Biar kuberi sedikit contoh. Barusan ada seorang pria yang masuk, penampilannya kusut, wajahnya nampak lesu, rambutnya berantakan dan matanya terlihat tak memiliki gairah. Apa kira-kira yang tengah terjadi? Mungkin dia adalah seorang yang bekerja di industri kreatif, entah dia penulis, photographer, atau bahkan komikus, yah semacam itulah. Sepertinya dia baru saja dimarahi oleh atasan karena pekerjaannya tak memuaskan atau mungkin tak bisa memenuhi deadline dan alasan dia ke sini untuk sekedar melepas penat sembari menyelesaikan pekerjaan yang tengah mendapat kesempatan kedua dari sang atasan.

Yah semacam itu. Tapi jangan berpikir aku ini adalah detektif, bukan juga peramal. Terlalu banyak pengandaian dalam cerita yang kuucapkan, tak ada bukti konkrit serta teori yang melandasi itu semua. Yah, aku hanya seorang pemuda pecandu imajinasi.

Biasanya orang yang datang ke cafe sendirian lebih memilih menggunakan earphone untuk memutar playlist favorit mereka dan menikmati 'me time' atau sekedar meningkatkan fokus pada pekerjaan yang mereka lakukan, tapi tidak denganku.

Ya, aku lebih senang mengaduk-ngaduk minuman ini sembari mendengarkan obrolan pengunjung lain. Mungkin lebih tepatnya terdengar bukan mendengar, yah, aku tidak ingin dianggap sebagai orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain.

Inilah yang selalu membuatku sadar akan apa yang tengah terjadi di dunia. Bukan dari portal berita internet ataupun berbagai macam platform sosial media yang kian marak menggandrungi generasi millenial. Dari sana aku tak hanya mendapatkan informasi melainkan melihat reaksi dari orang-orang tersebut. Tak jarang beberapa orang punya reaksi yang berbeda terhadap satu informasi yang sama dan bagiku itu menyenangkan.

Ternyata waktu tak terlalu suka dengan hal itu. Perlahan-lahan riuh suara para pengunjung mulai berhenti, fokus mereka kini tertuju pada benda kotak di tangan mereka yang pada zaman ini disebut smartphone.

Mulai bosan, aku mencoba menyeruput sedikit kebahagian dari minuman favoritku. Sial, sudah berapa lama aku mengabaikannya? Mungkin segelas minuman favoritku ini ingin sekali memakiku karena telah mengabaikannya saat masih hangat.

Yah terserahlah, selama masih manis, panas ataupun dingin bukanlah masalah besar.

Bel pintu cafe berbunyi, menandakan seseorang baru saja membuka pintu tersebut. Tanpa dikomando mataku langsung melihat ke arah sana dan sungguh benar-benar pemandangan yang tak diduga.

Seorang wanita, tidak, terlalu tua untuk disebut wanita, dia pasti seorang gadis, gadis yang seumuran denganku. Berambut pendek dengan kacamata bulat besar menggantung di hidung, wajahnya terlihat bersinar atau mungkin hanya aku yang melihatnya? Dan segala keindahan itu terbalut dalam kombinasi baju yang..., sungguh aku tidak mengerti bagaimana menjelaskannya, mungkin kata 'aneh' cukup?

"Manis...," tanpa sadar kata-kata itu keluar dari mulutku.

"Siapa yang manis Mas?"

Pertanyaan itu langsung membuyarkan lamunanku seketika.

"Ah enggak, ini kayaknya kemanisan deh hehehe." aku meletakkan cangkir yang masih penuh dengan gumpalan putih manis itu di hadapanku.

Wanita di hadapanku hanya tersenyum, senyuman penuh arti. Sepertinya dia memiliki maksud lain namun entah kenapa dia lebih memilih membersikan meja bar yang sudah berkali-kali ia lakukan.

Aku mulai melihat ke sekitar. Tak ada orang yang bereaksi sama sepertiku, semuanya tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sepertinya hanya aku yang melihat hal tersebut, hal manis yang dirasakan tanpa perlu bantuan indera pengecap.

Kulemparkan lagi tatapan ke arah pintu masuk. Dia masih di sana, gadis itu masih di sana, menggerakkan kedua bola matanya seolah mencari sesuatu.

Untuk gadis seperti dirinya wajar jika janjian dengan orang lain di tempat seperti ini. Mungkin teman atau pacar, yah seperti itulah.

Pojok Ambigu Otak KananWo Geschichten leben. Entdecke jetzt