The Conductor for Miss Quinonez

395 18 18
                                    

Sebelum baca mungkin lebih baik lihat videonya dulu, biar paham kenapa saya nulis cerpen ini :D

"The Conductor for Miss Quinonez"

Kami sudah saling mengenal sejak kecil. Bahkan semua yang di sukainya aku juga tahu dan aku pun melakukan semua yang ia sukai. Dia sangat menyukai musik klasik, aku pun menyukai musik itu agar aku sama sepertinya. Namun sayangnya sepuluh tahun yang lalu cita-citanya yang ingin menjadi seorang Cellist kandas, hanya karena ia terlahir sebagai anak satu-satunya.

Aku yang selalu berusaha melakukan apapun yang ia sukai. Dengan giat, aku juga belajar memainkan alat musik gesek yang masih bersaudara dengan biola itu. Aku senang saat dulu kami saling memainkannya di belakang rumahku ketika senja mulai datang. Bahkan terkadang ia akan berpura-pura menjadi dirigen ketika aku sedang memainkan celloku.

Seminggu sebelum malam ia mengatakan keinginan orangtuanya, aku diam-diam mengikuti audisi untuk masuk ke sekolah yang dulu sangat ia impikan. Bersama kakak sulungku yang sudah menikah dan tinggal di New York, aku berangkat audisi.

Dan malam itu aku berniat memberinya kejutan, bahwa aku telah lolos audisi. Dan itu berarti aku akan menjadi salah satu murid di sekolah impiannya, yang berarti juga dia pasti akan menyukaiku yang ternyata berhasil masuk kesana.

Namun celakanya pada malam itu dibelakang rumahku dengan kami yang duduk di ayunan masa kecil kami. Tiba-tiba semua yang sudah kurencanakan, kukhayalkan, seakan langsung hilang tak berbekas sedikitpun. Dia tidak memilih Columbia, tapi Oxford sebagai tempatnya belajar untuk melaksanakan keinginan orangtuanya. Ketika kutanyakan mengapa harus pergi dari Amerika? Dia membalas dengan senyuman yang aku tahu itu juga adalah kebahagiaannya, selain karena tidak bisa menuruti keinginannya sendiri untuk masuk Julliards. Dia mengatakan kalau ia tetap di Amerika pasti akan selalu mengingatkannya dengan Julliards meskipun ia ada di Columbia, jadi dia lebih memilih Oxford.

Saat itu aku tetap mengatakan padanya bahwa aku lolos audisi masuk Julliards. Dia sangat senang sekali sampai tubuh semapaiku di peluknya dan di angkatnya. Aku juga pasti akan senang sekali dengan perilakunya padaku saat itu, seandainya ia belum mengatakan kalau akan pergi dari Amerika. Jadi saat itu aku hanya bisa tersenyum menanggapi perilakunya. Dan kucoba untuk tetap mengingatkan pada diriku sendiri. Walaupun nanti ia tidak di Amerika, kita tetap akan bisa berkomunikasi entah via email ataupun skype.

Hari-hariku sebagai murid Julliards kujalani dengan normal, meskipun tidak bisa bersamanya ketika aku pulang ke rumah. Yang dulu kuimpikan seandainya ia memilih Columbia pasti kita akan tetap bersama memainkan cello, ataupun ia menjadi dirigen kala senja mulai datang.

"Dua menit lagi."

Suara bisikan Dylan, salah satu pemain cello juga di orkestra kami yang ada disampingku membuatku tersadar. Ternyata sedari tadi aku melamun. Rasanya waktu bergulir begitu cepat sekali.

Malam ini adalah pertama kalinya ia menonton konserku, meskipun kali ini aku tidak bersolo cello. Dua hari yang lalu ia mengirim email, bahwa ia akan pulang dan membawa berita bahagia untukku. Tentu saja saat itu dan sampai sekarang pun aku senang sekaligus penasaran. Kabar bahagia seperti apa yang akan ia katakan padaku. Sehingga membuatnya pulang, dan meruntuhkan pendiriannya yang tidak ingin menginjak tanah Amerika lagi setelah sepuluh tahun.

Story of 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang