[1] : Aku Hanya Perlu Memahaminya.

35.6K 2.6K 171
                                    

BIMA, Aledia dan Dirana kompak menatapku berbinar. Oh bukan, ini jelas tatapan menggoda yang paling menjengkelkan.

Sejak dulu.

Saat kami masih mengenakan almamater yang sama, tatapan menggoda mereka akan sangat menyebalkan. Sangat.

"Ayolah, Sya.... Kita, kan, jarang kumpul. Setahun sekali malah. So, izinkan kami melihat suamimu yang tampan itu. Okay?" Kalau perempuan itu memang pandai memersuasi, maka Adelia adalah buktinya. Dia paling gencar memojokkanku hari ini.

Aku melirik Bima, dia menarik sudut bibir atas bagian kanan. Jelas untuk menggodaku. "Marsya payah. Padahal, besok gue mesti balik ke Bukit Tinggi. Gue normal, kok, Sya. Gue punya pacar, ya."

Aku tertawa kecil, tetap berusaha pada pendirianku.

Kini, Dirana gantian menatapku penuh selidik. Alisnya bertaut, berlebihan. "Jangan bilang, kalau suami lo udah ganti." Dia tersenyum mengejek.

"Sialan! Lo kira gue cewek apaan?" Aku mendengus sebal. Mereka ini memang keterlaluan.

Tawa mereka pecah, membuat suasana kafe yang tadinya sepi menjadi sedikit 'ramai'.

Bima. Aku bertemu dengannya saat mencari buku di perpus yang akan kugunakan untuk ujian harian saat itu. Dia juga sedang mencari buku, tetapi dengan judul yang berbeda. Kami berdiri di depan rak buku yang sama, kemudian ponselku berdering nyaring. Nyaring sekali. Dia menertawakanku, kemudian mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya, Bima Wirautama Budiarjo. Aku sedikit terkejut, karena budaya seperti itu belum kutemukan di negara yang terkenal keramahannya ini. Dan, sejak itu, entah bagaimana kami selalu menyempatkan datang ke perpus di jam yang sama. Tanpa perjanjian dan perencanaan.

Mataku melirik Adelia. Dia adalah perempuan yang kutemukan terjatuh di koridor kampus. Mendengar banyak suara tawa yang mengejeknya, aku segera berseru 'Fina', memanggilnya. Hanya supaya mereka berhenti karena tahu kalau dia adalah temanku. Jelas saja, setelah itu aku meminta maaf karena memanggil nama yang salah. Karena nama sebenarnya adalah Adelia Prambunasetya.

Lalu, bagaimana caraku bertemu dengan Dirana? Dia adalah pentolan di fakultas kedokteran seangkatanku. Wajahnya yang sedikit memiliki campuran Tiongkok, terlihat begitu sempuran. Dirana Felicia.

Mereka semua adalah teman kampusku dulu. Teman yang mau menjalani masa-masa sulit semester akhir dan bagaimana rasanya menunggu dosen pemimbing. Dan, kini kami semua memiliki kesibukan masing-masing. Bima bertugas di Balik Papan setahun setelah wisuda. Dirana harus ke Palembang mengikuti suaminya. Dan, Adelia memilih Riau sebagai tempat mengabdi pada suami dan juga masyarakat.

"Well," Aku memecahkan keheningan. Mereka serempak menatapku penasaran. "Dia bakalan jemput. Tapi, dia nggak seramah dulu. Jangan kaget, ya?"

"Maksudnya? Setelah menikah dia jadi nunjukin sifat aslinya gitu?" Dirana memang sangat skeptis dalam hal apa pun.

Aku menggeleng kuat. "Dia akhir-akhir ini capek banget. Tahu sendiri, kan, kerjaan dia kayak apa."

Aku membaca pesan yang dia kirim, sekali lagi. Hanya ingin memastikan kalau dia benar-benar mau menjemputku kali ini. Mungkin, pekerjaannya nggak terlalu banyak, jadi dia nggak perlu lembur.

Sembari menunggu dia datang, aku dan teman-teman kembali berbincang seputar kehidupan baru kami. Tempat tinggal mereka yang sedikit berbeda, dan itu memerlukan usaha untuk bisa beradaptasi. Bima yang menyalahkan kami karena sudah menikah, dan itu membuat ibunya selalu mendesak meminta seorang menantu.

Selama perbincangan ini, aku merasa sedikit rileks. Oh bukan, sangat rileks. Otakku terasa sangat damai. Di dalam dada sini, terasa hangat dan nggak sesak seperti biasa. Aku sedikit bahagia.

Adalah KAMU (The Badass Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang