Beberapa saat Shilla masih tak bergerak menatap sosok di depannya. Airmata nya jatuh, tanpa ia mengedipkan mata.
"Kak Iyel?" Sekali lagi ia memanggil nama itu. Suara nya tiba-tiba serak seperti ada yang menyangkut di tenggorokannya.
Segala keriduan, berkumpul dan tak terbendung lagi.
Shilla bangun. Ia berdiri, berhadapan dengan Gabriel sambil terus menatap bola mata nya. Pandangan Shilla terhalang lapisan kaca. Dada nya sesak. Banyak yang ingin ia ucapkan. Banyak yang ingin ia lontarkan. Tapi semua tertahan di tenggorokannya, ia tak bisa mengatakan apapun selain menatap mata hangat itu.
"Kak Iyel?"
Gabriel masih saja diam. Ia tak bergerak bahkan tak berkedip. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia tak menyangka gadis itu kembali.
Shilla kembali ke kehidupannya.
Ketika Shilla memperkecil jarak lalu memeluknya, Gabriel mematung sejenak. Kehangatan itu datang, menjalar lagi dalam tubuhnya.
Dan perasaan itu membuat Gabriel perlahan tersadar. Kehangatan ini bukan lah angan semu. Kehangatan ini membuktikan bahwa semua ini nyata. ia tersenyum kecil, mengerjap sekali menghindari beningan yang ia rasa akan mengumpul di pelupuknya.
Tangannya terangkat dan membalas pelukan Shilla. Mendekapnya erat dengan mata terpejam.
"Akhirnya kita bisa ketemu lagi." Gabriel mengusap belakang kepala Shilla. "Gue kangen sama lo ....., Shilla."
***
Pricilla menggigit kuku ibu jarinya saat benda persegi itu menempel ke telinganya. Beberapa detik, sebuah suara terdengar.
Nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif atau sedang ...
Pricilla langsung mematikan hp nya.
Sudah berapa kali ia menelpon Gabriel, tapi hasilnya tetap sama saja, operatorlah yang menjawab. Ia melihat jam dinding di atas tv, lalu menghembuskan napas, gusar. Tangannya tanpa sadar meremat hp nya kuat.
Mana ada mengerjakan tugas di sekolah sampai jam 8 malam begini.
Kemana pemuda itu? Apa terjadi sesuatu?
***
Shilla diam menatap lurus cangkir mocca latte nya. Hidungnya merah, matanya sembab. 10 menit mereka duduk di sana, hanya keheningan yang menyeruak. Gabriel juga memilih diam tak bersuara. Ia mengerti perasaan Shilla, ia hanya membiarkan gadis itu untuk menenangkan diri sejenak.
"Maaf, karena nggak bisa dateng ke pemakamannya."
Gabriel menatap Shilla yang airmata nya kembali mengalir.
"Udah berapa kali lo ngucapinnya. Udah, Shilla. Nggak papa, keadaan lo nggak memungkinkan untuk dateng."
Tangan yang di genggam oleh Gabriel membuat Shilla mengangguk, ia mengusap air matanya lalu tersenyum menatap pemuda itu.
"Makasih."
Gabriel ikut mengangguk lalu melepas genggaman tangannya.
"Lo nggak papa jam segini belum pulang? Karena nganterin gue ke makam, lo jadi kemaleman."
"Harus nya gue yang ngomong gitu sama lo. Lo itu cewek, dan jam segini masih berkeliaran di luar."
"Gue udah biasa keluar malem."
Mata Gebriel mendelik. "Apa?"
Shilla langsung mengatupkan mulutnya. Kemudian menyeringai sambil menggaruk tengkuknya.
"Gue nggak aneh-aneh kok. Gue ditemenin sopir keluar malemnya."
Gabriel berdecak, "Abisin cepet minumannya, telpon sopir lo suruh jemput."
"Heish, gue bahkan belum ngomong apa-apa sama lo. Masih banyak yang pengen gue omongin."
"Kita satu sekolah, Shilla. Kita akan sering ketemu."
"Ohya? Gue aja susah untuk nemuin lo."
"Kalo gitu gue yang akan cari lo. Oke?"
Shilla mengerjap. Ia diam sejenak sebelum menarik ke dua ujung bibirnya. Kemudian ia mengangguk, menatap Gabriel yang juga menatap nya hangat.
***
"Jadi lo nggak cerita sama Shilla?"
"Ya nggak lah." Sivia menjawab pertanyaan Alvin. "Yang ada dia shock kalo tahu kalian itu siapa."
Alvin menghembuskan napas lega.
"Lo juga sih pake acara ngeluarin senapan segala." Rio yang akan menegak minuman di kaleng soda nya jadi terhenti. "Nembak dari jarak jauh lagi. Lo sengaja mau nunjukin identitas lo ke Shilla?"
"Ya nggak." Rio tidak jadi minum malah meletakan kaleng nya di atas meja. "Nggak ada pilihan lain untuk ngebuat mobil itu berhenti selain nembak ban mobilnya. Itu situasi kepepet, ngerti?"
Sivia berdesis. "Gue nggak tahu nyampe kapan gue bisa nutupin hal ini dari Shilla."
Alvin dan Rio saling berpandangan.
"Shilla nggak sebodoh yang kalian kira. Bahkan dia udah nyerempet nyebut kalian pembunuh bayaran, bukannya pekerjaan kalian bisa di sebut kaya gitu."
"Haish ya nggak lah. Jangan samain kita kaya penjahat." Rio masih tetap membela diri.
"Apa bedanya mafia sama penjahat, hah?"
"Beda kan, Vin?" Rio menoleh pada Alvin yang langsung mengangguk.
"Beda lah. Tulisan dan cara baca nya aja beda."
"Bodoh." Sivia menggeram kesal. "Pekerjaan kalian itu nggak ada baik-baik nya. Meski target kalian itu selalu orang jahat, tapi sama aja kan cara kalian salah. Ngebobol keamanan mereka, nyari tahu informasi mereka, dan nembakin mereka gitu aja. Kalian sama aja kaya target kalian tahu nggak, penjahat."
"Is, Vin, bawa dia keluar gih. Pening telinga gua."
"Bego! Kalo pening itu kepala, bukan telinga! Ya udah lah, gue mau pulang."
Alvin menoleh. "Mau gue anter?"
"Pake nanya lagi. Kalo mau cewek lo ini diculik orang, nggak usah dianter. Dasar!"
Sivia beranjak dari duduk nya lalu keluar dari rumah Rio, tanpa pamit atau berkata apapun.
"Hah, lagi PMS kaya nya dia."
"Udah gih buruan kejar." Rio menggerakan dagunya, menyuruh Alvin segera beranjak.
Alvin pun menghembuskan napas lalu berdiri, menyambar kunci mobilnya di atas meja dan berlari keluar mengejar Sivia.
***
Cakka menghentikan langkahnya setelah keluar dari ruang rapat. Ia menatap lurus koridor kosong di depannya. Membayangkan apa yang di lihatnya sore tadi di sekolah.
Saat ia akan menyusul Gabriel yang izin ke toilet, ia malah menemukan pemuda itu sedang memeluk seorang gadis, yang dikenal nya, Shilla.
Bahkan setelah itu, Gabriel malah mengajak Shilla ke makam ibu pemuda itu.
Ada hubungan apa mereka sebenarnya?
Sedekat apa?
Cakka menghembuskan napas, kembali melangkah meninggalkan koridor itu.
Jarak beberapa meter di belakang Cakka berhenti, Ray dan Agni memandang punggung Cakka yang mulai menjauh.
Agni mendengus, "Coba aja dia pake cara gue supaya dia deketin Shilla, kita kan bisa ngegali informasi Gabriel dari cewek itu."
Ray berdecak, menatap Agni kesal. " Lo kurang jelas alasan Cakka ya? Dia itu nggak mau pake perasaan. Kalo Shilla beneran jatuh cinta sama Cakka, kasihan Shilla nya. Lo kan cewek, masa iya nggak paham sih? Kalo lo dimanfaatin cowok yang lo suka, sakit hati nggak lo?"
Agni menipiskan bibirnya, tanpa menjawab, ia membuang muka lalu melangkah meninggalkan Ray.
***
Pricilla membuka mata nya perlahan karena merasakan usapan di kepalanya. Saat ia dapat melihat jelas, ia langsung terkesiap dan duduk secara spontan.
"Gabriel?"
Pemuda itu tersenyum.
Pricilla melihat sekelilingnya. Ia sudah di kamar, ia rasa tadi ia ada di sofa depan tv, menyenderkan punggung nya sambil menelpon Gabriel. Tapi sekarang?
Pricilla menatap Gabriel yang duduk di bibir ranjang.
"Kamu .... baik-baik aja?"
Gabriel mengangguk, ia mengusap kepala Pricilla sambil tersenyum kecil.
"Tidur lagi ya, ini masih malem."
"Kamu kemana? Kenapa hp kamu nggak bisa dihubungi? Aku khawatir, aku kira kamu kenapa-napa tadi."
"Aku nggak papa." Gabriel menjawabnya lembut. "Aku .... abis ke makam Mama, abis itu pergi makan sebentar. Hp aku lowbatt, dan nggak bawa charger, maaf udah buat kamu khawatir.
Pricilla menghembuskan napas lega. Ia langsung memeluk Gabriel dan membenamkan wajahnya di dada bidang itu.
"Nggak papa, yang penting kamu baik-baik aja."
Gabriel tersenyum lalu mengusap kepala Pricilla.
Meski ia tidak berbohong, entah kenapa ada secuil perasaan bersalah karena tidak mengatakan seluruh nya. Ia memang ke makam ibunya dan pergi makan malam, tapi ia tidak mengatakan bahwa ia pergi bersama gadis lain.
Gabriel mengeratkan pelukannya sambil menutup mata nya.
"Maaf,"
Ia berucap lirih.
Kata itu tulus dari hati nya karena menyembunyikan sesuatu dari gadis itu, tapi Pricilla justru mengangguk karena mengira kata itu adalah permintamaafan telah membuat nya khawatir.
"Nggak papa, aku ngerti kok."
***
Shilla berdiri di pinggiran koridor sekolah, menyenderkan punggung nya di salah satu tiang sambil memandangi lapangan basket. Sudah lima menit ia di sini, namun orang yang ia tunggu tak kunjung lewat.
Saat langkah kaki terdengar mendekat, Shilla menyembulkan kepalanya menoleh ke belakang. Ia refleks tersenyum saat yang ia tunggu akhirnya datang.
"Kak Cakka?"
Cakka yang hampir melewatinya berhenti. Ia menoleh sekilas lalu memalingkan wajahnya lagi menatap depan.
"Kenapa?"
Shilla tersenyum. "Berarti bener lo sering ngelewatin koridor ini. Entah itu ke toilet atau ke perpustakaan. Jadi kalo nungguin lo, di sini aja kali ya?"
"Kenapa?" Masih dengan nada yang sama Cakka bertanya lagi.
"Ah iya. Gini, sekretaris perusahaan gue pengen ngundang lo makan malam. Sebagai tanda terima kasih karena lo udah nyelametin uang perusahaan."
"Nggak perlu repot-repot. Rio yang nyelametin uang perusahaan lo itu. Ajak Rio aja."
"Rio emang diundang juga."
Cakka menoleh lagi.
Jadi maksud Shilla ia akan duduk satu meja dengan Rio?
Oh itu gila. Bisa jadi justru salah satu diantara mereka akan saling menodongkan pistol di tengah acara makan malam nya. Rio susah mengontrol emosi, dan dia juga benci dengan pemuda itu.
"Kak?"
"Gue nggak ikut."
Cakka berjalan meninggalkan Shilla, tapi gadis itu justru mengikutinya.
"Ayolah, sekretaris gue pengen banget ketemu sama lo. Dan juga Rio. Please," Shilla mengatup kan tangan nya sambil terus mengikuti langkah Cakka.
Namun langkah Cakka tiba-tiba berhenti. Entah kenapa ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul di otaknya.
"Siapa aja yang ikut?"
Shilla menaikan kedua alis kaget. Namun ia buru-buru sadar lalu berpikir sejenak, "Gue, Rio, sekretaris gue, manager gue, dan satu orang lagi. Namanya Gabriel."
Cakka memalingkan wajahnya samar.
Sesuai dugaan. Pemuda itu juga diundang.
"Lo datang kan?"
"Kapan acaranya?"
Shilla tersenyum lebar saat pemuda itu mulai tertarik. "Nanti malem. Tapi kalo lo nggak bisa, kita bisa pindah hari."
***
Malam itu juga, Cakka memenuhi undangan Shilla. Bukan karena apa, ia ikut karena ada Gabriel di sana. Ini kesempatan untuk mengetahui apa hubungan mereka. Ada hubungannya kah Shilla dengan organisasi itu? Atau tidak sama sekali.
Rio yang duduk di sampingnya terus menatap nya tak suka. Tapi ia tak peduli. Ia tak ingin mengacaukan rencananya hanya karena meladeni perang mata yang dilancarkan Rio.
"Gue nggak tahu kalo lo yang nyelametin Shilla."
Cakka menoleh pada Gabriel yang duduk di depan nya, sekaligus di samping Shilla.
"Gue juga nggak tahu kalo lo kenal sama Shilla."
"Ah, jadi Gabriel ini yang lo cari berhari-hari itu, Shil?" Rio juga angkat suara, membuat Shilla menoleh lalu tersenyum.
"Iya, gue ketemu sama dia kemaren."
Rio menipiskan ujung bibirnya.
"Jadi, kalian ini pacaran atau-"
"Bukannya lo udah punya pacar?" Cakka bertanya cepat. Membuat mereka menoleh ke arahnya dan membuat Gabriel mematung seketika. "Yang sering nganter jemput lo itu."
Shilla menoleh pada Gabriel dan menatap nya penuh tanya.
Ini hal yang baru ia ketahui. Gabriel belum mengatakan nya kemarin.
"Kalo bukan pacar, berarti kalian?"
Gabriel diam, ia tak menjawab beberapa saat karena bingung harus mengatakan apa.
Sedangkan Cakka sendiri menatap lurus Gabriel, terus menunggu jawaban pemuda itu hingga tepukan tangan dari Rio menyentak mereka.
"Bagus lah kalo lo udah punya pacar. Berarti Shilla jomblo dong?"
Cakka berdecak samar. Orang ini mengganggu saja, padahal Gabriel tadi sudah sedikit membuka mulutnya akan bicara.
"Emang kenapa kalo gue bukan pacar Shilla? Lo mau deketin dia?"
Rio menyeringai, "Nggak gitu, gue kan deket banget sama Shilla, kalo lo pacar nya kan bisa panjang urusannya, lega aja karena malam ini gue nggak akan di intrograsi sama lo."
Gabriel memalingkan wajahnya.
"Jadi kalian ini .... cuma temenan?"
"Kepo banget deh lo. Yang penting kan mereka nggak pacaran."
Rio yang menjawab membuat Cakka menoleh dan menatap pemuda itu kesal.
"Apapun itu Gabriel adalah orang yang berharga buat Shilla, itu kebukti dari dia yang terus nyari Gabriel tiap hari. Shilla itu pengen nanya kenapa dulu Gabriel ninggalin dia. Iyakan, Shil?"
"Rio apaan sih, jangan dibongkar dong." Ia melirik sekilas pada Gabriel yang kini menatap nya. Tentu saja pemuda itu kaget, ia belum mengatakan apapun sejak mereka bertemu, tapi Rio sudah bicara duluan tentang hal pokok yang ingin dia tanyakan.
"Ninggalin? Jadi kalian dulu pernah ketemu terus kepisah?"
"Bisa jadi."
Lagi-lagi Rio yang menjawab. Dan itu membuat Cakka menggertakan rahangnya dan mengepalkan tangannya, menahan agar tidak melubangi kepala Rio dengan pistol di balik rompi kemejanya saat ini.
Kedatangan 2 orang pria dewasa yang ia yakin sekretaris dan manager Shilla itu membuat mereka menghentikan obrolan mereka.
"Senang bisa ngeliat kalian." Satu orang yang duduk di kepala kursi menatap Cakka dan Rio.
"Iya, paman. Yang di depan Shilla nama nya Rio, dan di sebelahnya ada kak Cakka."
Orang yang dipanggil paman oleh Shilla itu mengangguk,
"Nama saya, Irfan. Adik kandung Papa Shilla sekaligus manager Shilla, dan ini ada pak Yogi, sekretaris perusahaan yang memanggil kalian kemari."
Cakka dan Rio mengangguk.
"Gabriel?"
Gabriel menoleh pada Paman Irfan yang memanggil.
"Senang ngeliat kamu lagi."
Gabriel mengangguk, tanpa ekspresi apapun.
"Kalo gitu, kita pesan makanan nya."
Paman Irfan mengangkat tangannya akan memanggil pelayan saat sebuah tembakan terdengar membuat pajangan kaca di restoran itu pecah.
Para pengunjung berteriak kaget, temasuk Shilla yang refleks menutup kedua telinga nya.
Rio dan Cakka langsung mencari sumber tembakan itu, dan dia mendapati segerombol orang dengan penutup kepala dan pistol di tangan mereka masuk ke dalam restoran.
Semua orang langsung mengangkat ke dua tangannya. Tapi tidak untuk Rio, Cakka dan Gabriel.
"Untuk apa mereka ke sini? Ini restoran, bukan bank atau toko perhiasan. Mereka mau makan gratis dengan cara kaya gitu?"
"Lo bisa diem?" Cakka mengingatkan Rio yang mengomel. "Ini masalah serius, bukan waktu nya bercanda."
"Lo kan agen FBI," Rio berujar dengan sedikit berbisik. "Bukannya hal kaya gini masalah sepele buat lo."
"Tutup mulut lo dan bantu gue."
"Heish!" Rio berdecak, ia sudah dimarahi dan sekarang diperintah pula. Jika Shilla tidak ada di sini, ia tidak akan sudi membantu orang ini.
Rio dan Cakka menatap orang berpakaian hitam itu. Mereka berjumlah 8 orang, meski Cakka membawa pistol sekarang, tapi mereka yang ada di meja ini kecuali Rio akan curiga padanya jika ia mengeluarkannya.
"Denger!" Salah satu orang diantara mereka bersuara. "Kalo kalian tidak mau terbunuh, ikuti perintah saya. Jangan ada yang bergerak dan keluarkan hp kalian semua!"
Mereka semua menurut. Termasuk orang yang ada di meja Shilla. Mereka mengeluarkan hp mereka dan meletakannya di atas meja.
Namun tak lama, Rio beranjak dari duduknya tanpa beban. Membuat sekelompok orang itu kompak menodongkan pistol mereka ke arah pemuda itu.
"Wow!" Rio sempat tersentak dan refleks mengangkat kedua tangannya.
"Gue cuma mau ke toilet. Kalian nggak mau kan kalo gue kencing di sini?"
Shilla berdesis melihat kelakuan Rio.
Haruskah sekarang pemuda itu bersikap konyol?
Jantungnya bahkan nyaris lepas saat mereka semua menodongkan pistolnya tadi ke arah Rio.
"Anter dia." Orang tadi menyuruh salah satu bawahannya mengantar Rio. Dengan pistol yang mengarah ke punggungnya, Rio berjalan ke kamar mandi diikuti penjahat tadi.
Cakka yang melihat Rio melancarkan rencana nya dengan mulus, membuat nya sedikit lega. Ia melihat ke arah Gabriel, tatapan pemuda itu sulit diartikan. Dia terus menatap hp nya di atas meja sambil memikirkan sesuatu.
Apa dia akan memanggil teman-temannya dari organisasi itu? Atau apa?
"Cakka?"
Cakka terkesiap saat Gabriel tiba-tiba memanggilnya.
Pemuda itu mengangkat kepalanya dan menatap Cakka.
"Lindungi Shilla."
Cakka mengernyit.
Namun pandangan nya seketika teralih saat orang bertopeng tadi keluar dari toilet, bersamaan dengan orang yang menghampiri meja nya untuk mengumpulkan hp.
Orang dengan pistol di tangannya itu mengambil satu persatu hp di meja mereka, dari manager Shilla, sekretaris Shilla, kemudian Shilla.
Namun saat orang itu akan mengambil hp Gabriel, Gabriel dengan cepat menangkap tangan itu, memelintir nya lalu merebut pistol itu dan berdiri menodongkan pistolnya pada para penjahat.
"Semua sembunyi di bawah meja sekarang!"
Bersamaan dengan seruan nya, Gabriel langsung menembakan pelurunya ke satu penjahat di sana.
Semua orang menjerit dan langsung menurut bersembunyi di bawah meja, termasuk Shilla, manager dan sekretaris nya.
Penjahat yang akan menembak Gabriel langsung ditembak oleh penjahat lain yang keluar dari toilet tadi. Gabriel sendiri sempat tersentak, namun saat penutup kepala itu dibuka dan menujukan Rio di sana, Gabriel menarik sudut bibirnya.
Penjahat yang akan menyerang Rio seketika tertahan saat sesuatu yang dilempar Gabriel mengeluarkan asap tebal menyelimuti mereka.
"Bom asap?"
Lirih Cakka.
Rio langsung menendangi orang-orang yang ada di dekatnya yang sibuk menutup hidung, begitu juga Gabriel yang meninggalkan meja sambil menembaki mereka.
Itu kesempatan Cakka mengeluarkan pistolnya, ia menambak orang yang akan menyerang Gabriel dari belakang sambil mendekat ke tempat Shilla, agar lebih mudah melindungi gadis itu.
Perang tembak pun terjadi antara mereka bertiga dan para penjahat itu di tengah kepulan asap. Saat semua nya hampir selesai dan hampir mereka bertiga kalahkan, tembakan yang mengarah ke atap membuat Cakka, Gabriel dan Rio berhenti.
Terlebih orang yang menembak tadi sedang menyandera seseroang dengan leher yang dicekik lengannya.
"Berhenti kalian bertiga atau saya tembak kepala wanita ini sekarang juga."
Cakka, Rio dan Gabriel mematung saat pistol diarahkan ke kepala wanita yang disandera itu. Wanita itu sedang hamil besar, dan wajah nya begitu pucat ketakutan.
"Lepasin dia." Cakka mencoba untuk bernegosiasi dengan orang itu, namun disambut dengan tawa remeh penjahatnya.
"Kalian bertiga tadi duduk disatu meja kan? Dengan seorang wanita. Suruh kemari wanita itu dan saya akan lepaskan wanita ini."
Rio dan Gabriel terbelalak.
Shilla yang mendengar itu dari bawah meja menggigit bagian dalam bibirnya.
Takut, tentu saja.
"Kalian tidak merasa iba dengan wanita hamil ini? Bayi di dalam perut nya tidak berkesempatan melihat dunia."
Cakka melirik ke belakang saat merasa Shilla keluar dari balik meja.
"Shilla tetep di sana!"
Seruan Rio hanya membuat Shilla tersenyum. Kekhawatiran nampak jelas dari wajah pemuda itu, begitu juga Gabriel yang menatapnya pucat.
"Gue nggak papa. Bayi itu harus terlahir, dia nggak salah apapun." Shilla menatap perut besar dari wanita yang dicekik lehernya dengan lengan penjahat itu.
Shilla berjalan, namun badan Cakka bergeser menghalangi nya saat ia akan melewati pemuda itu.
Shilla mengerjap, menatap punggung Cakka lalu menatap bagian belakang leher pemuda itu.
Shilla tersentak saat tangan Cakka menangkup pergelangan tangan nya dari belakang tubuh pemuda itu.
Ada sesuatu yang merayap di hati Shilla. Menggelitik perutnya dan memompa jantung nya berdegup kencang.
"Cepat kemari!"
Cakka meremat genggaman nya pada pergelangan tangan Shilla.
"Dengerin gue."
Shilla yang tadi menatap tangan Cakka langsung mendongak saat Cakka berkata lirih.
***
Rio hampir saja berteriak saat Cakka membiarkan Shilla melewati pemuda itu.
Sedangkan Shilla sendiri berjalan pelan ke arah penjahat itu dengan tangan saling meremas takut.
"Dengerin gue."
Shilla mendongak menatap belakang leher Cakka.
"Gue akan nyelametin lo."
Shilla terus berjalan, dengan pelan.
"Lo jangan khawatir, Rio dan Gabriel akan bersiap ngelindungi lo kalo penjahat itu nembak lo saat lo jalan ngehampiri dia."
Shilla melihat Rio dan Gabriel yang ada di sisi kiri dan kanan nya yang berdiri berjauhan. Dua pemuda itu terlihat menodongkan pistolnya dan akan menembak tangan penjahat itu jikalau penjahat itu akan menembaknya saat dia berjalan.
Tapi sayang, penjahat itu tak berniat melepaskan todongan pistolnya yang mengarah pada kepala wanita yang sedang dia sandera.
"Kalo dia nggak nembak lo saat jalan dan tetep nunggu lo sampai ngehampiri dia, gue cuma minta lo ngelakuin satu hal."
Shilla terus berjalan dan semakin dekat dengan penjahat itu. Lengan yang mencekik wanita hamil itu perlahan mengendur, siap untuk melepaskan nya dan akan ganti menyanderanya.
"Kalo penjahat nya udah ngelepas wanita hamil itu dan akan nyandera lo, yang harus lo lakuin adalah..."
Shilla mengatur napasnya. Saat ia benar-benar sudah dekat dan pistol itu sudah mengarah pada kepalanya, wanita hamil itu pun dilepaskan oleh penjahatnya.
"Jongkok saat itu juga."
Saat penjahat itu akan menangkap Shilla, Shilla dengan cepat berjongkok dan detik selanjutnya bahu kanan penjahat yang memegang pistol itu terhentak ke belakang karena tembakan yang dilesatkan Cakka.
Tangan itu seketika melemas dan darah langsung mengucur dari bahunya. Penjahat itu meringis dan memegangi bahunya yang berdarah dengan tangan kirinya.
Saat penjahat itu akan kembali menembak kepala Shilla yang berjongkok di bawahnya, dengan pergerakan cepat Rio menendang tangan yang memegang pistol itu dan Gabriel menarik Shilla untuk bersembunyi di balik punggungnya.
Pistol dari tangan penjahat itu terlempar, dan Rio dengan cepat mininju pipi orang itu kemudian menendang dadanya kuat hingga penjahat itu tersungkur dan akhirnya jatuh pingsan.
Mereka semua menghembuskan napas lega setelah itu. Dan Gabriel langsung memeluk Shilla yang ada di belakangnya dengan erat.
Semua orang yang bersembunyi satu persatu keluar dari bawah meja. Menatapi orang-orang berdarah yang ada di lantai dengan wajah suram.
Manager dan Sekretaris Shilla menghampiri mereka.
"Kami yang akan bertanggung jawab. Kalian berempat lebih baik pergi."
"Tapi, paman?"
"Kalian masih SMA, kemarikan pistolnya dan kita anggap paman dan pak Yogi yang melakukannya."
Pak Yogi mengangguk. Beliau menoleh dan menatapi mereka para pengunjung restoran.
"Semuanya, perhatian! Kami mohon kerja samanya untuk tidak mengadukan mereka bertiga pada polisi. Bilang kami lah yang melakukan pembunuhan pada penjahat ini."
"Tidak ada yang meninggal."
Mereka semua menoleh, pada orang dewasa berkaca mata yang duduk jongkok di dekat salah satu penjahat yang terkapar.
"Saya dokter. Ini bukanlah pembunuhan, saya sudah memeriksanya dan mereka semua masih hidup. Mereka ditembak bukan pada bagian vital nya."
Mereka para pengunjung, semua nya menoleh takjub pada ketiga pemuda yang berdiri dengan santai. Di tengah keadaan yang terdesak, mereka bertiga bisa menembak tanpa harus melukai bagian vitalnya.
"Tetap saja. Kalian masih SMA, lebih baik kalian pergi dan ini akan jadi tanggung jawab kami." Pak Irfan kembali berbicara.
Mereka bertiga mengangguk.
"Hapus sidik jari kalian di pistol itu."
Perintah Cakka membuat Pak Irfan dan Pak Yogi mengerjap. Mereka berdua bahkan tak berpikir sampai sana.
Tapi tidak untuk Gabriel dan Rio, mereka mengangguk dan dengan cekatan menghapus sidik jari mereka yang kemungkinan akan timbul.
Setelah itu, mereka menyerahkan pistol itu pada Pak Irfan dan Pak Yogi, kemudian keluar dari restoran itu dengan Gabriel dan Shilla di depan serta Cakka dan Rio berjalan beriringan di belakangnya.
"Dasar FBI, inget aja hal-hal yang begituan."
Cakka menoleh pada Rio yang menggumam.
"Gue rasa lo yang paling berpengalaman dalam hal ini, mengingat lo mafia kelas kakap yang nggak pernah ninggalin bukti."
Rio merapatkan bibirnya lalu berpaling.
"Kak Iyel, sejak kapan bisa ngegunain pistol?"
Gabriel berhenti lalu menoleh, begitu juga Cakka dan Rio yang menatap ke depan.
"Gue, belajar. Gue sering latihan nembak dulu."
Shilla mengangguk. Ia sudah tahu Rio ahli menembak, dan Cakka pun pasti bisa mengingat dia anggota FBI. Tapi untuk Gabriel, ia baru tahu malam ini.
Shilla menghembuskan napas pelan.
Ia heran, mengapa ia dikelilingi oleh orang-orang yang ahli menggunakan pistol?
Semoga saja ia tak tertembak karena selalu disekitar mereka.
"Gue nggak nyangka kalo kalian berdua juga hebat dalam nembak." Gabriel menatap Cakka dan Rio bergantian.
"Ya, sama kaya lo. Kita belajar. Iyakan?"
Rio menoleh pada Cakka yang langsung diangguki pemuda itu.
"Gue nggak nyangka kalo lo nyamar jadi penjahat tadi." Shilla menatap Rio yang langsung menyeringai.
"Itu ide gila dari Cakka. Dia nyuruh gue ngelumpuhin satu penjahat di toilet, disuruh ngambil pistolnya dan nyamar jadi penjahat itu, supaya gue bisa ada di tengah-tengah mereka dan mudah ngelumpuhin mereka sekaligus. Bukannya dia gila." Rio menunjuk Cakka. "Dia ngebahayain nyawa gue."
Cakka menatap tajam Rio.
Sialan memang!
Padahal pemuda itu tadi bertanya padanya bagaimana dia bisa mengambil satu pistol dari mereka karena pemuda itu lupa membawanya.
Dan ia langsung memberitahu ide itu pada Rio sekaligus rencana nya mengalahkan mereka.
Meskipun sedikit berubah, karena ikut andilnya Gabriel yang tidak ia duga.
Shilla menatap Cakka. Perlakuan singkat pemuda itu tadi yang justru teringat. Perlakuan yang cukup membuat hatinya berjungkir balik sekarang.
Saat Rio dan Gabriel kembali melangkah, Cakka yang juga akan melangkah ditahan oleh Shilla.
"Kak Cakka." Shilla diam menunduk, menatap tangannya yang menggenggam lengan Cakka. "Soal tadi-"
"Gue pulang duluan."
Seruan Cakka membuat Rio dan Gabriel berhenti dan berbalik ke belakang.
"Ada yang harus gue kerjain."
Tanpa menoleh, ia melepaskan tangan Shilla dari lengannya. Kemudian Cakka melangkah, meninggalkan mereka dan berjalan cepat menuju mobil nya.
Shilla masih terdiam di tempat. Ia mengerjap menahan perih.
Tadi saat ia sedang terancam, ia benar-benar merasakan Cakka yang begitu melindunginya.
Tapi sekarang, Cakka bersikap seolah tak peduli.
Apa mungkin hanya ia yang kegeeran?
Akankah Cakka bersikap sama saat yang akan disandera tadi bukan dirinya?
Shilla menatap lengan yang beberapa saat lalu digenggam Cakka.
Dari genggaman tadi, hanya perasaan nya saja, atau memang Cakka tadi benar-benar takut ia dalam bahaya?
***
"Bom asap?"
Cakka mengangguk saat Mr. Duta mengulangi laporannya.
"Orang itu, bisa-bisa nya membawa bom di tengah acara makan malam."
Cakka hanya terdiam.
"Terus, hubungan mereka?" Ray membuat semua orang menoleh kembali pada Cakka.
"Nggak terlalu banyak yang gue tahu karena ada pengganggu di sana. Yang pasti, Shilla nggak kelihatan ada hubungan sama organisasi itu. Dia terlihat nggak tahu apa-apa. Mereka teman lama yang baru ketemu. Dan keliatannya, Gabriel sangat sayang dan berusaha untuk ngelindungi Shilla."
"Bukannya itu bagus, kita bisa jadiin Shilla sandera kalo kita nggak bisa nangkap Gabriel." Agni mengeluarkan pendapat nya yang diangguki sebagian orang.
"Lo yakin FBI akan ngegunain cara kotor itu?" Ray menatap sengit Agni yang dibalas decakan kesal.
"Kita itu FBI, badan intelegent Amerika. Menyandera seseorang, bukanlah cara kita. Ngerti?"
"Gue setuju sama Ray, masih banyak cara lain."
Pendapat Cakka mendapat anggukan dari Mr. Duta.
"Oke, setidaknya kita menemukan lagi orang yang sangat disayangi target. Setelah Pricilla, kini ada Shilla. Dan beruntungnya kali ini orang itu satu sekolah dengan Cakka. Akan lebih mudah untuk kita mengawasi mereka."
Mr. Duta menegakan punggung nya menatap Cakka tegas.
"Jangan sampai lengah, Cakka."
Cakka mengangguk.
***
"Bisa-bisa nya lo terlibat hal begituan lagi."
Rio yang memegang hp nya ke telinga mendasah lalu bersender pada badan kursi.
"Gue juga heran tahu nggak. Padahal gue niat nya kan cuma makan."
"Mungkin lo dikutuk untuk selalu sial."
"Lucu." Rio menjawabnya dengan nada datar, membuat Alvin tertawa dari sebrang sana. Rio yang melihat Shilla dari kejauhan langsung menegakan duduknya.
"Ya udah, Shilla dateng. Kita lanjutin besok."
Setelah itu Rio memutus sambungan telponnya. Dan Shilla duduk di depannya setelah beberapa menit yang lalu ia izin ke toilet.
"Siapa?"
"Alvin."
Rio meletakan hp nya di atas meja. "Gue cerita masalah perampok tadi."
"Oh," Shilla mengangguk.
Kali ini mereka ada di cafe. Pergi makan karena acara makan malam tadi gagal total dan malah berubah jadi adegan tembak-tembakan.
Mereka hanya berdua. Cakka pergi, dan Gabriel meminta izin untuk pulang lebih dulu.
"Yo?"
Rio yang akan menyuapkan makanan nya terhenti sejenak, kemudian menatap Shilla dengan alis terangkat.
"Kenapa?"
"Makasih udah nyelametin gue. Kalo lo nggak nendang tangan penjahat tadi, gue pasti ke tembak."
"Nggak juga."
Shilla mengangkat kepalanya menatap Rio yang memasukan makanannya ke dalam mulut lalu mengunyahnya.
"Waktu gue nendang tangan penjahat itu, gue sempat lihat Cakka akan nembak penjahat itu lagi. Jadi kalau pun gue nggak nendang tangannya, lo akan tetep selamat karena Cakka."
Shilla bergeming. Ia mengerjap sekali lalu menundukan kepalanya.
Lagi-lagi ia harus teringat pada perlakuan pemuda itu.
"Lo tahu?" Rio menelan kunyahannya lalu terdiam sebentar sambil menatap Shilla. "Gue mati-matian untuk nggak nembak kepala penjahat tadi. Meskipun gue tahu resiko nya wanita hamil tadi juga bisa ketembak, tapi rasa peduli gue ke orang lain serasa hilang saat lo jalan mendekat ke arah penjahat tadi. Jangan ulangi itu, jangan buat diri lo dalam bahaya. Ngerti?"
Shilla tersenyum. "Tapi tadi itu seru tahu."
"Heish!" Rio menjatuhkan sendoknya ke atas piring lalu bersender pada kursi, menatap Shilla jengkel.
"Gue hampir mati jantungan dan lo bilang itu seru? Perlu lo tahu, pistol yang ditodongin ke ke kepala lo itu udah aktif. Sekali jari penjahat tadi narik pelatuknya, kepala lo bisa berlubang."
Shilla tertawa melihat ekspresi Rio, yang menurut nya sangat lucu saat khawatir seperti ini.
"Gue nggak akan mati kalo ada kalian. Gue percaya itu."
"Kita bukan Tuhan, Shilla."
Kali ini nada suara Rio berubah serius, begitu juga raut wajahnya. Dan hal itu membuat Shilla refleks meredakan tawanya, ia berubah diam karena tak biasanya Rio bersikap seperti ini.
"Gue emang akan ngelindungi lo. Gue juga nggak akan biarin lo mati dengan mudah. Tapi gue juga manusia. Gue nggak bisa mastiin lo akan terluka atau nggak setiap saat. Ada kalanya gue nggak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi please, jangan libatin diri lo dalam bahaya lagi. Sumpah, gue nggak mau lo kenapa-napa."
Shilla terhenyak.
Tatapan Rio yang menyorotnya dalam, cara bicara Rio yang terdengar sangat tulus, membuat Shilla kehabisan kata-kata.
Ia hanya bisa mengerjap pelan.
Ia tak tahu Rio bisa berubah serius seperti ini. Dan perkataan Rio tadi, hanya bisa ia jawab dengan anggukan kepala.
Meskipun ia sendiri tidak yakin, apakah ini terkhir kali nya ia terlibat pada kejadian menakutkan seperti tadi.
***
YOU ARE READING
Undesirable to Fall
FanfictionJika bisa, aku ingin memilih kepada siapa aku jatuh cinta. Yang juga mencintaiku, selalu ada untuk ku, dan selalu berjuang untuk ada di sampingku. Tapi...bagaimana jika takdir mengatakan sebaliknya? Sanggupkah aku memasuki hatinya? Sanggupkah aku be...
