, tubuhnya yang lelah hanya terduduk di pinggiran sungai memperhatikan apa yang akan dilakukan Ayahnya. Anak itu tahu, Ayahnya yang buta sedang berusaha melakukan sesuatu... seperti biasanya.

Meski tak banyak bicara, dia tahu mana yang baik mana yang buruk. Sebaik apapun Ibunya, tak lebih baik dari Ayahnya. Laki-laki itu lebih bisa dia mengerti ketimbang Ibunya yang doyan mengumpat. Hanya pada si Buta, anak ini berani mengeluarkan air mata. Tidak pada sang Ibu, yang kerap mengacuhkan meski hampir habis air matanya untuk menangis. Anak sekecil itu berjuang untuk mempelajari hidup secara otodidak. Sekarang sudah tak ada Ibu, hanya Ayahnya yang mungkin akan mengajarinya banyak hal, tentang bagaimana bertahan hidup dengan cara orang buta.

"Dana, bapak dapat ikan!" Teriak laki-laki itu di tengah sepinya malam. Tampak jelas seekor ikan mujair kecil meliuk-liuk di tangannya bagai cacing kepanasan. Sang anak berhenti menangis, "Pa... pa!!!" Nada teriakannya terdengar lebih riang. Si buta tertawa mendengar nada itu, "Kita makan, nak."

Laki-laki itu tampak merogoh saku, mengambil sesuatu disana. Sekotak korek api dia keluarkan, tangannya kini tampak meraba-raba sekitar. Daun kering di tumpuknya, lalu kedua tangannya sibuk menyalakan api dengan korek. Berkali-kali mati, namun akhirnya percikan api berhasil membakar dedaunan itu. Ikan mujair kecil itu disimpan di tumpukan daun paling atas.

Asmarandana memerhatikan dengan saksama, matanya masih sembab, namun kegiatan yang dilakukan oleh Ayahnya berhasil menarik perhatian. Anak itu berdiri, berjalan menuju sang Ayah sambil mulai menarik-narik baju Ayahnya. "Pa...Pa" teriaknya lagi. Si buta tersenyum, meraih kepala anaknya lantas mengusapi. "Anakku sayang, sebentar lagi kau akan makan ikan..."

Anak itu termenung, tak menggubris apa yang Si Buta ucapkan. Tiba-tiba mata abunya mengilatkan gairah. Kobaran api yang sedang membakar ikan mujair terlihat sangat menarik, lebih menarik daripada ikan itu sendiri. Dia lupa rasa laparnya, lupa pula rasa hausnya. Anak itu bergerak mendekati, dan si Buta tak melihat apa yang sebenarnya akan dilakukan Asmarandana.

"Paaaaaaaaaaaaa...."

Asmarandana berteriak sangat keras, tangis kembali pecah memecah keheningan. Teriakannya seketika membuat si Buta terperanjat. Di pikirnya, anak itu sejak tadi masih berdiri di sampingnya. Si anak yang sempat bersemangat melihat kini lunglai, tatkala tangannya dengan mantap menggenggam seonggok daun berkobar api. Kulit telapaknya melepuh, kesakitan, belum pernah dia merasakan sakit sesakit ini.

"Pa... pa..." ucapnya melemah.

Si Buta panik, mulai menggapai-gapai asal, ke kiri dan ke kanan, mencari Asmarandana. "Dana... anakku..." Panggilnya panik. Tubuh kecil anak itu berhasil diraihnya, tangannya kembali sibuk meraba, mencari tahu apa yang terjadi pada Asmarandana. Tatkala tangan kanannya menyentuh lengan sebelah kiri anak itu, seketika itu juga sang anak menjerik kesakitan. Kulit tangan yang lengket masih terasa panas karena api. Dia menjerit sekerasnya, lalu menggendong sang anak sambil berlari entah menuju kemana. Anak perempuan itu terus menangis, menjerit keras dalam gendongan si Buta.

"Asmarandana, seandainya kau ingat. Cacat di bahu telapak tanganmu bukanlah sebuah tanda lahir, melainkan saksi bisu bagaimana Ayahmu yang buta berusaha menolong anak nakalnya yang terus menangis kesakitan."

ASMARANDANAHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin