Ketika Luna yang ditinggalkan, Luna yang dihakimi. Sifatnya buruk lah, childish lah. Ketika Diandra yang ditinggalkan, Luna juga yang dihakimi. Perusak lah, gagal move on lah, sengaja dekat-dekat Juna lah, dan hujatan-hujatan kosong tanpa landasan lainnya.

Rasa-rasanya ingin menghapus nama Juna dan Diandra dari daftar orang yang ada di hidupnya. Kalau saja bisa.

Toh kalau memang Juna dan Diandra berjodoh, Luna hanya akan lewat menjadi masa lalu mereka, bukan?

Jodoh? Luna tersenyum kecil memikirkan kata konyol itu. Jodoh yang katanya di tangan Tuhan saja, bisa berganti-ganti sesuai mood para shipper sialan itu.

*****

Bel istirahat kedua sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Adrian masih berkutat dengan ponselnya. Setelah selesai, ia melirik sekitar dan mendapatkan Sasha tengah duduk sambil mendengarkan musik. Adrian meremas sobekan kertas bekas, lalu melemparkannya hingga tepat mengenai bagian belakang kepala Sasha. Membuat cewek itu melepas earphone dan meliriknya tajam.

"Santai, Bu. PMS, ya?"

Adrian sulit mengingat tanggal-tanggal penting. Namun, anehnya, ia selalu ingat tanggal berapa Sasha mulai mengalami siklus yang..., well, membuatnya seperti ranjau seharian.

"Ruang musik, yuk?" Ajak Adrian.

Tanpa menghiraukan keberadaan Adrian, Sasha kembali memasang earphone nya dan meletakkan kedua kakinya ke atas kursi sebelahnya sehingga Adrian tidak dapat duduk di kursi itu.

"Gue mau sendiri."

Tiga kata itu terdengar aneh. Asing. Adrian bisa saja menanggapi dengan "Lah, lu, kan, emang masih sendiri," dan lawakan receh lainnya. Namun, kali ini ia hanya bergeming dan melangkah pergi. Suara Sasha begitu dalam dan sarat akan... sesuatu yang tidak Adrian pahami.

*****

"Lo kaya cewek sumpah, Yan."

Adrian terkekeh pelan.

"Ya kali gue ke ruang musik sendirian. Males banget lah, sepi. Kalo ada lo kan--"

"Tapi kita berasa homo gini, mana sepi banget anjir." Reno bergidik ngeri. Meskipun sebenarnya koridor menuju ruang musik tidak sesepi yang ia ucapkan.

"Atau jangan-jangan lo sebenernya suka sama gue?" Lanjut Reno asal.

Kalimatnya tidak dihiraukan Adrian karena cowok itu sekarang tengah mendengarkan alunan musik dari dalam ruang musik dan suara satu dua orang menyanyi sambil diselingi tawa.

"Lo balik aja sana," usir Adrian pada Reno yang membungkuk dibelakangnya, ikut menguping.

"Kok--"

"Udah, balik aja. Udah nggak dibutuhin lo."

"Oh, karena lo tau didalem ada cewek-cewek jadi lo mau nongol sendirian?"

Adrian mengernyitkan dahi. Pikiran picik menjijikkan macam apa itu?

"Iya-iya, udah lo balik!" Ujarnya asal supaya Reno cepat pergi.

"Tai lo, Yan. Awas lo, ya."

*****

"Udah lama, ya, lo nggak di sini."

Andrian duduk di kusen jendela ruang musik. Sesekali ia melirik Luna yang mengusap-usap tiap tuts piano dengan canggung. Setelah susah payah mengusir sheila dan Kania dari ruangan ini, akhirnya mereka bisa berbincang berdua.

"Gue denger--"

"Gue lagi nggak mau ngomongin masalah apapun." Luna memotong ketika menyadari arah pembicaraan Adrian tentang putusnya Juna dan Diandra.

Paham, Adrian mengangguk-angguk. Hening yang cukup lama diisi oleh dentingan piano. Dan sesekali Luna menggumamkan lagu dengan pelan.

"Yang keras dikit kek nyanyinya," pinta Adrian.

"Lo ngeledek, ya? Gue aja nyanyi beneran di depan Bang Raka, dibilang 'jangan bercanda, deh, Lun. Yang bener nyanyinya!' Gitu," ujar Luna sewot. Cewek itu melanjutkan dentingan piano, kali ini dengan tempo yang lebih cepat, menghentak-hentak.

"Lun, pernah nggak lo kepikiran suka sama Abang lo sendiri?"

Dentingan piano itu berhenti. Sebelah alis Luna terangkat sambil menatap Adrian heran. Ia seolah tengah menahan tawanya.

"Ya kali. Gue bersyukur aja deh dia jadi abang gue. Jadi nggak ada peluang sama sekali buat dia jadi jodoh gue," tanggap Luna sambil terkekeh.

"Kalo abang lo suka sama lo? Umur kalian, kan, deketan."

Luna terkekeh lagi. Kali ini lebih kencang.

"Raka? Naksir gue? Dia aja nggak nganggep gue cewek, deh, kayanya."

"Lo ngomong gitu, kan, karena lo tumbuh bareng dia. Lo tau dia abang lo, dia tau lo adeknya, jadi hal semacam itu kedengaran mustahil." Adrian mengalihkan pandangannya ke arah luar. Menatap bola aasket yang memantul di tangan anak-anak di lapangan.

"Lo kenapa, sih, Yan? Serius banget? Jangan-jangan lo... sama Kak Audrey...."

"Bukan, kok," potong Adrian sambil tersenyum kecil. "Gue cuma mau tau pandangan lo...."

"...tentang ikatan persaudaraan itu gimana?"

The Ex [Completed]Where stories live. Discover now