01: Kembali Sejenak

Start from the beginning
                                    

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," ucap perempuan itu menyapa seorang lelaki yang sedang duduk sambil mengamati layar intaian CCTV.

"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," balas lelaki yang terkesiap melihat perempuan yang ada di hadapannya. "SubhanAllah, Ibu," tambahnya kaget. Perempuan itu hanya tersenyum memandang lelaki yang tegah terkaget itu. "Maaf..."

"Nggak apa-apa kok, Pak," balas perempuan itu tersenyum. Bapak yang bernama Pak Purnomo itu hanya tersenyum kikuk. "Ini ada sedikit makanan. Buat nemenin Pak Pur jaga," tambah perempuan itu sambil menyerahkan sekantong kresek yang penuh dengan roti yang ia beli di Bandara.

"Aduh... Ibu... jadi ngerepotin," balas Pak Pur tak enak. Perempuan itu hanya tersenyum. "Makasih ya, Bu."

"Sama-sama," balas perempuan itu. "Saya ke dalam dulu ya, Pak. Wassalamualakum warohmatullahi wabarokatuh."

"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," balas Pak Pur dengan senyuman yang terlukis di bibirnya. Melihat punggung atasannya yang jarang berada di tempat itu. Ia melihat kantong kresek yang barusan perempuan itu berikan. Ada senyuman di sana. Semenjak ia bekerja di sini, atasannya itu selalu membelikkan makanan untuk menemaninya jaga. Tak hanya dirinya, melainkan teman-temannya yang lain. Selalu memberi salam jika bertemu dan mengucap salam kembali jika pamit. Sebuah kebiasaan yang jarang ditemui di kota ini. Apa mungkin juga di Indonesia? Apa mungkin di dunia? Entahlah.

Bagi Pak Pur, ia sudah sangat bersyukur mendapatkan atasan seperti itu. Selalu tersenyum kepada siapa saja. Selalu ramah tanpa memandang buluh. Dan selalu mengingatkan ke setiap karyawan untuk melakukan kewajiban yan telah Allah tetapkan. Sholat dimudahkan, bahkan terkadang jika hari Senin atau Kamis, selalu ada nasi boks bagi karyawan. Yang berpuasa maupun tidak.

"Alhamdulillah..."

¤¤¤

Namanya Wulandari Pratiwi. Wanita karir masa kini yang sukses dengan bisnisnya bersama ketiga sahabatnya. Dia CEO? Itu adalah jabatan yang pertama ia tolak. Dia enggan menjadi bos. Ia lebih suka menjadi tim kreatif. Tim kreatif? Bukan. Itu terlalu bagus untuknya.

Usia?

Sudah menginjak dua puluh sembilan tahun. Dan dikala di usianya teman-temannya sudah memilik anak satu atau dua, ia menetapkan hati untuk sendiri. Sendiri menjalani kehidupannya.

Miris?

Tidak. Ia lebih suka sendiri. Angan-angannya tentang pernikahan sudah hilang entah kemana.

"GREAT!" ucap seorang wanita yang sudah di ambang pintu ruang kerja Wulan. Wulan menoleh ke arah suara. Matanya yang tadinya terfokus dengan coretan gambar di kertas putih kosong teralihkan. Wanita itu masuk melangkah ke arah meja Wulan. Bunyi dari hentakkan kakinya memenuhi ruangan Wulan. "LO!" ucap perempuan itu gemas. "Balik nggak bilang-bilang! Sampai harus is Sonya telepon gue buat ngabarin lo ada di butik?!"

"Assalamualaikum warohmatullah, sholeha," balas Wulan tanpa menjawab cercaan dari sahabatnya. Dinda Rasyid. Desainer kondang yang juga pemilik dari salah satu produk yang dikeluarkan butik ini. Senyuman terlukis di bibir Wulan.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah," balas Dinda. Mau tak mau membalas senyum dari sahabatnya. Apalagi sahabatnya sudah memanggilnya dengan sholeha. Lumer sudah amarahnya. Wulan hanya tersenyum dan mengisyaratkan untuk Dinda duduk. Dinda menurut dan langsung duduk di hadapan Wulan. "Harus banget mendadak? Gue atau Randa kan bisa jemput."

"Gue nggak mau merepotkan," balas Wulan. Ia membereskan kertas-kertas yang sudah tergambar sebuah desain rancangan ruangan. Dinda menghela nafas. Ia tau sifat Wulan yang sangat mandiri, tapi setidaknya, hanya menjemput, itu pasti nggak merepotkan. "Toh juga lo ada kerjaan kan? Randa? Walaupun dia ada waktu, tetap aja, dia lagi menikmati family time nya."

Sudut Ruang HatiOn viuen les histories. Descobreix ara