Mother Letter's

95 2 0
                                    

[...]

Dia hanyalah perempuan kecil yang memiliki mata bulat juga pipi te Dia mbam seperti bakpau. Dia juga hanyalah sosok perempuan kecil yang memiliki rambut panjang berwarna coklat terang lalu bergelombang, jatuh dengan manisnya saat angin tidak sengaja lewat lalu hilang kembali. Dia hanya sosok perempuan kecil yang mempunyai tubuh sehat juga kulit putih halus. Dia hanyalah sosok perempuan kecil yang berdiri di samping sebuah makam yang  sudah hampir setahun berada di sana.


Perempuan kecil itu hanya diam, matanya menampakkan kesunyian juga kesedihan yang dalam. Kedua telapak tangannya terkepal erat dengan keadaan bergetar hebat. Salah satu telapak tangannya meremuk sebuah kertas putih yang makin lama, remukan pada kertas itu mengendur. Kertas itupun terjatuh dengan lembutnya ke atas gundakan tanah yang baru diberi bunga juga disiram air mawar itu. Kertas itu hanya dibiarkan tergelatak di atas gundakan tanah berwarna kecoklatan itu. Sedangkan perempuan kecil itu masih diam tanpa ada pergerakan sedikitpun.

Jika dilihat, umur perempuan kecil itu sekitar 8 tahun. Seragam putih juga rok merah selutut yang ia kenakan, benar-benar membenarkan bahwa perempuan itu baru menginjak bangku Sekolah Dasar. Sesaat, perempuan itu nampak bergerak tapi tidak mengeluarkan suara apapun. Bahkan yang terlihat hanya sebuah aliran air mata yang menelusuri setiap inci wajahnya yang mengembang akibat daging yang memenuhi pipinya. Melihat bola mata berwarna kecoklatan miliknya mengabur, benar-benar membuat siapa saja seakan teriris hatinya. Mata itu, terus mengeluarkan air mata dengan tubuh yang bergetar.

Satu jam sudah gadis itu berdiri. Hingga awan mulai menampakkan warna gelap, yang tandanya, awan ingin menumpahkan tangisnya. Gadis itu berbalik. Matanya yang sembab akibat menangis membuat hatiku tersentuh, rasanya ingin sekali ku peluk jikalau bisa. Tetapi, itu tidak mungkin.

Aku berjalan menghampiri makam yang baru saja didatangi oleh gadis itu. Hatiku tersentuh melihat kertas itu kembali berada di sana. Dengan tangan bergetar, aku mengambil remukan kertas itu lalu membukanya pelan.

Betapa sakit aku membacanya, huruf yang tertulis di sana selalu sama. Bahkan tata letak dari huruf-huruf yang selalu gadis itu tulis selalu sama. Dalam diam, aku berusaha untuk tidak menangis karena aku sudah lelah untuk menangisi tulisan gadis itu.

Tulisan indahnya, membuatku hafal akan semua kata-kata manis yang gadis itu torehkan untuk orang yang ia sayang.

Isinya hanya sebuah keluh kesah gadis itu terhadap sepeninggal ibunya. Dan aku... benar-benar merasa gagal menjadi seorang yang baik untuk gadis itu.

[...]

Hai Ibu...

Aku rindu sentuhan ibu pada pagi hari. Karena saat pagi hari, ibu pasti mengguncang tubuhku hingga aku selalu berfikir bahwa ada gempa yang menimpa kasurku. Saat aku membuka mata, aku bisa melihat mata teduh ibu yang memandangku—lebih tepatnya mengancamku. Ibu tau, aku tidak mendapatkan guncangan lagi bu, saat pagi hari. Setiap pagi, aku selalu berusaha bangun sendiri karena aku yakin, ibu tidak akan membangunkan aku lagi.

Aku juga rindu sentuhan ibu pada rambutku. Ibu tau, rambutku panjang bu. Aku tidak bisa mengikat rambut panjangku seperti ikatan ibu. Aku juga suka model kepang rambut yang ibu buat jika sore hari. Sekarang, rambut panjang milikku, aku biarkan tergerai bu. Aku pernah bilang pada ibu, bahwa aku tidak bisa mengikat rambut dengan baik. Aku benar-benar orang yang malas ya bu. Padahal, ibu pernah mengajariku cara mengikat rambut yang baik dan juga indah. Namun aku malah pura-pura tidak tau hingga ibu tertawa karena sikap masa bodoku.

Kadang, aku merasa iri pada teman-temanku di sekolah. Mereka selalu diantar oleh ibu mereka, sama seperti aku dulu. Mereka juga sering bermanja pada ibu mereka. Lalu aku? Aku harus meminta diantar ke sekolah sama siapa bu? Aku juga harus bermanja pada siapa bu? Ayah saja selalu pulang malam. Kalau aku meminta diantarkan pada ayah, pasti beliau menolak dengan alasan ada urusan kantor. Padahal, aku anaknya bu. Seharusnya aku yang lebih penting dibanding urusan kantor.
Ibu, bisa tidak ibu kembali. Bisa tidak, ibu hidup kembali seperti yang ada di kartun yang aku tonton bu. Aku bosan, di rumah selalu sendirian bu. Iya sih, ada bi Tata. Tapi ‘kan, bi Tata udah tua bu. Jadi kalo aku ajak main petak umpet, asma bi Tata kambuh. Atau kadang, bi Tata langsung encok bu pinggangnya.

Ibu hidup lagi yah, biar kita bisa main petak umpet lagi. Oh, main barbie aja yuk bu! Aku rindu saat di mana ibu bangunin aku di pagi hari, saat ibu menguncir rambut panjang milikku yang mirip sama milik ibu. Aku juga rindu suara lembut ibu saat mengajariku mengaji. Aku suka kalau ibu sudah memakai jilbab dengan warna yang pas dengan pakaian yang ibu kenakan. Aku rindu saat ibu menggenggam tanganku jika kita sedang berpergian ke pasar swalayan. Intinya, aku rindu ibu. Sangat amat merindukan ibu.

Tetapi, semua sudah menjadi kenangan ‘kan bu? Semoga ibu bahagia yah di sana. Titip salam buat nenek dan kakek ya bu. Pasti ibu senang sudah bertemu kedua orangtua yang ibu sayangi. Aku di sini, akan selalu mendoakan ibu.

Aku sayang ibu,

KEIRA.

[...]

Sekarang, gadis itu tengah duduk di sofa yang berhadapan dengan tivi. Gadis itu selalu diam saat aku menghampirinya, lalu merangkulnya, tanda kasih sayang seorang ayah.

“Kei,” panggilan lembut dari mulutku sama sekali tidak membuat gadis kecilku ini menoleh. Ia hanya berdeham, sesekali gadis kecilku ini mengibaskan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai itu. Dia benar-benar lucu jika sikap cueknya keluar.

“Besok potong rambut yuk, rambut kamu udah panjang tuh,” kataku pelan.

Gadis kecilku, Keira, menoleh dengan tatapan kesal. “Aku udah bilang Yah, aku gak mau potong ram—“

“Tapi kalo gak diikat rambutnya, ‘kan gak enak Kei. Rambut kamu itu, kayak setan kunti, lho,” aku memotong kalimatnya dengan membalas kalimat penolakan Keira. Dia benar-benar keras kepala, sama seperti diriku.

Keira memajukan bibirnya. “Iyadeh,” katanya kesal, kemudian gadis kecilku itu langsung berlari menuju kamarnya. Sebelum memasuki kamarnya, gadis itu menoleh ke arahku. “Tapi besok antar aku ke sekolah!” ucapnya lantang lalu memasuki kamarnya, juga membanting pintu kayu berwarna coklat itu.

Aku tertawa. Untuk kali ini, aku ingin membahagiakan puteri kecilku yang galak itu. Mirip seperti ibunya.

[..]

Hai Ayah!

Aku tidak pernah berharap punya balon,
Ayah bersikap lembut padaku, sehari.. saja, itu sudah lebih dari cukup

Kata mereka, kasih sayang Ayah tidak terlihat
Katanya juga, saat aku sedih, Ayah berusaha sekuat mungkin menyembunyikan kesedihannya untukku

Hai Ayah, Ibu sudah tidak ada
Apa Ayah mau bermain denganku?

*Minggu, 16 Oktiber 2016.

[...]

a.n

ini adalah cerpen terakhir. Sehabis ini hany ada puisi random yang jarang update. Last, i wish you like this poem! See ya!

Defi Fitri.

Rangkaian KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang