2. Mencoba Menerima

14 0 0
                                    

Hari demi hari, waktu demi waktu, aku terus berjuang untuk kembali baik-baik saja. Berusaha sekuat mungkin untuk tegar dan menerima segala hal yang telah terjadi sampai saat ini. Dunia mungkin sedang mencemoohku sekarang. Mengejekku yang terus bermuram durja setelah kepergian Alpha. Dunia adalah tempat untuk kehilangan, adalah hal yang biasa bagi hal apapun untuk datang dan pergi.

Mudah mengatakannya, tapi saat dihadapkan pada situasi di mana mimpi yang dirancang indah ikut menghilang bersama dengan orang yang kita cintai, kita jadi kehilangan arah dan tujuan. Dunia layaknya seperti panggung pertunjukkan yang meski pun di dalamnya cerah dan menjanjikan, tetapi tidak berarti.

Setidaknya bagiku, semuanya terlihat seperti itu sekarang.

Alpha adalah mimpiku. Tujuanku. Juga masa depan yang kuyakini akan selalu menjadi bagian hidupku. Tidak pernah kubayangkan sebelumnya akan menjalani hidup tanpa keberadaannya. Namun, dunia berkata lain. Mereka merenggut dirinya dariku. Menciptakan kekosongan di dalam dada yang tidak akan pulih dalam waktu dekat.

Saat kita berusaha jatuh bangun dan mencoba dengan sekuat tenaga untuk menghadapi hal yang membuat kita terpuruk, selalu ada orang yang berusaha menjatuhkan kita. Seperti yang sedang terjadi saat ini. Meski bibirku menyunggingkan senyuman, tapi rasanya pahit. Aku kehilangan diriku terlalu banyak atas duka yang kualami.. 

"Yang sabar ya, Dira. Alpha meninggal beberapa jam sebelum pernikahan kalian. Mungkin dia memang bukan jodoh kamu," ujar salah satu tetangga yang sedang berbelanja sayuran di depan gerbang rumah.

Jika Bunda tidak meminta tolong untuk diambilkan dompet, aku enggan berada di sini meski hanya sebentar.

"Duh, Bu Wati. Namanya takdir kita nggak ada yang tahu. Namanya juga musibah!" sergah Bu Susilo.

"Iya! Tapi harusnya dia nggak keluyuran malem-malem, apalagi sebelum hari pernikahan. Mau kemana coba? Jangan-jangan dia nggak sebaik yang terlihat dari luar lagi," nyinyir Bu Wati. Tanganku terkepal, ingin sekali membalas perkataannya yang menghina Alpha.

Sentuhan di jemari membuatku menoleh, Bunda menghela napas dalam kemudian maju selangkah. "Bu Wati, jangan kurang ajar ya! Apa Bu Wati mengenal Alpha sampai harus mengatakan hal seperti itu di depan Putri Saya?"

Bu Wati mendengus. "Ya, kalau memang dia nggak lagi nyari kepuasan sebelum menikah, ngapain dia keluar malam-malam?"

Diluar dugaan, Bunda yang selalu tampak sabar dan diam saja menanggapi segala bentuk cibiran dan celotehan tetangga melemparkan kantong ayam ke arah Bu Wati. 

"JAGA MULUT ANDA YA, BU WATI!!!"

"DASAR PEREMPUAN SINTING! NGGAK HERAN ANAK LO DITINGGAL MATI CALON SUAMINYA!"

"APA ANDA BILANG BILANG?!!" 

Aku memejamkan mata. Kemudian menarik tangan Bunda masuk ke dalam sebelum keadaan menjadi jauh lebih kacau. "Kamu ngapain tarik tangan Bunda?" tanya Bunda kesal.

"Bunda, untuk apa membuang waktu bertengkar dengan orang seperti dia?"

"Dia menghina kita! Bunda mau mendidik mulutnya supaya nggak bicara sembarangan!" tukas Bunda sambil melepaskan tanganku.

Aku menghela napas. "Aku yang paling tahu Alpha seperti apa, Bunda. Aku nggak peduli apa yang dikatakan oleh orang lain selama semua itu nggak benar."

Bunda berbalik ke arahku. Kemudian memelukku dengan erat sambil mengusap puncak kepalaku. Bahunya bergetar hebat, menunjukkan bahwa beliau sedang menangis. Aku menarik napas dalam dan membalas pelukan Bunda. Berharap semoga kesedihan perlahan pergi dari keluarga ini. Bagaimana pun caranya.

****** 

Rintik sendu dari langit yang gelap membuat suasana yang terasa muram bertambah muram. Sepanjang perjalanan, mataku menatap keluar jendela. Pada pepohonan yang terlewati, pada gedung tinggi dan lalu lalang orang-orang. Berharap dengan begitu, kepalaku akan terisi hal-hal yang selama beberapa waktu ke depan tidak akan kulihat. 

SENYUMAN UNTUK INDIRAWhere stories live. Discover now