Prolog + Part 1. Aksi Mereka

1.5K 57 0
                                    

Prolog



Seorang pria berlari menaiki tangga. Dengan susah payah karena cairan merah terus mengalir di sekujur tubuhnya. Di dada, kaki, dan tangan.

Saat ia menoleh ke belakang ia bersyukur tak ada yang mengejarnya. Ia berlari cepat, berharap saat ia sampai ke atap, helikopter sudah datang menjemputnya.

Pintu itu akhirnya ia raih.

Saat ia melangkah masuk, perlahan langkahnya terhenti, harapannya sirna kala musuh kini duduk tepat di depannya, dan para anak buah yang telah mengepungnya.

Nafas pria itu mulai tersengal, dengan tangan yang berlumuran darah ia memegang dadanya. Berusaha berdiri dengan banyaknya luka di tubuhnya. Angin yang terasa kencang dari atap gedung pencakar langit ini bagaikan jarum yang menusuk kulit nya yang berdarah.

Hingga akhirnya kaki nya melemas, jatuh dan menopang tubuhnya dengan lututnya.

Tawa orang lain di depan nya berderai, beranjak dari duduk nya lalu melangkah mendekat.
"Aku sangat kecewa padamu. Padahal aku sangat menyukai cara kerja mu."

Orang itu menelan saliva nya, melirik sekitarnya yang telah di kelilingi orang yang menodongkan senapan padanya.

Sekilas orang itu menarik sudut bibirnya. Ia tak akan selamat kali ini.

Saat kaki berhenti di depan nya, ia mendongak.

"Kamu terlalu banyak tahu, itu sebabnya aku tak bisa membiarkanmu." Orang itu mengambil sesuatu di balik jas nya dan menodongkan ke dahinya, sebuah pistol revolver.

"Ada kata-kata terakhir?"

Orang yang terduduk itu hanya tersenyum tipis.
"Kamu akan kalah suatu saat nanti."

Orang yang memegang pistol itu menurunkan pemicu di belakang laras, mengaktifkan amunisi pistolnya.
"Akan ku ingat kata-katamu."

Telunjuk kanan nya mulai menarik pelatuk pistol perlahan. Dan orang terduduk itu, memejamkan mata di detik kematiannya.







DORRR!!



***



Part 1. Aksi Mereka



8 tahun kemudian . . .



Sepasang kaki dengan sepatu kets hitam putih melangkah sepanjang koridor sekolah nya. Sedikit kesusahan dengan tumpukan buku cetak di kedua tangannya.

Belum juga sampai ke tempat tujuan, tumpukan buku itu sudah melesat ke bawah. Jatuh berhamburan di dekat kakinya.
"Haisss," Gadis itu mendesis kesal.

Ia berjongkok memunguti, menumpuk buku jadi satu dilantai. Sebelum ia selesai, sepasang sepatu juga berhenti di depannya.

Ketika ia mendongak,

"Perlu bantuan?"

Ia mendesah, "Ngeliat keadaan gue apa perlu lo nanya?"

"Siapa tahu lo nggak mau."
Pemuda itu berjongkok dan ikut menumpukan buku itu, lalu mengangkat nya setelah terkumpul menjadi satu.

Gadis itu membenar kan selempangan tas nya sebelum melangkah. Berjalan berdua beriringan lalu berbelok ke arah barisan loker siswa. Mereka berhenti di urutan loker nomor 989 yang langsung dibuka gadis itu.

"Kita bahkan belum belajar, tapi lo udah beli buku sebanyak ini."

"Bawel lo ah." Gadis itu mengambil satu persatu buku yang di bawa temannya lalu menatanya di dalam loker.

Pemuda itu berdecak, menyenderkan bahu nya di loker sebelah gadis itu sambil menatap nya.
"Apa rencana lo hari ini?"

"Gue akan ngelakuin hal yang nggak bisa gue lakuin selama 3 hari mos kemaren."

"Apa itu?"

"Gue akan mulai pencarian."
Gadis itu menutup pintu lokernya lalu menoleh pada pemuda itu dan tersenyum.

"Gue duluan, Rio."

Gadis itu melangkah tanpa peduli Rio yang akan bertanya lagi. Rio hanya mendesah menatap punggung gadis itu kesal.

"Shilla?!"


Gadis itu berhenti lalu berbalik.
Menangkap tas yang dilempar Rio dari jarak nya.

"Titip tas gue, taro di tempat Alvin duduk. Bilangin sama dia gue tunggu di kantin."

Giliran Rio yang berbalik, berjalan santai tak peduli Shilla yang mengerjap kaget.
"Ini mau bel!"

"Sama-sama!"

Shilla menghela napas mendengar jawaban yang meleset jauh dari ucapannya.
Tapi kemudian ia tersenyum, ia mendekap tas itu saat menyadari jawaban itu adalah sindiran halus karena ia belum berterima kasih atas bantuan Rio yang membawakan bukunya.

Ia menggeleng lalu berbalik menuju kelas.



***



Gabriel memakai blezer sekolahnya di depan kaca panjang, menatapi pantulan dirinya sambil merapikan rambutnya.

"Terpesona?" Gabriel melihat cermin, namun bukan ke bayangan dirinya, melainkan bayangan gadis yang berbaring di sofa panjang tepat di belakangnya.

Gadis yang masih berbalut selimut itu tersenyum, beranjak duduk lalu menatap Gabriel yang sedang memakai dasi lewat pantulan kaca.
"Sini aku pakein."

Gabriel berhenti sesaat, tertawa pelan lalu berbalik. Menghampiri gadis itu lalu berjongkok di depan nya.

Tangan gadis itu lalu mengambil alih dasi yang dipegang Gabriel. Mulai membuat simpul tanpa peduli Gabriel yang terus menatapnya.

"Terpesona?" Gadis itu mengulangi pertanyaan Gabriel, dengan nada yang sama.

