prolog

3.6K 138 8
                                        

Bogor, 1 September 1988.

Langit malam tampak begitu gelap tanpa terlihat bintang karena awan hitam menutupnya dengan sempurna. Semilir angin berhembus begitu dingin menusuk kulit siapa saja yang masih terjaga. Suara gemuruh mulai terdengar dari langit, saling bersahutan seolah tak ingin memberikan ketenangan bagi mereka yang mencoba memejamkan mata.

Seorang lelaki terseok-seok melangkah dengan cepat, nafasnya memburu namun terasa begitu berat. Dengan tangan kanan yang memegangi dada kirinya, sedangkan tangan kiri menahan rasa sakit di pangkal pahanya, ia berusaha untuk terus berjalan meski sambil menyeret kaki kirinya. Sesekali kepalanya menengok ke belakang dengan takut. Hutan ini membuat langkahnya terhambat, akar pohon yang telah tumbuh hingga ke permukaan tanah menghalangi jalannya begitu juga dengan ranting pohon yang saling melintang menutup jalan.

"Hh...hh..." Nafas lelaki itu terdengar satu satu.

Sakit di kaki, dada dan kepalanya tidak lagi terasa karena terkalahkan dengan rasa takut yang mengkungkung dirinya. Bahkan darah yang mengalir di pelipis dan bercampur dengan keringat tak lagi dia hiraukan.

"Hh..hhh..." Dadanya benar-benar sesak, lelah karena berusaha untuk terus berjalan dan juga memar yang cukup besar didadanya itu membuatnya susah bernafas dengan benar.

Petir di langit kembali terdengar, menggelegar lebih keras bahkan terasa menggetarkan tempat kaki berpijak. Kilat terus menerus muncul membuat malam menjadi tak begitu gelap, ada cahaya lain yang membantu lelaki itu agar matanya tetap awas.

Suara langkah kaki, bukan hanya sepasang tapi dia tau kalau ada banyak pasang kaki yang mencoba mengejarnya dan itu terdengar semakin dekat. Lelaki itu bahkan bisa melihat cahaya senter yang diarahkan kepadanya, garis lurus dari cahaya tersebut bergerak tak beraturan.

"Sejauh apa lo bisa terus lari hah?! Berhenti brengsek!!" Terdengar umpatan dari suara ngebass yang berada tak jauh dari belakangnya.

Lelaki itu menggeleng pelan, ia harus terus berjalan. Dirinya tidak boleh menyerah, dia tidak boleh sampai tertangkap. Wanita yang dicintainya sedang menunggu di rumah, bukan hanya wanita itu tapi juga calon anaknya yang akan lahir ke dunia ini kurang dari waktu 1 minggu lagi seperti yang dokter katakan.

"Dorr!!" Terdengar suara tembakan yang membuat dirinya terkejut.

Tidak! Mereka tidak akan membunuhku, mereka membutuhkanku hidup-hidup batin lelaki tersebut sambil menahan rasa sakit yang semakin menjadi-menjadi.

"Bodoh! Kita membutuhkannya hidup-hidup!" kembali terdengar seruan dari belakang.

"Gue cuma nakutin bos, gue engga nembak dia kok" terdengar suara lain yang menyahuti.

Lelaki itu tak memperdulikan perdebatan orang-orang yang sedang mengejarnya. Dia hanya harus terus berlari menuju tempat mobilnya disembunyikan. Dan saat ia rasa tempat itu semakin dekat, jantungnya berdetak semakin cepat berbanding lurus dengan adrenalinnya yang terpacu.

Itu dia mobilnya! seru lelaki tersebut dalam hati saat matanya menangkap bagian depan mobil Jeep hitam yang dia parkirkan dibalik pohon besar.

"Hh..hh..." sepertinya kakinya mulai kebas, ia terus menyeret kakinya namun ia tidak lagi merasakan rasa sakit pada kakinya.

Begitu sampai di pintu mobil untuk pengemudi, dengan tergesa-gesa ia mencoba untuk membuka pintu tersebut. Perpaduan rasa takut, sakit dan keinginan kuat untuk bisa kabur membuatnya tak merasakan keberadaan seseorang yang tengah berdiri di belakangnya.

"Kenapa anda terburu-buru sekali? Hendak pergi kemana saudara Rizal?" suara ngebass dengan aksen Inggris kental berbicara kepadanya.

Bukan suara itu yang membuatnya terpaku di tempatnya berdiri, tapi ujung senapan yang bisa ia rasakan sedang menempel di kepalanya-lah yang membuatnya membeku tak berani bergerak.

Ya Tuhan, tolong jaga istri dan calon anakku pintanya begitu pilu didalam hati. Tanpa sadar air matanya luruh bersamaan dengan hujan dari langit yang begitu deras.

Lumière (PENDING)Where stories live. Discover now