Prolog

71.5K 3.5K 48
                                    


Ini cerita yang sudah lama banget mandek di laptop. Termasuk cerita yang kubuat di awal-awal belajar menulis lagi. Jadi kakunya masih terasa banget. Moga-moga setelah diposting di sini akan ada semangat untuk dilanjutkan. Semoga suka, ya. :)

**

Embusan angin sepoi-sepoi membuat mataku makin berat, padahal belum ada setengah jam aku duduk di depan teras resor. Semilir angin dan empasan ombak yang konstan lebih manjur daripada obat tidur. Aku tidak pernah tidur di jam seperti ini. Di dunia nyataku, aku bahkan belum meninggalkan kantor di waktu seperti ini. Tapi aku memang tidak sedang berada di dunia nyata.

Papa memintaku meninjau pembangunan resor ini karena Tanto, kakakku sedang mengunjungi resor kami yang lain di Bintan. Aku sebenarnya tidak pernah mengurusi hal seperti ini. Aku lebih suka pekerjaan di balik meja daripada berurusan dengan masalah-masalah di lapangan seperti meninjau pembangunan resor. Itu bagian Tanto.

Tapi aku tidak bisa menolak perintah Papa. Resor ini impiannya. Ia membeli puluhan hektar tanah di tepi pantai Kota Baubau, Sulawesi Tenggara beberapa tahun lalu, saat jatuh cinta pada pemandangan indah di tempat ini. Padahal kunjungannya waktu itu tidak ada hubungannya dengan pengembangan bisnis hotel dan resor keluarga. Ketika itu Papa datang untuk melihat tambang nikel karena Om Hadi, adik Papa, memintanya menjadi investor. Tempat yang kemudian menjadi resor itu memang dilewati bila akan ke lokasi tambang.

Aku tidak menyalahkan Papa bila jatuh hati pada tempat yang menjadi cikal bakal resor ini. Tempatnya di tepi pantai yang berpasir putih. Nyiur yang sudah berumur cukup tua berjejer rapi secara alami. Kemarin aku sudah menjajal bawah lautnya dan takjub dengan terumbu karang dan ikan berwarna-warni yang ada di situ. Bagian terbaiknya adalah dua pulau kecil -termasuk dalam kompleks resor- yang dibiarkan kosong, tidak jauh dari garis pantai bangunan resor. Kedua pulau itu dipakai untuk berjemur atau menjelajah saja.

Meskipun aku tidak terlalu suka kegiatan outdoor karena punya masalah dengan kelenjar keringat yang berproduksi lebih saat terkena udara panas, tapi resor Papa yang ini memang luar biasa.

Resor ini sebenarnya sudah dibangun sejak beberapa tahun lalu. Hanya dalam skala kecil untuk tempat keluarga berlibur, tapi kedatangan banyak turis dan peneliti Eropa di kawasan Hutan Lambusango yang biasa disebut dengan ekspedisi Walacea, membuat Papa memutuskan mengomersilkan resor ini sebagaimana hotel dan resor lain yang dimiliki perusahaan. Penambahan cottage dan fasilitas penunjang lain terus dilakukan setahun belakangan. Untuk itulah aku berada di sini sekarang.

Mataku hampir menutup saat menangkap gerakan ombak yang tidak biasa dari kejauhan. Dari arah pulau kosong. Sesuatu tampak menyembul ke permukaan dan kemudian menghilang kembali ke bawah air. Lumba-lumba? Tapi resor kami bukan spot yang disukai lumba-lumba. Terlalu dangkal. Lumba-lumba biasanya muncul di dekat pelabuhan Kota Baubau. Aku juga belum pernah melihatnya. Aku mendengarnya dari Mas Tanto yang memang lebih suka berurusan dengan lapangan. Pantai dan kehidupan bawah laut adalah passion-nya.

Aku menunggu beberapa saat untuk meyakinkan bahwa aku tidak berhalusinasi oleh gerakan air yang tadi kulihat, tapi tidak ada lagi benda yang muncul di permukaan. Aku tersenyum sendiri. Aku sudah seperti orang Amerika yang terobsesi dengan Loch Ness. Kuputuskan untuk menutup mata. Masih ada sekitar setengah jam sebelum matahari tenggelam. Mas Tanto bilang aku tidak boleh melewatkannya. Sudah dua hari aku di sini tapi belum sempat menikmatinya. Kemarin aku terlalu lelah menyelam sehingga tertidur dan melewatkan sunset. Hari ini aku tidak ingin kecolongan, karena itu kuputuskan bersandar di kursi pantai di depan resor.