Gabriel terkekeh lalu memalingkan wajahnya, menunduk kecil melihat tangan lentik itu hampir menyelesaikan simpulan dasinya.

"Kamu mau kemana hari ini?"

"Entahlah, rasa nya aku pengen ngikut kamu sekolah."

"Apa perlu aku absen lagi?"

"Nggak usah, cukup 3 hari kamu nggak masuk."

Gadis itu menarik dasi Gariel hingga mendekati kancing paling atas setelah simpulannya terlihat sempurna. Ia membenarkan kerah Gabriel lalu mendongak.

"Aku bakal jemput kamu nanti."

"Oke." Gabriel beranjak lalu mengambil tas di sofa tunggal, dekat sofa panjang yang gadis itu tiduri.
"Aku berangkat. Pak Karim pasti udah nunggu."

Gadis itu mengangguk.

Setelah mengecup dahi gadis itu singkat, Gabriel memakai sepatu cepat, lalu membuka pintu yang secara otomatis terkunci ketika pintu tertutup kembali. Ia melangkah meninggalkan apartmen yang bertuliskan nama Pricilla di samping pintu.

Berajalan ke arah lift lalu menekan tombol ke lantai dasar. Setelah menunggu beberapa saat, pintu lift terbuka lalu Gabriel masuk ke dalamnya.



***



"Ahh,," Sivia mengibaskan tangan nya di depan hidung. "Lo ngerokok ya?"
Sivia menoleh ke belakang, menatap Alvin yang baru saja duduk di belakangnya.

"Nggak ah."

Sivia berdecak. Hidung nya tak mungkin salah.
Saat Alvin melewatinya, ia dapat mencium bau nikotin dari angin yang ditinggalkan pemuda itu.

Melihat tatapan mematikan yang dilancarkan Sivia, Alvin hanya menyeringai setelah itu menunjuk Rio yang duduk di sebelahnya.

"Dipaksa Rio, sayang."

"Enak aja." Rio memukul jari Alvin yang menunjuk ke arahnya. "Gue nggak maksa, gue cuma nawarin dia mau ngerokok nggak? Eh, ternyata dia mau."

Sivia menyipit,

"Sumpah!" Rio mengangkat tangannya, mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah.

Dan detik selanjutnya,

"Akhh..." rintihan Alvin seketika menjadi pusat perhatian satu kelas karena telinganya dipelintir oleh Sivia.

"Ampun, Via. Ampun!"

"Gue kan udah bilang jangan ngerokok di sekolah. Kita ini masih siswa baru, nggak usah kebanyakan tingkah."

Rio tertawa, sedangkan Shilla yang duduk di samping Sivia hanya menggelengkan kepala. Pertengkaran yang selalu saja ia lihat sejak 3 hari yang lalu ketika mereka masih MOS.

Rio, Alvin dan Sivia sudah berteman sejak mereka kecil. Dulu mereka bertetangga, sempat dipisahkan karena Alvin yang pindah rumah saat Alvin duduk di kelas 4 SD. Namun saat SMP mereka bertemu kembali. Lalu Alvin dan Sivia mulai berpacaran saat mereka duduk di kelas 2 SMP.

Dan selama itu mereka terus bersama hingga SMA, satu kelompok saat MOS dan satu kelas juga saat kelas 1 SMA ini. Ia baru betemu mereka 3 hari yang lalu saat MOS karena kebetulan satu kelompok dengan mereka. Sivia yang menyapa nya lebih dulu dan mengajaknya berteman, membuatnya ikut mengenal mereka berdua. Sudah tidak lagi kaget melihat pertengkaran itu. Ia sendiri bingung, bagaimana bisa mereka berdua bertahan selama 2 tahun.


"Lo mau ngelakuin pencarian apa sih?"

Shilla menyeret pandangannya pada Rio yang duduk di belakangnya. Pemuda itu menopang dagu sambil menatap nya penasaran.

"Kucing lo nyasar di sini?"

"Nggak lah, gue nggak punya kucing."

"Oh, jangan-jangan lo nyari harta karun di sekolah ini ya?"

"Bodoh sih lo. Ya nggak lah."

"Trus?"

"Gue nyari hati gue."

Rio berdesis, "Nggak akan ketemu, hati lo kan di sini." Rio menepuk dada nya pelan.

"Oooh, pantesan. Sini balikin!"

Shilla akan meraih kancing seragam Rio namun lengan Shilla dengan cepat ditangkap oleh pemuda itu.

Rio tertawa ketika leluconmya justru ditanggapi oleh Shilla.

Namun tawa nya perlahan lenyap saat Rio melihat tato kecil di pergelangan tangan kanan gadis itu. Di bagian ujung kanan, tepat di nadi tangan Shilla.

Bukan tato gambar yang aneh-aneh. Hanya huruf G berukuran kecil.

Saat pertama kali Rio bertanya apa maksud tato itu, Shilla tak menjawabnya. Membuat Rio harus menelan rasa penasaran sampai sekarang.

"Kenapa?"

Rio membalik lengan Shilla, "Lo bisa dimarahin guru kalau ketahuan."

Shilla ikut menatap apa yang Rio tatap, begitu paham, ia mengangguk lalu melepaskan lengan yang digenggam Rio. Ia merogoh tas nya, mengambil banyak gelang lalu memakainya hingga menyamarkan keberadaan tato itu.

"Gue bisa pakai ini." Shilla menyeringai lalu memamerkan gelang-gelang pada Rio, Alvin dan Sivia.
"Nggak keliatan kan?"

"Lo kaya jualan tau nggak pake gelang sebanyak itu." Alvin mengusap telinganya yang baru terbebas dari pelintiran Sivia.

"Nggak kok, ini lucu. Nggak lo lepas juga bagus. Cantik di tangan lo."

"Nggak lah, gue cuma pake ini kalo di kelas. Risih kalo dipake lama-lama."



***



"Wah wah wah ... bagus lo ya absen 3 hari. Kemana aja lo?"
Ify berkacak pinggang sambil mengikuti pandangan nya pada pemuda yang baru saja masuk.

Gabriel tersenyum lalu menaruh tas nya di atas meja. Saat ia duduk, Ify menghampiri nya lalu duduk di depan bangku nya.

"Lo tau nggak, cuma lo doang yang nggak masuk."

"Cuma gue?"

Ify menipiskan bibirnya. "Ya, nggak lo doang sih. Lo sama ...." Ify menunjuk seseorang dengan dagunya.

Gabriel mengikuti tunjukan Ify yang mengarah pada orang yang duduk di pojok paling belakang. Orang itu tanpa dosanya meletakan kepala di atas meja dengan wajah menghadap dinding. Entah tidur atau tidak, mereka tidak tahu.

"Cakka?"

Ify mengangguk.
"Tapi kan Cakka udah biasa nggak masuk. Sedangkan lo? Kemana sih lo memang? Liburan lo kurang?"

"Cewek gue baru masuk minggu depan, jadi gue nemenin dia selagi kita belum belajar. Ohya, gimana MOS kemaren?"

Mendadak ekspresi Ify berubah. Wajah nya berubah masam, kedua tangan nya mengepal dan meremat kuat jemarinya. Gemas sendiri entah untuk apa.
"Uh! Gue kesel benget tahun ini."

Gabriel menaikan satu alisnya.
"Kenapa?"

"Ih! Banyak banget yang reseh siswa tahun ini. Banyak ulah, ngebangkang kakak kelas, pokoknya ngeselin lah. Apa lagi kelompok gue, ya Tuhan! Gue sampe ngelus dada tau nggak. Ada 2 biang kerok yang bikin gue keselnya setengah mati."

Gabriel tertawa. "Itu kan resiko nya. Ya udahlah lupain aja."

Ify menghembuskan napas. Bagaimana bisa ia melupakannya? Dua orang yang membuat 3 hari kemarin terasa sangat panjang untuknya. Mengurusi 2 anak kancil yang sangat menyusahkan. Wajah dua orang itu akan selalu membekas dalam ingatannya. Meski tak ada guna nya untuk diingat, tapi untuk melupakannya begitu saja, tidak semudah itu.



***



"Gabriel?"

Shilla mengangguk.

Namun 2 siswa yang di tahan Shilla itu mengernyitkan dahi. "Gabriel yang mana? Di sekolah ini banyak yang namaya Gabriel."

"Oh, ini fotonya."
Shilla menunjukan foto dari hp nya. Namun 2 siswa itu saling menggeleng lalu menoleh ke arah Shilla.

"Kalo fotonya ini mana kita tahu."
Dan kedua siswa itu pun pergi.

Sivia mendesah lalu menyenderkan punggung nya pada dinding koridor.
"11 orang yang udah kita tanya. 4 orang ternyata siswa baru, 7 orang jawabanya sama. Apa lo nggak ada foto selain itu?"

Shilla menggeleng. "Gue nggak pernah ngambil foto bareng dia."

"Foto dari jauh gitu mana kelihatan, Shilla. Ngehadap samping lagi."

Shilla ganti mendesah lalu bersender di samping Sivia.

"Lagian ngapain sih lo nyari Gabriel itu? Jangan-jangan, tato G itu inisial dari nama Gabriel ya?"

Shilla tak menjawab, ia malah mematukan belakang kepalanya ke dinding sambil terpejam. Sivia hanya menggeleng dan tak perlu jawaban lagi. Sikap Shilla sudah menunjukan jawabannya.

"Lo yakin dia sekolah disini?"

Shilla membuka matanya lalu meluruskan kepalanya.
"Yakin. Mata-mata keluarga gue udah mastiin kalo dia sekolah disini."

"Waah!" Sivia berpendar takjub. "Lo sampe nyewa mata-mata? Emang kalo lo ketemu dia, lo mau apa?"

"Gue cuma mau minta penjelasan." Shilla termenung beberapa saat, mengingat masa lalu nya. "Kenapa dia ninggalin gue saat itu."

Sivia mengerjap, mematung. Belum tersadar sepenuhnya, Shilla sudah menegakan badan dan berlari menghampiri siswa lagi yang berjalan di dekat mereka.



***



Langkah Cakka berhenti saat gadis berkuncir kuda tiba-tiba berlari menghampirinya. Yang mau tak mau membuat langkah nya tertahan.

"Maaf kalo saya ganggu sebentar. Eum, kakak ini ... kelas berapa ya?"

Cakka menaikan alis nya, merasa risih. Namun melihat tatapan gadis itu yang sepertinya tidak ada maksud lain, ia mendesah sebelum menjawab.
"Tiga."

Shilla tersenyum senang, "Maaf kak, saya mau nanya. Kakak kenal yang namanya Gabriel?"

Cakka mengernyit.

Belajar dari pengalaman, Shilla langsung tanggap dengan mengeluarkan hp nya.
"Ah, ini kak fotonya."

Shilla memperlihatkan foto itu.

Ketika Cakka melihatnya, detik itu juga Cakka langsung mematung. Wajahnya tiba-tiba mengeras. Dahinya perlahan membentuk banyak lipatan meniti apa yang gadis itu perlihatkan.

Shilla yang merasa aneh menoleh pada Sivia yang berdiri di sampingnya. Saat Sivia menghendikan bahu, Shilla kembali menoleh menatap kakak kelasnya.

"Kak?"

Cakka tersentak. Ia mengerjap sekali lalu memalingkan pandangannya.

"Kakak kenal sama yang di foto tadi?"

Cakka terdiam. Tidak menunjukan ekspresi apapun dan itu membuat Shilla bingung.

"Nggak. Gue nggak kenal."

Cakka langsung berjalan melewati Shilla dan Sivia. Mereka berdua ikut menoleh ke belakang menatap punggung Cakka yang akhirnya menghilang di pertikungan koridor.

Shilla menghela napas. "Gue kira dia tahu."

"Gue kira juga."



***



Sivia dan Shilla menghempaskan tubuhnya ke atas kursi. Benar-benar lelah, mereka tak mendapatkan apapun dalam pencarian kali ini. Banyak nya siswa yang bernama Gabriel dan foto yang kurang jelas membuat Shilla kesusahan mencarinya.

"Gimana? Kucing lo ketemu?"

"Iss!" Shilla memukul meja Rio, "Gue nggak nyari kucing."

"Whatever. Jadi gimana? Ketemu?"

"Nol besar." Rambut Sivia beterbangan ke belakang karena ia mengipas kuat dengan bukunya. Keringat di lehernya benar-benar mengganggu, rambut nya yang ia gerai menempel, risih.

"Nih pake ah. Gerah gue ngeliat nya." Alvin melempar gelang di tangannya yang terbuat dari karet. Salah satu gelang kesayangan yang harus ia relakan untuk mengikat rambut Sivia yang berkeringat.

Sivia langsung mengambilnya lalu mengikat rambutnya, masa bodo itu gelang atau ikat rambut, yang penting rambutnya bisa terangkat.

Rio menguap lalu merentangkan tangan nya ke belakang.
"Pelajaran apa abis ini?"

"Sejarah, bro."

"Omaygat!" Rio nendesah lalu menopang dagu, hanya mendengar nama nya saja sudah membuatnya mengantuk. "Asli, bisa tidur gue ini."



Seperti apa yang dikatakan, Rio benar-benar tertidur di kelas. Kepalanya tergeletak di atas meja dengan lengan yang melingkari kepalanya.

Jika guru tidak berjalan-jalan mungkin Rio akan aman karena tertutupi tubuh Shilla. Berhubung guru sejarahnya kali ini berkeliling mengitari kelas saat menjelaskan, alhasil, ia mengetahui Rio yang seenaknya tidur tanpa dosa.


Guru itu seketika berhenti berbicara, siswa satu kelasnya pun menoleh menatap bapak gurunya yang berdiri di belakang. Saat mereka mengetahui kemana bapak itu melihat, Shilla dan Sivia seketika panik.

Sivia menoleh ke belakang, ia meyenggol lengan Alvin yang menopang dagunya. Mata pemuda itu yang tertutup seketika terbuka.

Ia mengerjap sebentar dengan mata masih merah, namun melihat tatapan peringatan Sivia, ia langsung tersadar akan ada bahaya mendekat, dan membuatnya langsung membuka lebar matanya.

Alvin menoleh, seketika tersentak saat guru itu sudah berdiri di samping Rio dengan tatapan membunuh.

Alvin menyenggol kaki Rio, namun temannya itu tak sadar juga dari alam mimpi nya. Saat ia akan menyenggol lagi, gebrakan kuat di meja Rio membuat Alvin tersentak, begitu pula Rio yang langsung terloncat dan menegak dari posisinya.

Semua orang menahan tawanya.

Tapi tidak untuk Alvin yang menahan ketakutannya, terlebih melihat Rio yang nyawanya belum sepenuhnya kembali, pemuda itu yang mengusap kepala nya dengan tampang polos membuatnya ingin menginjak wajah pemuda itu.

"Kepala gue pusing, bego! Banguninnya lembut dikit kek."

"Bukan gue, Yo."

Rio menoleh pada Alvin, masih dengan mata yang masih setengah terbuka. Dahinya mengernyit saat Alvin menunjuk sesuatu dengan dagu dan mengarah ke belakangnya.

Rio pun memutar kepala, dan detik selanjutnya, matanya melebar dan nyawa yang tadi masih melayang-layang seketika masuk ke dalam tubuhnya.

Ia langsung duduk tegak. Pusing kepalanya karena bangun secara tiba-tiba langsung menghilang. Ia melihat bapak itu sekilas.

Melihat wajah bapak guru nya yang menggertakan gigi, membuat Rio langsung menyeringai dan sedetik kemudian menunduk.
"Maaf, pak."

"Keluar kamu!"

Rio langsung mengangkat kepalanya, kaget. Sedangkan Sivia dan Alvin memutar bola matanya. Hukuman seperti itu justru seperti surga bagi Rio.

Terbukti Rio yang langsung berdiri,
"Siap, pak!"

Rio berhormat sekilas sebelum berjalan meninggalkan kelas. Tentunya dengan senyum riang dan langkah yang ringan.

Begitu keluar kelas, Rio langsung merentangkan tangan lalu mengambil napas dalam. Ia seperti keluar dari penjara yang baru menghirup udara bebas. Ia langsung melangkah, berjalan meninggalkan kelas menuju tempat teduh melanjutkan tidurnya.



***



Ify keluar dari toilet sambil mengusap tangan nya dengan tisu. Ia berjalan lalu membuang tisunya ke kotak sampah yang ia lewati. Namun saat ia akan berbelok, langkahnya mundur kembali lalu menoleh.

Ia melihat seseorang tengah berbaring di bangku taman.

Dengan rasa penasaran, ia pun melangkah mendekat. Ketika ia melihat wajah orang itu, entah kenapa emosi terpendam satu persatu bermunculan dalam dirinya.

Emosi yang sulit untuk terkontrol hingga akhirnya lepas begitu saja.

"Heh!!"

Ify menghampiri orang itu yang sepertinya mulai terusik.

"Lo ini nggak tahu aturan bener ya?! Bolos di jam pelajaran trus tidur di sini!"

Rio membuka matanya, tidurnya benar-benar terganggu dengan suara menjengkelkan ini. Suara yang sudah ia hapal, karena sejak 3 hari yang lalu hingga kemarin, suara inilah yang selalu berkoar-koar mengganggu pendengarannya.

Ia bangun, duduk lalu menoleh pada kakak kelasnya itu.
"Kenapa? Gue bukan adik didik lo lagi, yang harus lo urusin kalo gue ngelanggar aturan. Gue bukan peserta MOS, gue udah resmi jadi bagian SMA ini, lo nggak berhak ngatur gue."

"Gue? Lo? Waaaah! Berani lo ngomong gitu ke kakak kelas lo?"

"Oooh, jadi lo mau gue manggilnya pake aku-kamu? Lo pengen banget ya gue hormatin?" Rio menarik sudut bibirnya. "Jangan harap! Gue nggak peduli siapa senior dan siapa junior di sini. Lo itu nggak usah sok hebat hanya karena lo lebih dulu lahir dari gue. Mendingan lo pergi. Gue bener-bener muak ngeliat muka lo."

Ify menggigit ujung bibirnya, menggeram kesal karena kata perkata Rio yang merendahkan harga dirinya.

Ify berbalik, ia tak akan membiarkan orang itu leluasa tidur seenaknya. Lihat saja apa yang akan ia lakukan.



***



Guru sejarah keluar dari kelas.

Suara desahan lega yang membahana kelas X-4 dengan cepat berganti suara ribut dari mereka semua selagi menunggu guru selanjutnya datang.

Shilla dan Sivia menoleh ke belakang, ingin melihat keadaan Alvin. Namun dahi mereka mengernyit ketika Alvin memasang wajah serius sambil menatap hpnya.

Sivia menjentikan jari. "Kenapa?"

"Rio. Dia dihukum lari lapangan sekarang."

"Apa?"
Mereka berdua terbelalak.

"Bukannya dia cuma dihukum keluar kelas?"

"Ini beda, Shill. Guru yang ngehukum dia itu guru BK. Katanya ada yang lapor kalo dia bolos dari pelajaran supaya bisa tidur di luar. Dia barusan ngirim pesan suara ke gue."

Sivia mendesah. "Nggak di SD, SMP, SMA, anak itu selalu aja bikin ulah. Capek gue ngomonginnya."

"Vi, kira-kira apa yang bakal dilakuin Rio sama yang ngelaporin itu?"

Mata Sivia membulat kaget, ia lupa kalo sahabat nya itu akan berbuat ekstrem jika kehidupannya sudah terusik.

"God! Vin, gimana?" Sivia menepuk lengan Alvin berulang kali, panik luar biasa.

Alvin mengetukan jari ke meja, berpikir. Saat ia mendapatkan ide,

"Shil-" Alvin menoleh, namun terhenti karena Shilla sudah tidak ada di bangkunya.

"Shilla?!" Alvin mencoba memanggil Shilla yang sudah berjalan di koridor luar, namun percuma, Shilla tidak mendengar.



***



Shilla berdiri di koridor dekat toilet pria, matanya tertuju pada pemuda yang berlari di lapangan basket itu dengan peluh yang membasahi seragamnya. Ia melihat blezer yang dikenakan Rio tergeletak di pinggir lapangan, menyisakan seragam putih yang lengan panjangnya sudang pemuda itu gelung hingga siku.

Shilla menghembuskan napas, Rio pasti sangat gerah.

Ia kira Rio hanya iseng saja, mengirim pesan suara pada Alvin agar memancing Alvin keluar untuk dapat bolos bersama.

Itu sebabnya ia langsung beranjak tanpa mempedulikan lanjutan dari percakapan Alvin dan Sivia. Ia memilih keluar karena ingin menyeret Rio kembali ke dalam kelas.

Ia tak menyangka hukuman itu benar-benar pemuda itu terima.


Suara derit pintu membuat Shilla menoleh. Ketika ia menyadari kakak kelas yang ia tanya tadi keluar dari pintu toilet, entah kenapa ia tersentak.

Terlebih saat kakak kelas itu melihatnya lalu melirik plang kecil bertuliskan toilet pria, Shilla langsung kelabakan, menggelengkan kepala sambil melambaikan tangan.

"Kak, jangan berpikiran yang nggak-nggak ya. Aku nggak ngintip kok, aku cuma-"
Shilla menelan lagi alasannya saat kakak kelasnya itu memalingkan wajah lalu berjalan berlawanan arah dari nya. Shilla mengambil napas lalu meniup poni nya ke atas melihat sikap itu.

Apa itu sopan saat ia bicara justru yang diajak bicara pergi begitu saja?

Tapi entahlah, Shilla tak bisa marah.


Ia kembali menoleh ke lapangan. Rio terlihat mengusap keringat nya di dahi dan wajahnya terlihat begitu lelah.

Ya Tuhan, siapa yang begitu jahatnya melaporkan temannya itu?



***



Bel pulang berbunyi.

Shilla, Sivia dan Alvin mengejar Rio yang seperti orang kesetanan.
Sesaat yang lalu, Rio mengejutkan siswa satu kelas yang tiba-tiba menggebrak pintu setelah guru keluar dari kelas. Dengan penuh amarah sambil menenteng blezernya, Rio masuk lalu mengambil tas nya.

Tak peduli dengan ketiga temannya yang sibuk bertanya, Rio langsung meninggalkan kelas lagi dengan amarah yang tak juga reda.

Menyadari akan ada hal buruk, Alvin menyuruh mereka berdua untuk mengejar Rio dan menyeret Rio pulang.

Dan seperti ini lah mereka, terus memanggil Rio yang tak peduli. Menghempaskan tangan siapa saja yang menahannya.

Mereka mendesah menahan kesabaran, terus mengikuti langkah kaki Rio yang berputar mengelilingi sekolah, entah apa yang dicari.



***



"Lo jahat banget sih, siapa tahu dia lagi nggak ada guru, makanya dia tidur di luar."

"Nggak mungkin lah." Ify mengerat selempangan tas nya. "Guru di sekolah kita mana ada yang nggak masuk setelah MOS. Bisa ditegur kepala sekolah mereka."

Gabriel mengangguk. Beberapa saat saling diam, langkah nya berhenti sejenak saat hp nya bergetar di kantung celananya.

Ketika ia membuka pesan masuk itu, senyum nya berkembang tipis lalu menoleh pada Ify.
"Gue duluan ya, cewek gue udah jemput."

Ify mengangguk.

Setelah itu Gabriel berjalan cepat, tak jarang berlari kecil menyusuri koridor sekolah nya yang sepi.

Ia menghela napas sebelum kembali melangkah, namun sesuatu yang mendekat membuatnya menoleh. Begitu terkejut siapa yang berjalan menghampirinya.



***



Langkah Rio perlahan berhenti saat ia berjalan di lapangan. Alvin nyaris saja berteriak gembira karena Rio yang akhirnya mendengarkan.

Namun saat ia akan menarik lengan pemuda itu, Rio sudah melanjutkan langkah nya dan kali ini lebih cepat.

"Rio?!"

"Kok Rio nyamperin cewek itu ya?" Sivia menunjuk ke arah koridor dekat mading, seorang siswi yang cukup familiar untuknya berdiri di sana.

Shilla menyipitkan mata. "Bukannya itu kak Ify?"

"Oh my God, jangan bilang kalo yang ngelaporin Rio itu-" Alvin tak melanjutlan ucapannya. "Haish! Rio!!"

Alvin berlari mengejar Rio, begitu pula Sivia dan disusul oleh Shilla.


Namun terlambat, tak peduli dengan wajah Ify yang terkejut, Rio yang sampai lebih dulu langsung mencengkram kerah Ify dan membenturkan tubuh gadis itu ke dinding. Mencengkram nya kuat sampai Ify merasa seperti tercekik sekarang.

"LEPASIN! Apa yang lo lakuin, hah?!! Uhuk...uhuk..."

"Gue kan udah bilang sama lo, nggak usah sok hebat karena lo senior disini! Apa maksud lo ngelaporin gue, hah! Lo nggak berhak ngurusin urusan gue!!"


"Rio!!" Alvin datang langsung berusaha melepaskan cengkraman tangan temannya. "Udah, Rio sadar. Kita itu baru masuk, jangan buat masalah. Lepasin tangan lo, lo bisa ngebunuh dia!"

"Ya Tuhan, Riooo." Sivia berteriak histeris dan langsung berlari. Membantu Alvin melepaskan cengkraman Rio pada kakak kelasnya.


Shilla yang sudah hampir mendekat tanpa aba-aba menoleh ke samping. Diujung koridor sana, ia melihat seseorang berbelok. Tidak terlihat wajah nya, tapi entah kenapa ia merasa aneh, ada rasa penasaran yang tiba-tiba muncul.

Ia juga tidak tahu kenapa hatinya menyuruh kepalanya berpaling. Seperti ada sesuatu, yang seakan menyuruhnya mengejar orang itu sekarang. Mungkinkah orang tadi-

"Shilla?!"

Shilla refleks menoleh. Ia baru sadar Alvin dan Sivia masih kewalahan menangani Rio.

"Bantuin!"
Sivia berteriak, wajahnya terlihat pucat karena melihat kondisi kakak kelas nya itu yang hampir kehabisan napas.


"Gue nggak suka ya hidup gue diusik! Lo nggak denger omongan gue kalo gue udah muak sama lo! Jadi berhenti lo muncul di depan gue dan nyari masalah sama gue!"

Ify terbatuk-batuk, tangannya memukul lengan Rio agar pemuda itu mau melepaskan cengkramannya. Sungguh, ia bisa mati jika seperti ini terus.


"Cukup, Rio!!"

Rio tersentak saat mendengar suara itu. Kesadarannya seakan kembali, matanya mengerjap, dan cengkramannya mulai mengendur.

"Gue nggak mau temenan sama pembunuh." Shilla menarik lengan Rio yang membuat cengkraman itu terlepas. Begitu mudah, hingga Sivia dan Alvin merasa kaget dibuatnya.

Ify jatuh terduduk, memegangi lehernya sembari mengambil napas sebanyak-banyaknya.

"Kak Ify nggak papa?"

Ify mendongak melihat adik kelas yang ia tahu bernama Shilla itu berjongkok di depannya. Tanpa mempedulikan itu, Ify langsung berdiri menatap Rio yang terdiam.

"Gue nggak takut sama ancaman lo!" Ify menunjuk wajah Rio. "Gue akan laporin tindakan lo ini ke waka kesiswaan. Lo akan langsung di d.o setelah ini!"

Ify membenarkan selempangan tasnya dan langsung pergi.

Shilla pun ikut mengejar, dan menarik lengan Ify pelan ketika mereka sampai di pertikungan koridor.


"Apaan sih?"

"Kak, please. Jangan laporin Rio. Dia tadi lagi emosi."

Ify menarik ujung bibirnya. "Emosi dia itu udah kelewatan tau nggak? Gue bisa mati tadi."

"Kak, maaf sebelumnya. Tapi sebenarnya kakak juga salah."

"Apa?" Ify mengangkat kedua alis nya kaget. Bagian mana yang salah? Ia bahkan tak melakukan apapun.

"Kak, Rio itu nggak bolos pelajaran supaya bisa tidur. Dia dikeluarin sama guru dari kelas karena ketiduran. Laporan kakak itu nggak bener. Rio keluar dari kelas bukan kemauan dia sendiri tapi karena dia lagi dihukum."

Ify tersentak lalu mengerjap.
Jadi ..... ia membuat laporan palsu tadi?

"Kakak nggak mau aku ngelapor juga kan?"

Ify terdiam sebentar. Beberapa saat kemudian, ia memejamkan mata frustasi lalu mendesah. "Lo ngancem gue?"

Shilla menyeringai. "Nggak ngancem kok. Cuma negosiasi aja. Ya kak ya? Jangan laporin Rio."

Ify menghela napas. Sebenarnya jika dilaporkan, tindakan Rio tadi akan diproses serius. Dan hukumannya karena telah membuat laporan palsu tak seberapa ketimbang hukuman yang akam diterima Rio.

Tapi karena semua ini berawal dari nya, ia juga merasa tak enak. Kebenciannya pada pemuda itu membutakan keadaan yang sebenarnya.

Ify menelan salivanya lalu mengangguk.
"Oke. Gue nggak akan lapor."

Ify pun melangkah pergi meninggalkan Shilla yang tersenyum senang.



***



Gabreil membuka pintu mobil Mercedez Benz yang terparkir di depan gerbang. Tersenyum singkat lalu masuk ke dalam mobil dan membenarkan duduknya.

"Kita mau kemana?" Gabriel memasang safety belt nya.

"Makan. Aku laper dari pagi nggak sarapan."

"Kenapa nggak makan?"

"Nggak enak kalo makan sendiri."

Gabriel berdecak, "Kamu kalo kena mag gimana coba? Siapa yang repot? Kalo gitu, besok pagi kita mulai masak. Biar kita bisa sarapan bareng."

Pricilla tersenyum lalu menoleh, "Berarti kita belanja sekarang?"

"Makan dulu."

Pricilla tertawa singkat lalu mengangguk. "Oke oke."

Ia menaikan persnelling mobilnya lalu menginjak gas.

Mobil itu mulai melaju bertepatan dengan Shilla yang berhenti dari larinya. Shilla menatapi mobil putih yang barusan pergi.

Entah, ia tak tahu mengapa ia harus berlari mengejar orang yang berbelok di ujung koridor tadi. Rasa penasarannya begitu kuat hingga menuntun kaki nya ke tempat ini. Tapi sayang, ia tak bisa melihat wajah orang itu.

Ia menghembuskan napas kesal.
Saat ia berbalik, ia dikagetkan Rio yang berdiri di belakangnya.

Memasang wajah polos seakan amarah tadi tak pernah ada.

"Lo ngapain disini?"

"Ngikutin lo. Lo ngapa lari?"

Shilla menghembuskan napas lalu menggeleng. "Gue juga nggak tahu."

Dahi Rio mengernyit, tak mengerti.

"Lo udah sadar kan?"

"Udah lah."

"Yaudah, kalo gitu anterin gue pulang."

Rio mengangguk. "Tunggu sini, gue ambil motor dulu."

Setelah itu Rio berbalik, berjalan ke arah parkiran untuk mengambil motor ninja merahnya. Sedangkan Shilla kembali menoleh ke arah jalanan, tempat mobil putih tadi sempat berhenti. Ia meremas selempangan tas nya dengan rasa campur aduk.

Mungkinkah ...... orang tadi ........ Gabriel?



***



"Jangan biarkan mereka lolos. Lumpuhkan siapapun yang ada di sana dan bawa hidup-hidup bos nya."


Suara dari headset yang terpasang di telinga dan terhubung dengan intercom markas pusat membuat mereka mengangguk. Perintah yang harus dituruti.

Ray bersembunyi di balik tiang dengan pistol di tangannya, menatap Agni yang bersembunyi di balik tembok yang telunjuknya sudah siap di pelatuk pistolnya. Siap menembak.

Sebagian kawan-kawannya sudah naik tangga, akan beroperasi di lantai tiga. Sedangkan Agni dan Ray, menyelesaikan orang-orang yang ada di lantai dua.

Saat Ray memberi kode dengan anggukan kepala, Agni pun keluar dari persembunyiannya dan mulai menembaki orang-orang yang ada di sana. Di susul Ray yang ikut keluar dari persembunyian.

Mereka yang tidak siap sebagian ada yang langsung tumbang, namun sebagian lagi yang berhasil menghindar, langsung mengambil pistol mereka dan ganti menembak.

Agni bersembunyi saat tembakan akan mengenai kepalannya, lalu duduk berjongkok dan mulai menembaki kaki mereka.

Ray keluar dari persembunyian dan menembak orang-orang yang akan kabur. Mengisi amunisi nya cepat lalu menembaki orang-orang itu lagi.

"Ray! Lo liat bos mereka?"

Ray berhenti karena tak ada lagi musuh yang berdiri, ia melihat orang-orang yang tumbang lalu menyapu sekeliling. "Nggak ada."

Agni menekan headset nya yang tersumpal di telinga.
"Kita tak menemukan bos nya."


"Cari cepat! Jangan sampai lolos! Orang yang tertembak akan diurus personil lain!"


"Siap!"

Ray dan Agni langsung berlari, menyapu sekitar, mencari tiap sudut di lantai dua.

"Lo kesini, gue ke sana."

Agni mengangguk.

Mereka pun berjalan terpisah, mencari lagi tempat yang mungkin saja jadi ruang persembunyian bos mereka.

Namun saat mereka bertemu kembali, hanya hasil nihil yang mereka dapatkan.

"Lantai tiga. Apa ada bos mereka?" Ray menekan headsetnya.

"Tidak. Kami sudah mencarinya."

"Sial!" Ray menurunkan tangannya. "Kemana dia?"

"Kita cari lagi." Agni menepuk lengan Ray sebelum berlari kembali. Ray pun ikut menyusul. Mencari tempat yang siapa tahu luput dari pandangannya tadi.

"Cari sampai ketemu!" Ray menekan headset nya, memberi perintah pada yang lain dengan emosi yang meledak.


"Gue nemuin dia."


Langkah Ray berhenti. Begitu juga Agni.

Suara tenang dan dingin ini, adalah ciri khas satu orang di kelompok mereka.



***



Cakka menodongkan pistolnya.

Dengan wajah tenang tapi mengintimidasi orang yang berdiri di depannya. Orang itu membawa dua koper jinjing, yang ia yakin adalah hasil kerja kotor nya selama ini.

"Letakan kopermu dan ikutlah kami dengan cara baik-baik."

Orang itu menarik sudut binirnya.
"Kamu pikir aku akan menurut?"

"Saya bisa melakukan dengan cara paksa?"

"Seperti apa? Menembak ku?"

"Ide bagus." Cakka menarik pentup larasnya ke belakang, lalu menodongkan pistol nya lagi.


"Bodoh, jangan tembak dia!" Suara Agni berdengung di telinga.

"Kita harus bawa bos itu hidup-hidup. Agar bisa menguak informasi dimana dia menyembunyikan harta nya dan letak markasnya. Jangan gegabah, Cakka." Giliran suara Ray menginterupsi, dan itu lebih baik untuk telinga nya daripada suara perempuan tadi.


Cakka menyeret kembali pandangannya saat orang di depan nya tertawa.

"Kenapa? Kamu takut."

Cakka mengernyit ketika orang itu tertawa lagi.

"Dasar lemah! Kamu cuma bisa menggertak! Aku tidak akan pernah ikut dengan mu dengan cara baik-baik. Aku lebih baik mati. Ayo, kalo berani tembak aku! Tembak!"

Tanpa ragu, Cakka menekan pelatuk pistolnya.



DORR!!



***



Nafas Agni tercekat dan langsung berhenti dari larinya.

Suara tembakan yang terdengar di headsetnya membuat nya kaget setengah mati.
"Cakka bodoh."

"Mereka di bawah!"
Ray melihat Cakka dari anak tangga paling atas. Ia pun menuruni tangga itu menghampiri temannya yang ternyata ada di lantai satu.

Agni juga langsung berlari kembali mengikuti Ray.



Orang tadi jatuh terduduk. Kaki nya lemas saat ia rasakan sebuah peluru melesat melewatinya, menyerempet pelipisnya dan tertancap di tiang penyangga yang berjarak 3 meter di belakangnya.

Hampir saja, pelipisnya bahkan terasa panas sangking dekatnya jarak dari peluru yang meluncur tadi. Satu centi saja kepalanya bergerak ke samping, ia yakin peluru itu akan menembus dan menghancurkan matanya.

Ia sudah tidak punya kekuatan untuk berdiri lagi.
Bahkan ia yang dipasangi borgol oleh pemuda yang menembaknya tadi hanya bisa diam, terlalu shock untuk menolaknya.


Ray dam Agni menghembuskan napas lega melihat itu.

Semua terkendali.

Dengan senyum puas Ray menekan headset nya, memberi laporan pada markas pusat yang sedang menunggunya,

"Misi berhasil."



***



"Kerja bagus."
Mr. Duta tersenyum pada orang-orang nya yang kembali dengan selamat. Menyelesaikan misinya dengan sempurna.

"Mereka semua akan di kirim ke Singapura, begitu pula bosnya yang akan diintrogasi lagi disana. Berhubung mereka tidak punya markas lain di Indonesia kecuali tempat kalian tadi, tugas kita sudah selesai. Ternyata mereka datang ke Indonesia hanya untuk bersembunyi dari kejaran aparat keamanan di sana. Mereka sangat berterima kasih kepada kalian semua."

Mereka mengangguk sambil tersenyum.

"Kalian bisa kembali."

Setelah perintah tu, mereka semua bubar dan keluar dari ruangan bos mereka.


Ray, Agni dan Cakka berjalan beriringan menyisiri koridor di gedung itu.

"Ini semua berkat Cakka, untung lo dateng ke sana tepat waktu."

Agni menghela napas lalu menoleh, "Apa lo bisa nyelesaiin misi tanpa ngebuat kita ngerasa jantungan dulu?"

Ray tertawa sedangkan Cakka hanya memalingkan wajahnya.
"Itu emang udah gaya nya Cakka. Ya udah lah, gimana kalo kita ngerayainnya?"

Cakka menggeleng. "Gue nggak bisa, gue mau pulang aja."

Ray mengangguk. "Oke, hati-hati."

Cakka berjalan lebih dulu ke arah lift, memencet tombol lantai dasar lalu masuk setelah pintu lift terbuka.

"Pasti berat tugas Cakka. Sambil menyelam minum air."

Ray tersenyum tipis lalu mengangguk setuju.
"Lo bener. Tapi tugas itu untuk tujuan hidup dia. Lagi pula, Mr. Duta ngasih tugas itu ke Cakka, karena dia yakin Cakka bisa."



***



Cakka berjalan di sepanjang trotoar. Menikmati angin malam yang menghempas wajahnya. Ia menghirup udara sebanyaknya sambil mendongak menatap langit.

Bintang terlihat bertaburan. Pohon-pohon yang dahannya dikelilingi oleh lampu-lampu kecil tampak indah malam ini.

Ia meluruskan pandangannya. Langkahnya langsung berhenti ketika menangkap sosok gadis berjarak beberapa meter di depannya.

Gadis yang sudah ia temui 3 kali sehari ini.

Gadis itu mengetuk-ketukan ujung sepatu kanan nya, sambil mengeratkan cardigan rajut berwarna merah muda nya.

Rambutnya yang tergerai beterbangan terkena angin. Bersama daun yang berguguran karena tiupan angin malam.

Ia menghembuskan napas.

Memalingkan wajahnya dan berbalik badan, bertepatan dengan gadis itu yang tiba-tiba menoleh ke arahnya.



-^^-

Undesirable to FallWhere stories live. Discover now