1 : Makan Malam

1.8K 76 5
                                    

"BUNDA! Tebak, Jingga bawa apa?" teriak Jingga saat sampai di rumah. Rumah mungil ini, dihuni oleh Jingga dan Bundanya, dan satu orang asisten rumah tangga. Jingga senang kalau Bundanya sudah tiba di rumah seusai Bundanya kerja.

Bunda tersenyum hangat melihat anak satu-satunya ini, membawa dua kantung kresek berisikan makanan. "Bawa makanan apa, Ji? Wah, cocok dong Bunda lagi nggak masak nih. Bunda abisan capek, abis kerja."

Jingga terkekeh. "Jingga bawain Bunda soto ayam. Kesukaan Bunda, ini juga dibeliin sama Langit," tuturnya heboh seraya membuka plastik tersebut dan segera menuangkannya ke mangkuk. "Langit, bantuin dong!"

Bunda tersenyum. "Ayok, Nak Langit, makan bareng sini. Bunda sudah lama nggak ngeliat kamu, Langit."

"Ah, Tante! Bisa aja, malah Langit udah sering ngeliat Tante," Langit cengengesan, Jingga mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan ucapan pacarnya itu.

"Lho? Kamu ngeliat Tante di mana?"

"Langit 'kan punya jurus ngeliat orang dari jauh, jadi di mana pun Tante berada, Langit bisa melihat Tante. Juga, Langit bisa ngeliat anak Tante yang kerjaannya cuma main PS di rumah. Asal Tante tau aja, selama Tante kerja si Jingga kerjaannya main PS. Malah ngajak Langit, Tan—"

Jingga segera mengatupkan mulut bawel Langit secepat mungkin. Kenapa si kampret Langit membuka kartu? Sialan si Langit. "Ng-nggak kok, Bun! Langitnya aja yang ngarang. 'Kan Jingga rajin belajar dan patuh sama Bunda, Mm-mana mungkin Jingga kerjaannya main PS, toh Jingga juga suka bantu Budhe Indri buat ngepel sama ngerjain yang lainnya."

"Jingga boong tuh, Tan! Setiap hari 'kan Jingga selalu maksa Langit buat nemenin dia nonton film atau nggak main PS, atau enggak Jingga setiap jam lima pasti ngajakin Langit ke bukit belakang sekolah. Itu pasti, Tan!" ucap Langit menggebu-gebu, lagi membuat Jingga semakin kesal dengan ulah Langit yang bawelnya kebangetan.

Jingga melebarkan matanya, dan kemudian berusaha memukul bahu Langit saat itu juga. "Lo kenapa buka kartu gitu di depan Bunda sih? Nanti malah gue nggak dianggap lagi sebagai anaknya!"

Bunda tertawa. "Apaan sih, Ji. Bunda tetap anggap kamu sebagai anak kok, sayang. Dan soal cerita Langit, emangnya beneran?"

"Iya, Tan! Beneran, ini aja kita abis ngeliat sunset di bukit belakang sekolah. Kebiasaan Jingga yang nggak pernah berubah dari pas pertama pacaran. Langit kadang suka bingung, Tan, kenapa Jingga suka banget berdiri tahan satu jam ya di sana?"

Jingga memicingkan matanya saat Langit asal berbicara. Kadang Jingga juga kesal sendiri melihat Langit yang begitu antusias membuka kartu kepada Bunda. Langit nyebelin!

"Tante juga suka kok, tapi nggak sampai terobsesi banget kayak Jingga. Dulu, saat Tante lagi mengandung Jingga. Tante sama almarhum Om juga suka ngeliat sunset, ya semenjak ngelahirin Jingga aja, jadi Tante belum sempat ngeliat sunset lagi," tutur Bunda dengan antusias. "Kalau sekarang juga nggak akan bisa, selain sibuk dengan kerjaan, Tante ini 'kan udah tua, mana kuat naik ke bukit."

Langit tertawa, Bunda juga tertawa mendengar peluturan itu. Tapi Jingga hanya menggelengkan kepalanya maklum. Tapi, kenapa Langit dan Bunda terlihat akrab kayak gini? Sementara anaknya sendiri sampai dilupakan? Anaknya sebenarnya siapa ya? Langit atau Jingga? Ah, lupakan, memang sudah terbiasa kok.

"Ya udah lah, kelamaan mengobrol jadi lupa makan. Ayok, Nak Langit, kita makan bareng soto ayamnya. Wah ini kesukaan Tante juga."

Langit terkekeh dan kemudian mengambil sepiring nasi lengkap dengan kuah soto yang sudah mengepul di atas permukaan mangkuk. "Jingga pake kol nggak? Oh iya lupa, Jingga 'kan nggak suka kol ya. Ya udah kolnya buat Langit ya?"

Jingga tersenyum. "Ya udah buat Langit aja kolnya. Ah ya, Bun, besok Jingga sama Langit dari sekolah ada kegiatan buat ke Jakarta, Bunda nggak apa-apa 'kan, Jingga tinggal sendiri? Dua hari aja kok Jingga ke Jakartanya."

Bunda mengangguk. "Iya, nggak apa-apa. Masih ada Budhe Indri kok yang nemenin Bunda. Hati-hati ya, Ji. Dan Langit, tolong jaga Jingga."

"Siap, Tante," Langit menyunggingkan senyumnya dan memberi hormat kepada calon mertuanya tersebut.

Langit Berwarna JinggaWhere stories live. Discover now