Mataku belum sepenuhnya terkatup ketika sesuatu terlihat muncul kembali di permukaan dan menyebabkan riak pada air laut. Hanya sesaat kemudian hilang. Aku menegakkan tubuh. Kantukku hilang seketika. Ikan apakah itu? Mengapa sepertinya menuju ke darat? Jaraknya dari tempat pertama muncul tadi cukup jauh, tapi arahnya pasti ke darat.

Aku harus menunggu sekitar dua menit sebelum air laut kembali pecah oleh gerakan yang muncul dari bawah. Makin dekat ke darat. Kali ini sesuatu itu tidak lagi menghilang di bawah air, tetapi konsisten mengapung. Bukan ikan, itu orang. Orang yang kini berenang dengan gaya bebas dan santai menuju pantai.

Orang itu berenang dari pulau kosong di seberang? Astaga, staminanya pasti luar biasa. Meskipun tidak jauh bila ditempuh dengan perahu bermotor, tapi untuk diseberangi dengan cara menyelam dan berenang, itu menakjubkan. Alam menempa penduduk lokal dengan cara yang logika orang kota metropolitan sepertiku tidak bisa bayangkan.

Kagum, aku lalu tidak melepaskan pandang pada orang yang semakin mendekati garis pantai itu. Mataku makin membesar saat melihat orang itu kemudian menjejak dasar laut dan berjalan meninggalkan air. Pertama-tama kepalanya yang tampak, lalu leher, dada, pinggang, dan seluruh tubuhnya. Dan...dia bukan laki-laki! Benar, orang yang kini mengibaskan rambut basah sebahu itu adalah seorang perempuan. Meskipun jarak kami masih lumayan jauh, aku dapat melihat lekuk tubuhnya dengan baik. Baju karet yang dikenakannya jelas membentuk tubuh. Hanya baju karet, tanpa tabung oksigen, Fin, atau kaca mata selam. Wow!

Perempuan itu berdiri beberapa saat, lalu duduk di atas pasir, membelakangiku. Tidak lama kemudian berbaring. Begitu saja tanpa risi. Tanpa alas apa pun. Aku mengikuti semua gerakan yang dibuatnya dengan rasa ingin tahu. Siapa pun dia, alam sepertinya sudah menjadi sahabatnya. Apa yang dipikirkannya saat berenang dari pulau seberang tanpa alat bantu apa pun? Aku tidak gampang dibuat takjub, tapi wanita itu jelas tidak biasa.

Perempuan itu kembali duduk. Tidak tegak karena lengannya memeluk lutut. Aku mengikuti arah kepalanya dan kemudian menyadari mengapa Mas Tanto mengatakan bahwa aku tidak boleh melewatkan matahari terbenam saat berada di tempat ini.

Matahari itu perlahan tergelincir menuju peraduan. Warna merah, jingga dan sedikit hitam menghias langit barat. Tidak butuh waktu lama sebelum bola merah itu menghilang di balik Gelombang laut di antara kedua pulau kosong. Kali ini aku setuju dengan Mas Tanto. Itu menakjubkan.

Gerakan tubuh itu membuatku mengalihkan perhatian. Wanita itu berdiri, lalu beranjak menjauhi pantai. Menjauh dariku. Dia terlihat seperti bayangan hitam. Aku terpesona melihatnya. Sungguh terpesona meskipun aku sama sekali tidak melihat wajahnya. Apakah dia salah seorang tamu di resor ini? Aku belum tahu bagaimana penduduk desa di dekat resor ini, tapi dari baju yang dipakainya berenang, aku yakin dia bukan penduduk lokal. Apakah aku akan akan bertemu kembali dengannya? Apakah aku akan mengenalinya bila bertemu? Ah, Mengapa aku malah memikirkan tentang seseorang yang bahkan hanya kulihat dari kejauhan? Aku mulai terdengar aneh.

Never Let You Go (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang