Bagian Satu

20.2K 1.2K 334
                                    

Air mata tercipta demi menyeimbangkan senyawa kimia dalam tubuh. Namun bagi sebagaian orang, air mata tercipta sebagai bukti bahwa mereka timpang.

—simbaak

_______

Aku masih ingat awal pertemuanku dengan Gusta. Sore itu, aku terpaksa menerobos hujan tanpa payung gara-gara tergesa memburu salah seorang klien yang katanya paling ribet di Wedding Organizer-ku.

Aku yang berstatus sebagai pegawai baru, mau saja terpuntal-puntal mengejar pria berkemeja dongker yang Gusta tunjuk dan boss anyarku itu, bukannya meminjamiku alat supaya tidak basah kuyup, Gusta—atasan super resek tersebut malah tertawa-tawa terhibur sambil melambaikan tangan dari balik kaca ruang kerjanya.

Selepas berkeliaran selama lima belas menit demi mengekori perintahnya, aku akhirnya sadar jika saat itu aku sukses dikerjai. Pria berkemeja dongker? Hanyalah orang asing yang kebetulan melintas waktu aku sedang berbicara dengan Gusta. Oh, di masa itu aku kesal sekali!

Entah dia pria macam apa aku tak yakin. Jelasnya, dia boss menyebalkan, tukang suruh, banyak omong dan jujur saja, keburukannya overload untuk dihitung menggunakan jari, tapi setidaknya di setiap malam minggu dia selalu berupaya bersikap romantis untuk ukuran figur seorang kekasih.

Benar. Gusta Eldriano Prakosatama adalah pengelola WT Organizer. Pria itu merupakan kekasihku selama dua tahun ini hingga hari kemarin. Dan di pagi ini, aku tidak tahu masih bolehkah aku menganggapnya tetap demikian?

Senin sampai Sabtu. Pada jam kantor seperti ini, biasanya Gusta sedang berdiri gagah, mengudarakan suara berat jua menghipnotisnya demi mempresentasikan rencana pernikahan klien kami. Namun sekarang, dia yang tak pernah lupa memajang wajah cerah semeringahnya mendadak pucat pasi.

Gusta yang rajin bicara justru terdiam tanpa kata. Gusta yang sering mengejek sambil diam-diam memelukku saat aku menangis di hadapannya, kali ini sama sekali tak bereaksi.

Aku di sini, Ta.

Menangis seperti akan menjumpai kiamat di esok hari. Terisak-isak hingga jantungku sesak. Namun, dia sama sekali tak mencoba untuk menenangkanku seperti yang kerap ia lakukan.

“Udah Me, jangan gini! Kasihan Gusta.” Aku tak persis tahu ini suara Resti atau Wulan yang kemudian menepuk-nepuk pundakku lirih.

Kenapa aku harus mengibainya? Toh, sedari tadi Gusta mengabaikanku. Pura-pura tak melihatku dengan memejamkan matanya rapat. Gusta saja bisa sejahat itu, mengapa aku tak boleh membalasnya?
Hatiku nyeri sekali, akan tetapi Gusta jelas tak mau mengerti.

Gusta, kenapa dia mesti kembali mengenalkanku kepada tempat ini? Padahal dia hafal betul bila aku benci ke sini. Gusta bilang, akan menjagaku dan berusaha menjauhkanku dari kawasan ini. Namun, malah dia yang mengundangku guna menjejakkan kaki di tanah gembur nan merah ini.

“Ikhlasin, Me! Nanti Gusta nggak tenang kalau kamu nangis terus!”

Sebenarnya, apa yang wajib kurelakan? Cintaku yang telah mencapai episode terakhirnya? Batalnya pernikahanku yang tinggal menghitung hari atau calon suamiku?

Gusta sudah berjanji untuk selalu ada di sisiku. Kami akan menikah, tinggal di rumah mungilnya, lalu di masa depan kami akan membesarkan dua orang anak yang akan kulahirkan. Aku dan Gusta siap untuk hidup bahagia walau perdebatan dalam rumah tangga mungkin bakal sulit kami hindari.

Segalanya tampak teramat nyata. Bahkan kecupan bibirnya di dahiku kemarin malam, saat mengantarku pulang dari kegiatan menjajal gaun untuk resepsi masih terasa membekas. Lalu, gurauan macam apa yang tengah kuhadapi kini?

[1] Wedding Mate ( Sudah Dibukukan ) Where stories live. Discover now