Opened

30 7 0
                                    

BIASAKAN VOTE DULU SEBELUM MEMBACA ;D


Seperti gadis kebanyakan, ia pun mencoba untuk menutupi segalanya. Senyumnya, tawanya, kebaikannya. Ia mencoba menyempurnakan kepribadiannya untuk melengkapi penampilannya yang biasa-biasa saja. Lagian, siapa pula yang akan berteman dengan sosok yang standar dan tidak berharga? Berpegang dengan prinsip ini, ia memantapkan tekadnya.

Seperti gadis kebanyakan—kali ini yang setipe dengannya—, ia berjalan keluar dari perpustakaan dengan membawa buku-buku sejarah yang kalau dilihat membuat orang mungkin akan mengerutkan dahinya samar. Tiga atau empat—oh, lima!— buku ia dekap di depan dadanya dengan tebal yang bervariasi. Dengan trik untuk memudahkannya membawanya, ia meletakkan buku paling tebal berada di paling bawah. Katakanlah, ia pecinta sejarah. Bukti otentik sudah berada di tangannya kini.

"Deara!" panggil seseorang dengan cukup keras. Rupanya belum cukup keras untuk membuat si empunya nama merasa terpanggil. Tau akan sia-sia jika memanggil lagi, si pemanggil tadi sedikit berlari untuk menyusul.

"Aku tau kamu mungkin sibuk sama subjek yang selalu menyita perhatian kamu ini. Tapi kurasa kamu gak lagi muter ulang kejadian sejarah itu di otak kamu sampe kamu gak denger panggilan aku, kan?"

"Eh, Andra. Kenapa, Ndra?"

"Astaga, Tuhan." Andra memegang keningnya dramatis. "Aku udah ngomong panjang lebar malah cuma dibales gitu. Aku yang ngarep banyak apa emang kamu yang gak tau diri, sih."

Mendengarnya, Deara hanya terkekeh. "Maaf, deh. Aku gak denger soalnya lagi konsen bawa buku-buku ini."

Andra berdecak. "Lagian kenapa minjem sekali banyak coba. Satu-satu aja kali," timpal Andra kemudian mengambil tiga buku di paling bawah.

"Abis bagus sih bukunya."

Andra menolehkan pandangannya pada gadis di sampingnya, menatapnya, mencari kejujuran dari ekspresi wajahnya, kemudian mengangkat bahunya sekilas.

Sepertinya, Deara tidak melihatnya.

Lagi-lagi, tidak secara harfiah.

***

Setelah istirahat siang, kelas Deara kosong alias tidak ada guru. Coba sebutkan berapa persen murid di Jakarta yang tidak suka jika gurunya tidak masuk? Tentu nyaris semuanya akan bersorak-sorai gembira. Deara juga menyambutnya dalam hati, hanya saja kemudian ia larut dalam buku-buku yang tadi ia pinjam. Suasana kelasnya berisik sekali, beberapa kumpulan anak-anak terlihat menyebar di dalam kelas. Ada yang di pojok kelas—pacaran, ada yang menulis sesuatu di papan tulis, ada yang main gitar, ada yang nonton film di laptop, dan banyak lagi. Ketika Deara masuk ke populasi kecil yang sedang belajar, Andra terlihat sedang bergabung dengan kumpulan anak yang tengah menyanyi dengan salah seorang anak yang bermain gitar.

Ia kembali menatap Deara dari tempat duduknya. Deara terlihat sedang asyik menyelami dunianya sendiri, mengeksplor semua benda yang ada di imajinasinya satu per satu, menggerakkan retina matanya dengan teratur dari kiri ke kanan, sama sekali tidak merasa bosan. Andra menelitinya, setiap pergerakan yang tertangkap oleh matanya kemudian ia rekam baik-baik di otaknya. Jika diingat-ingat, ia sudah sering menatap Deara dari kejauhan seperti saat ini. Tidak, Andra membantah di dalam dirinya jika ia menyukai Deara.

Hanya saja ....

Melihat Deara sudah menuntaskan tuntutan hatinya. Ah, seharusnya ia sadar itu dan tidak perlu membantahnya. Terkadang logika senaif itu.

Ada sesuatu yang sudah ia sadari sejak lama dengan melihat pergerakan Deara selama ini. Itu hanya tidak lebih dari semacam ... kedok?

***

OpenedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang