***

Addie mengharap hari berhenti berputar sehingga akhir minggu yang menakutkan itu tak terjadi. Tetapi bagaimana mungkin? Dengan Margie yang hampir setiap saat menerornya melalui ponsel, Addie sangat tidak mungkin untuk menghindar. Sedangkan Ray, entah mendapatkan pencerahan dari mana, telah menghubungi Addie dua kali. Dua kali dalam tiga hari bisa dianggap memecahkan rekor dunia! Meski apa yang ditanyakan oleh Ray jauh dari sesuatu yang bersifat personal.

“Kuharap kau tidak lupa bersiap-siap,” kata Ray pada telepon pertama.

“Bersiap-siap untuk apa?” tanya Addie terheran-heran.

“Tentu saja untuk acara atau apapun itu yang telah kau siapkan bersama Margie.”

Addie terkejut. “Hei! Bukan aku yang merencanakan semuanya!” bantahnya sengit.

Namun di ujung sana Ray telah menutup teleponnya. Meninggalkan Addie menggeram dengan penuh kejengkelan.

“Apakah kau yakin sudah memiliki pakaian yang pantas?” tanya Ray pada telepon kedua keesokan harinya.

“Sudah kubilang aku tak akan muncul di pesta! Jadi aku tak perlu menyiapkan pakaian apapun!”

“Kuanggap kau belum memiliki gaun yang cocok,” lelaki itu memutuskan secara sepihak.

Dan Addie harus terheran-heran ketika keesokan harinya, dia ditelepon sebuah butik yang membuat janji dengannya pada saat istirahat makan siang.

“Maaf, saya tak membuat janji apapun dengan butik anda!” tolak Addie terkejut.

“Ini atas nama Mr. Raymond Adams, Miss Smith,” jawab suara di ujung sana dengan kalem.

Dan masih dengan penuh keheranan Addie pun berangkat menuju alamat yang diberikan dan harus kembali dikejutkan oleh penampilan butik elegan itu. Addie memang bukan orang miskin. Orang tuanya telah mengatur cukup dana yang akan membuatnya hidup nyaman bahkan bila dia memutuskan tidak bekerja. Namun dia juga bukan orang kaya yang bisa menghamburkan uang sebesar nilai sewa apartemen menengah selama setahun hanya demi selembar gaun musim panas terbaru.

Dan Addie hanya bisa pasrah ketika seorang pramuniaga membimbingnya ke ruangan khusus pelanggan, di mana dia dijamu bak seorang putri, lengkap dengan sampanye mahal yang dingin mengaliri tenggorokannya yang kering. Menyaksikan helai demi helai pakaian pesta makan malam dan cocktail ditampilkan di depan hidungnya.

“Maaf, saya tidak terlalu mengikuti dunia fashion. Jadi agar saya tak membuang-buang waktu Anda, lebih baik pilihkan saja sesuai keinginan orang yang akan membeli gaun-gaun itu. Saya akan menerimanya tanpa protes,” katanya praktis.

Dan jadilah Addie membawa dua tas besar dengan label butik terkenal itu serta menjadi pusat perhatian rekan-rekan kerjanya yang memandang penuh iri. Addie dan keluarganya yang kaya raya, begitu mereka menjulukinya. Andai mereka tahu, batin Addie.

Tak cukup hanya itu, sore itu Ray bahkan merasa perlu untuk menjemput Addie sepulang bekerja. Addie hampir terkena serangan jantung ketika ada telepon dari resepsionis yang mengatakan bahwa Mr. Adams sudah berada di lobby dan dia tak mau menunggu lama. Addie begitu terkejut hingga gagang telepon terlempar dari tangannya. Ray! Menjemputnya! Itu hampir sama mustahilnya dengan peristiwa bekunya api neraka!

Bak prajurit kecil yang nekad, Addie setelah menyambar tas tangan dan mantel musim panasnya, berderap dengan langkahnya yang cepat, hampir menghambur, menuju ke lobby. Hanya untuk mendapati bagaimana kakak angkatnya itu kembali membuat hatinya menggelepar oleh taburan pesonanya.

“Ray…” Addie memanggil lelaki itu dengan suara tercekat yang nyaris tertelan ke kerongkongannya.

“Halo, Addie. Jangan katakan aku bukan kakak yang baik untukmu, ya,” kata Ray sambil tersenyum.

The Adorable GentlemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang